Oleh: M. Puteri Rosalina
Sejak revolusi industri mulai digulirkan, lingkungan alam mulai terusik. Udara yang selama ini bersih mulai sedikit-sedikit tercemar oleh asap-asap industri. Setelah kendaraan bermotor mulai ditemukan, pencemaran udara bertambah oleh sisa hasil pembakaran kendaraan bermotor. Tidak hanya udara, air juga mulai tercemar oleh limbah industri yang mengandung bahan kimia. Sebenarnya bukan hanya limbah industri, limbah rumah tangga yang tidak diolah dengan baik juga mulai mencemari air. Tidak hanya air, tanah juga mulai tercemar. Singkat kata sejak revolusi industri lingkungan mulai rusak. Tidak hanya lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan sosial dan buatan.
Dampak revolusi industri pada pertumbuhan ekonomi memang cukup bagus dan signifikan. Negara-negara yang menitikberatkan pada sektor industri dan berhasil menjadi leader dalam industri, menjadi negara-negara maju. Sebenarnya uang hasil dari sektor industri sudah berhasil menciptakan teknologi-teknologi pengolah limbah untuk meminimalisir hasil pencemaran. Namun tetap saja tidak bisa mengembalikan kondisi lingkungan secara sempurna.
Beberapa ahli berpendapat, sejak revolusi industri, jumlah emisi gas rumah kaca meningkat terus dan mengikis lapisan ozon. Sehingga terjadilah efek gas rumah kaca di bumi ini. Efek gas rumah kaca inilah yang menyebabkan pemanasan global.
Sebenarnya para ahli sudah mengetahui bahaya mengenai gas rumah kaca. Seingatku waktu aku SD, sekitar tahun 1980-an sudah ada pelajaran mengenai hal tersebut. Tetapi memang belum ada ’aware’ dari masyarakat dunia karena belum ada akibat yang nyata.
Al Gore, mantan kandidat Presiden AS berhasil mengangkat isu global warming ke permukaan lagi. Meski beberapa pihak menyatakan bahwa Al Gore memanfaatkan isu lingkungan tersebut untuk kampanye politik. Akan tetapi aku berpendapat apa yang dilakukan Al Gore itu positif dan cukup mendapat perhatian.
Masyarakat dunia mulai ’aware’. Apalagi setelah melihat tayangan film dokumenter ’An Incovenient Truth’ yang memperlihatkan contoh-contoh dari efek pemanasan global. Ada beberapa adegan yang kuingat saat Al Gore mensimulasikan peristiwa saat es mencair. Jika es di kutub utara mencair, beberapa benua akan tenggelam dan hilang. Yah untuk lebih mudahnya mungkin bisa membayangkan film ”The End of The World”. Es mulai mencair – permukaan air laut meningkat drastis, bahkan kota New York mulai terendam air sampai puluhan meter. Semakin ngeri, ketika air tersebut menjadi beku. Bisa terbayang berapa ribu orang yang meninggal.
Gejala-gejala yang dikhawatirkan para ahli mengenai global warming mulai tampak. Seperti perubahan iklim yang sangat ekstrem. Saat musim kemarau, beberapa daerah justru kena bencana banjir. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan vektor seperti demam berdarah mewabah dengan ganas. Pada beberapa tempat permukaan laut mulai meningkat sehingga daerah pesisir mulai tergenang. Sebenarnya masih banyak peristiwa-peristiwa lain tapi lupa. Hehehe…
Di Indonesia, berkaitan dengan isu global warming ini kian menghangat dan menjadi hot isue di berbagai kalangan. Entah takut dan sadar betul akan bahaya dari pemanasan global atau sekedar gengsi, yang jelas isu tersebut segera mewabah. Dampak positifnya isu lingkungan juga ikut terangkat.
Jika dulu soal penggundulan hutan, pembalakan liar, sampah, pencemaran dianggap sebagai sesuatu yang rendah dan menjijikkan. Sekarang semuanya mulai memanfaatkan isu lingkungan untuk berbagai keperluan. Sebut saja sebagai background iklan, ajang promosi perusahaan, untuk corporate Social Responbility (CSR), kampanye politik, sampai kampanye-kampanye artis.
Ditambah lagi Indonesia dipilih menjadi tuan rumah United Nations Climate Change Conference 2007 di Bali. Dalam konfrensi tersebut, delegasi Indonesia yang diketuai Emil Salim akan mencoba menawarkan hutan-hutan Indonesia yang katanya kaya carbon supaya dibeli oleh negara-negara maju untuk mengurangi pemanasan global. Menurutku, konsep tersebut agak aneh dan agak sukar diimplementasikan di Indonesia. Walaupun, dampak positifnya, hutan-hutan di Indonesia akan terus terjaga dan ke depannya mengurangi kerusakan lingkungan.
TAPI... apakah ada jaminan, uang yang dikucurkan negara-negara maju supaya Indonesia tetap menjaga hutannya akan tersalurkan dengan baik? Mengingat Indonesia pemegang rekor penyalahgunaan dana/uang alias korupsi. Bagaimana mekanismenya pada masing-masing pemerintah daerah saat uang tersebut siap dikucurkan?
Mekanisme perdagangan karbon yang dimaksud pun belum jelas. Semua pihak masih bertanya-tanya dan menimbulkan presepsi yang berbeda-beda. Semoga ke depan ada penjelasan yang lebih jelas.
Di luar perdagangan karbon yang kelihatannya menguntungkan Indonesia. Ada beberapa pihak yang berpandangan bahwa perdagangan karbon merupakan alat untuk ’mengerdilkan’ negara-negara berkembang khususnya Indonesia supaya tidak bisa mengembangkan perekonomian. Negara maju memilih menggunakan uangnya untuk membayar jasa lingkungan pada negara-negara
Tapi (lagi) ada sesuatu yang janggal dari kebijakan pemerintah Indonesia. Di satu sisi Indonesia mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca untuk meminimalisir bencana pemanasan global. Bentuk dukungannya bermacam-macam dari sekedar kampanye-kampanye yang dilakukan oleh berbagai pihak, sebagai tempat tuan rumah Konvensi Perubahan Iklim, pemakaian bahan bakar gas, biofuel, sampai aksi penanaman pohon di berbagai tempat.
Di sisi lain akibat dari pemakaian bahan bakar biofuel, Indonesia yang merasa berpotensi sebagai habitat tanaman bahan baku biofuel seperti sawit dan jarak, menjadi berlomba-lomba untuk menanam dua komoditas tersebut. Kebijakan tersebut baik karena akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena harga sawit internasional cukup tinggi. Namun ternyata cara yang digunakan salah. Regulasi yang ditetapkan dilanggar karena kemurkaan beberapa pihak untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari sawit.
Dalam regulasi disebutkan, areal hutan yang boleh digunakan untuk penanaman kelapa sawit adalah areal hutan konversi. Tetapi kenyataannya, banyak juga perusahaan-perusahaan perkebunan sawit besar yang menggunakan areal hutan lindung atau konservasi untuk penanaman sawit. Namun kadang pula, para pengusaha tersebut tidak serta merta menanam sawit diatas lahan hutan yang telah digunduli. Entah karena suatu alasan, lahan hutan tersebut dibiarkan saja tanpa tanaman apapun. Akibatnya sudah bisa ditebak, jasa-jasa hutan terhadap lingkungan sebagai penyerap karbon, tandon air, penyimpan keanekaragaman hayati, habitat satwa, dll hilang begitu saja. Selanjutnya bencana-bencana lingkungan tidak terelakkan.
Dari contoh tersebut dapat dilihat betapa janggal dan tidak konsistennya kebijakan pemerintah Indonesia.
Salah Kaprah Soal Lingkungan
Semua hal diatas adalah cerita soal salah kaprah lingkungan di Indonesia, khususnya mengenai sektor kehutanan dan perkebunan. Ada salah satu cerita lagi yang menurutku agak kacau dan ngawur. Ada satu gambar di Kompas hari Senin (26/11) halaman 13 yang cukup menyesatkan. Dalam gambar tersebut disebutkan dengan menanam ...pohon di atap akan mengurangi pemanasan global. Gambar tersebut menyesatkan karena fungsi pohon bukan sekedar untuk menyerap karbon dioksida di udara. Fungsi lain yang juga tak kalah penting adalah pohon bisa sebagai sarana penyimpan dan penahan air melalui akar-akarnya. Nah kalau pohon dipasang atau ditanam (maksudnya dengan media pot) di atas atap, bagaimana dengan fungsi pohon sebagai penyerap air. Nanti sebagian orang beranggapan akan membenarkan pola pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang tinggi tanpa menyisakan sejengkal tanah untuk resapan air. ”Toh sudah ada pohon-pohon hijau di atas atap. Ruang Terbuka hijau bisa berpindah ke atas atap kan?”
Dampak revolusi industri pada pertumbuhan ekonomi memang cukup bagus dan signifikan. Negara-negara yang menitikberatkan pada sektor industri dan berhasil menjadi leader dalam industri, menjadi negara-negara maju. Sebenarnya uang hasil dari sektor industri sudah berhasil menciptakan teknologi-teknologi pengolah limbah untuk meminimalisir hasil pencemaran. Namun tetap saja tidak bisa mengembalikan kondisi lingkungan secara sempurna.
Beberapa ahli berpendapat, sejak revolusi industri, jumlah emisi gas rumah kaca meningkat terus dan mengikis lapisan ozon. Sehingga terjadilah efek gas rumah kaca di bumi ini. Efek gas rumah kaca inilah yang menyebabkan pemanasan global.
Sebenarnya para ahli sudah mengetahui bahaya mengenai gas rumah kaca. Seingatku waktu aku SD, sekitar tahun 1980-an sudah ada pelajaran mengenai hal tersebut. Tetapi memang belum ada ’aware’ dari masyarakat dunia karena belum ada akibat yang nyata.
Al Gore, mantan kandidat Presiden AS berhasil mengangkat isu global warming ke permukaan lagi. Meski beberapa pihak menyatakan bahwa Al Gore memanfaatkan isu lingkungan tersebut untuk kampanye politik. Akan tetapi aku berpendapat apa yang dilakukan Al Gore itu positif dan cukup mendapat perhatian.
Masyarakat dunia mulai ’aware’. Apalagi setelah melihat tayangan film dokumenter ’An Incovenient Truth’ yang memperlihatkan contoh-contoh dari efek pemanasan global. Ada beberapa adegan yang kuingat saat Al Gore mensimulasikan peristiwa saat es mencair. Jika es di kutub utara mencair, beberapa benua akan tenggelam dan hilang. Yah untuk lebih mudahnya mungkin bisa membayangkan film ”The End of The World”. Es mulai mencair – permukaan air laut meningkat drastis, bahkan kota New York mulai terendam air sampai puluhan meter. Semakin ngeri, ketika air tersebut menjadi beku. Bisa terbayang berapa ribu orang yang meninggal.
Gejala-gejala yang dikhawatirkan para ahli mengenai global warming mulai tampak. Seperti perubahan iklim yang sangat ekstrem. Saat musim kemarau, beberapa daerah justru kena bencana banjir. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan vektor seperti demam berdarah mewabah dengan ganas. Pada beberapa tempat permukaan laut mulai meningkat sehingga daerah pesisir mulai tergenang. Sebenarnya masih banyak peristiwa-peristiwa lain tapi lupa. Hehehe…
Di Indonesia, berkaitan dengan isu global warming ini kian menghangat dan menjadi hot isue di berbagai kalangan. Entah takut dan sadar betul akan bahaya dari pemanasan global atau sekedar gengsi, yang jelas isu tersebut segera mewabah. Dampak positifnya isu lingkungan juga ikut terangkat.
Jika dulu soal penggundulan hutan, pembalakan liar, sampah, pencemaran dianggap sebagai sesuatu yang rendah dan menjijikkan. Sekarang semuanya mulai memanfaatkan isu lingkungan untuk berbagai keperluan. Sebut saja sebagai background iklan, ajang promosi perusahaan, untuk corporate Social Responbility (CSR), kampanye politik, sampai kampanye-kampanye artis.
Ditambah lagi Indonesia dipilih menjadi tuan rumah United Nations Climate Change Conference 2007 di Bali. Dalam konfrensi tersebut, delegasi Indonesia yang diketuai Emil Salim akan mencoba menawarkan hutan-hutan Indonesia yang katanya kaya carbon supaya dibeli oleh negara-negara maju untuk mengurangi pemanasan global. Menurutku, konsep tersebut agak aneh dan agak sukar diimplementasikan di Indonesia. Walaupun, dampak positifnya, hutan-hutan di Indonesia akan terus terjaga dan ke depannya mengurangi kerusakan lingkungan.
TAPI... apakah ada jaminan, uang yang dikucurkan negara-negara maju supaya Indonesia tetap menjaga hutannya akan tersalurkan dengan baik? Mengingat Indonesia pemegang rekor penyalahgunaan dana/uang alias korupsi. Bagaimana mekanismenya pada masing-masing pemerintah daerah saat uang tersebut siap dikucurkan?
Mekanisme perdagangan karbon yang dimaksud pun belum jelas. Semua pihak masih bertanya-tanya dan menimbulkan presepsi yang berbeda-beda. Semoga ke depan ada penjelasan yang lebih jelas.
Di luar perdagangan karbon yang kelihatannya menguntungkan Indonesia. Ada beberapa pihak yang berpandangan bahwa perdagangan karbon merupakan alat untuk ’mengerdilkan’ negara-negara berkembang khususnya Indonesia supaya tidak bisa mengembangkan perekonomian. Negara maju memilih menggunakan uangnya untuk membayar jasa lingkungan pada negara-negara
Tapi (lagi) ada sesuatu yang janggal dari kebijakan pemerintah Indonesia. Di satu sisi Indonesia mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca untuk meminimalisir bencana pemanasan global. Bentuk dukungannya bermacam-macam dari sekedar kampanye-kampanye yang dilakukan oleh berbagai pihak, sebagai tempat tuan rumah Konvensi Perubahan Iklim, pemakaian bahan bakar gas, biofuel, sampai aksi penanaman pohon di berbagai tempat.
Di sisi lain akibat dari pemakaian bahan bakar biofuel, Indonesia yang merasa berpotensi sebagai habitat tanaman bahan baku biofuel seperti sawit dan jarak, menjadi berlomba-lomba untuk menanam dua komoditas tersebut. Kebijakan tersebut baik karena akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena harga sawit internasional cukup tinggi. Namun ternyata cara yang digunakan salah. Regulasi yang ditetapkan dilanggar karena kemurkaan beberapa pihak untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari sawit.
Dalam regulasi disebutkan, areal hutan yang boleh digunakan untuk penanaman kelapa sawit adalah areal hutan konversi. Tetapi kenyataannya, banyak juga perusahaan-perusahaan perkebunan sawit besar yang menggunakan areal hutan lindung atau konservasi untuk penanaman sawit. Namun kadang pula, para pengusaha tersebut tidak serta merta menanam sawit diatas lahan hutan yang telah digunduli. Entah karena suatu alasan, lahan hutan tersebut dibiarkan saja tanpa tanaman apapun. Akibatnya sudah bisa ditebak, jasa-jasa hutan terhadap lingkungan sebagai penyerap karbon, tandon air, penyimpan keanekaragaman hayati, habitat satwa, dll hilang begitu saja. Selanjutnya bencana-bencana lingkungan tidak terelakkan.
Dari contoh tersebut dapat dilihat betapa janggal dan tidak konsistennya kebijakan pemerintah Indonesia.
Salah Kaprah Soal Lingkungan
Semua hal diatas adalah cerita soal salah kaprah lingkungan di Indonesia, khususnya mengenai sektor kehutanan dan perkebunan. Ada salah satu cerita lagi yang menurutku agak kacau dan ngawur. Ada satu gambar di Kompas hari Senin (26/11) halaman 13 yang cukup menyesatkan. Dalam gambar tersebut disebutkan dengan menanam ...pohon di atap akan mengurangi pemanasan global. Gambar tersebut menyesatkan karena fungsi pohon bukan sekedar untuk menyerap karbon dioksida di udara. Fungsi lain yang juga tak kalah penting adalah pohon bisa sebagai sarana penyimpan dan penahan air melalui akar-akarnya. Nah kalau pohon dipasang atau ditanam (maksudnya dengan media pot) di atas atap, bagaimana dengan fungsi pohon sebagai penyerap air. Nanti sebagian orang beranggapan akan membenarkan pola pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang tinggi tanpa menyisakan sejengkal tanah untuk resapan air. ”Toh sudah ada pohon-pohon hijau di atas atap. Ruang Terbuka hijau bisa berpindah ke atas atap kan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar