Kamis, 31 Januari 2008

LIFE WITH LESS WATER


Mengingat persedian air kita semakin menipis (mungkin lebih tepatnya air bersih, karena siklus dan neraca air selalu menghasilkan volume yang tetap), ada beberapa alternative perlakuan yang bisa kita lakukan untuk lebih berhemat air dengan cara-cara yang simple. “A simply thing can make big difference”.

Buat saja tempat penampungan air hujan agar air tersebut bisa dipergunakan untuk membersihkan kamar mandi, garasi atau tempat lainnya, asal penampungan ini ditutup rapat dan hanya dibuka saat akan dipergunakan agar mencegah perkembangbiakan nyamuk dan jentiknya,

Gunakan air bekas mencuci akuarium (yangn kaya kandungan fosfat dan nitrogen) untuk menyiram tanaman.. Mungkin untuk tanaman hias masih perlu dikaji lagi ya..

Habiskan makanan sampai bersih, karena masih banyak orang lain di dunia ini yang makan hanya sekali sehari. Ada pepatah bijak yang mengatakan “scratch till corner your lunch box”. Sisa makanan di atas piring berarti akan menambah konsumsi air untuk mencuci piring tersebut. Jadi lebih baik, ambil makan seperlunya saja..

Rudenden atau mubazir jika menggnakan dispenser tetapijuga menggunakan kulkas untuk mendapatkan airm inum, lebih baik salah satunya saja. Mengingat penggunaan mubazir ini juga berarti menyumbang CO2 ke udara,

Pastikan tidak ada air yang menetes dari keran saat ditutup. Tetesan air itu bisa membuang hingga 1667 liter air tiap bulannya,

Siapkan air untuk membilas dalam wadah daripada mencuci dibawah keran yang di buka. Ini jauh lebih hemat,

Jadi mulailah berhemat air dari sekarang...!!!! (Radyan Prasetyo)

MEROSOTNYA KONDISI LINGKUNGAN



Radyan Prasetyo

Lingkungan sesungguhnya adalah tempat hidup dimana manusia, benda hidup dan tak hidup lainnya berinteraksi dan saling mempengaruhi. Sesungguhnya fungsi dan peranan lingkungan yang utama adalah sebagai sumber bahan mentah untuk diolah menjadi barang jadi atau untuk Iangsung dikonsumsi, sebagai asimilator yaitu sebagai pengolah limbah secara alami, dan sebagai sumber kesenangan (amenity).

Dengan berkembangnya waktu dan semakin meningkatnya usaha peningkatkan kesejahteraan manusia, ternyata fungsi dan peranan lingkungan telah menurun dari waktu ke waktu; artinya jumlah bahan mentah yang dapat disediakan lingkungan alami telah semakin berkurang dan menjadi langka, kemampuan alam untuk mengolah limbah juga semakin berkurang karena terlalu banyaknya limbah yang harus ditampung melebihi daya tampung lingkungan, dan kemampuan alam menyediakan kesenangan dan kegembiraan langsung juga semakin berkurang karena banyak sumberdaya alam dan lingkungan yang telah diubah fungsinya atau karena meningkatnya pencemaran.

Sesungguhnya Manusia adalah tergolong mahluk “homo economicus” dalam artian manusia selalu berusaha mengedepankan prinsip ekonomi dalam mencapai tujuannya. Prinsip ini pula yang melatarbelakangi timbulnya perlombaan antara “kebutuhan dengan keinginan” dan prinsip ini memicu timbulnya “scarcity” sehingga terjadi kompetisi yang oleh Darwin dikenal sebagai “survival of the fittest” (meskipun sesungguhnya tidak benar demikian).

Sebab-Sebab Merosotnya Fungsi Lingkungan
Mengapa fungsi atau peranan lingkungan menjadi merosot? Sebab utamanya adalah karena sifat atau ciri yang melekat pada lingkungan alami itu sendiri telah menyebabkan manusia untuk mengeksploitasinya secara berlebihan sehingga menurunkan fungsi lingkungan tersebut.
a. Barang Publik
Sifat sebagai barang publik membawa konsekuensi terbengkelainya sumberdaya lingkungan, karena tidak akan ada atau sangat langka pihak swasta atau in¬dividu yang mau memelihara atau mengusahakan kelestariannya. Barang publik mempunyai ciri utama sebagai berikut: 1) a) tidak akan ada penolakan (exclusion) terhadap pihak atau orang yang tidak bersedia membayar dalam pengkonsumsian sumberdaya lingkungan tersebut. Semua orang tidak peduli bersedia membayar atau tidak tetap diperbolehkan mengkonsumsi barang tersebut. Jadi dalam hal ini berlaku "nonexclusion principle". Di samping itu ada ciri b) "nonrivalry in consumption" bagi sumberdaya lingkungan; artinya walaupun lingkungan itu telah dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang, volume atau jumlah yang tersedia bagi orang lain tidak akan berkurang. Contohnya sinar matahari walaupun telah dikonsumsi oleh seseorang, jumlah yang tersedia bagi orang lain tidak akan berkurang. Karena dua ciri tersebut menyebabkan orang sebagai individir tidak akan bersedia mengusahakan pemeliharaannya karena tidak mungkin menarik bayaran untuk mendapatkan laba usaha. Karena pihak swasta tidak mau mengusahakan, sedang lingkungan sangat penting bagi masyarakat banyak, maka pemerintah mau tidak mau harus mengambil bagian untuk memelihara lingkungan hidup dengan sebaik mungkin.

b. Pemilikan Bersama atau Milik Umum (Common Property)
Pemilikan bersama dapat diartikan sebagai bukan milik se¬orang pun atau juga milik setiap orang (common property is no one property and is every one property). Karena sistem pemilik¬an seperti itu akan membuat kecenderungan untuk timbulnya eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara berlebihan. Setiap orang akan merasa harus mengambil atau mengusahakan terlebih dahulu sebelum orang lain mengusahakannya; sehingga sebagai akibatnya akan ada eksploitasi besar-besaran dan berakibat pada punahnya sumberdaya alam dan lingkungan yang ada. Inilah yang disebut sebagai "law of the common".

c. Eksternalitas
Ciri yang lain dari lingkungan adalah adanya eksternalitas. Ekstemalitas muncul apabila seseorang melakukan suatu kegiatan dan menimbulkan dampak pada orang lain dapat dalam bentuk manfaat eksternal atau biaya eksternal yang semuanya tidak memerlukan kewajiban untuk menerima atau melakukan pembayar¬an. Dengan adanya manfaat eksternal yang seringkali tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan oleh seorang manajer ter¬tentu, telah menyebabkan barang atau jasa yang dihasilkan menjadi terlalu sedikit; atau bila terjadi biaya eksternal yang tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan seorang manajer menyebabkan barang atau jasa yang dihasilkannya menjadi terlalu besar. Hal ini menyebabkan kegiatan tersebut menjadi tidak efisien; lebih-lebih bila ekstemalitas dalam wujud biaya eksternal yang harus ditanggung oleh masyarakat. Agar terjadi efisiensi yang sebenarnya, maka biaya eksternal itu harus diinternalkan dalam biaya setiap perusahaan yang melakukan kegiatan yang menimbulkan dampak tersebut.

Dengan melihat pada berbagai ciri atau sifat lingkungan hidup dan konsekuensinya, maka agar supaya fungsi lingkungan dapat dipertahankan atau ditingkatkan, berbagai kebijakan harus diambil oleh pemerintah. Mengapa pemerintah? karena pihak swasta atau individu tidak mungkin mau mengusahakannya, sebab usaha ini tidak menimbulkan keuntungan baginya atau bagi mereka.

Kebijakan Pemerintah
Kebijakan yang perlu diambil dan sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam dan Iingkungan agar fungsi lingkungan dapat tetap lestari adalah:
Memperbaiki hak penguasaan atas sumberdaya alam dan Iingkungan (property right) dari "common property" menjadi "private property". Dengan adanya private property, barang publik dapat diubah sifatnya menjadi barang privat, sehingga cenderung dipelihara dengan lebih baik.

Memperbaiki manajemen sumberdaya alam dan lingkungan, sehing¬ga biaya ekstexnal dapat diinternalkan dengan cara mene¬rapkan "command and control system"; dan/atau dengan "economic incentive system" termasuk "polluter pays principle". Untuk itu perlu disiapkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) untuk setiap proyek atau kegiatan yang berpotensi menurunkan fungsi lingkungan.

Menggunakan tekanan sosial untuk mengurangi pencemaran seperti dengan sistem "ecolabelling". Dalam hal ini pemerintah menggunakan kekuatan para konsumen untuk menekan produsen agar mau berproduksi dan bersahabat dengan lingkungan sejak dari awal pengambilan masukan (input) untuk produksi sampai konsumsi akhir (from gravel to grave).

Semua perusahaan atau industri dihimbau untuk melaksanakan audit lingkungan. Untuk dapat mengindentifikasi resiko lingkungan sekaligus sebagai dasar pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan.

Rabu, 30 Januari 2008

Global Warming or Global Warning ?

Oleh: M. Puteri Rosalina
Sejak revolusi industri mulai digulirkan, lingkungan alam mulai terusik. Udara yang selama ini bersih mulai sedikit-sedikit tercemar oleh asap-asap industri. Setelah kendaraan bermotor mulai ditemukan, pencemaran udara bertambah oleh sisa hasil pembakaran kendaraan bermotor. Tidak hanya udara, air juga mulai tercemar oleh limbah industri yang mengandung bahan kimia. Sebenarnya bukan hanya limbah industri, limbah rumah tangga yang tidak diolah dengan baik juga mulai mencemari air. Tidak hanya air, tanah juga mulai tercemar. Singkat kata sejak revolusi industri lingkungan mulai rusak. Tidak hanya lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan sosial dan buatan.

Dampak revolusi industri pada pertumbuhan ekonomi memang cukup bagus dan signifikan. Negara-negara yang menitikberatkan pada sektor industri dan berhasil menjadi leader dalam industri, menjadi negara-negara maju. Sebenarnya uang hasil dari sektor industri sudah berhasil menciptakan teknologi-teknologi pengolah limbah untuk meminimalisir hasil pencemaran. Namun tetap saja tidak bisa mengembalikan kondisi lingkungan secara sempurna.

Beberapa ahli berpendapat, sejak revolusi industri, jumlah emisi gas rumah kaca meningkat terus dan mengikis lapisan ozon. Sehingga terjadilah efek gas rumah kaca di bumi ini. Efek gas rumah kaca inilah yang menyebabkan pemanasan global.

Sebenarnya para ahli sudah mengetahui bahaya mengenai gas rumah kaca. Seingatku waktu aku SD, sekitar tahun 1980-an sudah ada pelajaran mengenai hal tersebut. Tetapi memang belum ada ’aware’ dari masyarakat dunia karena belum ada akibat yang nyata.

Al Gore, mantan kandidat Presiden AS berhasil mengangkat isu global warming ke permukaan lagi. Meski beberapa pihak menyatakan bahwa Al Gore memanfaatkan isu lingkungan tersebut untuk kampanye politik. Akan tetapi aku berpendapat apa yang dilakukan Al Gore itu positif dan cukup mendapat perhatian.

Masyarakat dunia mulai ’aware’. Apalagi setelah melihat tayangan film dokumenter ’An Incovenient Truth’ yang memperlihatkan contoh-contoh dari efek pemanasan global. Ada beberapa adegan yang kuingat saat Al Gore mensimulasikan peristiwa saat es mencair. Jika es di kutub utara mencair, beberapa benua akan tenggelam dan hilang. Yah untuk lebih mudahnya mungkin bisa membayangkan film ”The End of The World”. Es mulai mencair – permukaan air laut meningkat drastis, bahkan kota New York mulai terendam air sampai puluhan meter. Semakin ngeri, ketika air tersebut menjadi beku. Bisa terbayang berapa ribu orang yang meninggal.

Gejala-gejala yang dikhawatirkan para ahli mengenai global warming mulai tampak. Seperti perubahan iklim yang sangat ekstrem. Saat musim kemarau, beberapa daerah justru kena bencana banjir. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan vektor seperti demam berdarah mewabah dengan ganas. Pada beberapa tempat permukaan laut mulai meningkat sehingga daerah pesisir mulai tergenang. Sebenarnya masih banyak peristiwa-peristiwa lain tapi lupa. Hehehe…

Di Indonesia, berkaitan dengan isu global warming ini kian menghangat dan menjadi hot isue di berbagai kalangan. Entah takut dan sadar betul akan bahaya dari pemanasan global atau sekedar gengsi, yang jelas isu tersebut segera mewabah. Dampak positifnya isu lingkungan juga ikut terangkat.

Jika dulu soal penggundulan hutan, pembalakan liar, sampah, pencemaran dianggap sebagai sesuatu yang rendah dan menjijikkan. Sekarang semuanya mulai memanfaatkan isu lingkungan untuk berbagai keperluan. Sebut saja sebagai background iklan, ajang promosi perusahaan, untuk corporate Social Responbility (CSR), kampanye politik, sampai kampanye-kampanye artis.

Ditambah lagi Indonesia dipilih menjadi tuan rumah United Nations Climate Change Conference 2007 di Bali. Dalam konfrensi tersebut, delegasi Indonesia yang diketuai Emil Salim akan mencoba menawarkan hutan-hutan Indonesia yang katanya kaya carbon supaya dibeli oleh negara-negara maju untuk mengurangi pemanasan global. Menurutku, konsep tersebut agak aneh dan agak sukar diimplementasikan di Indonesia. Walaupun, dampak positifnya, hutan-hutan di Indonesia akan terus terjaga dan ke depannya mengurangi kerusakan lingkungan.

TAPI... apakah ada jaminan, uang yang dikucurkan negara-negara maju supaya Indonesia tetap menjaga hutannya akan tersalurkan dengan baik? Mengingat Indonesia pemegang rekor penyalahgunaan dana/uang alias korupsi. Bagaimana mekanismenya pada masing-masing pemerintah daerah saat uang tersebut siap dikucurkan?

Mekanisme perdagangan karbon yang dimaksud pun belum jelas. Semua pihak masih bertanya-tanya dan menimbulkan presepsi yang berbeda-beda. Semoga ke depan ada penjelasan yang lebih jelas.

Di luar perdagangan karbon yang kelihatannya menguntungkan Indonesia. Ada beberapa pihak yang berpandangan bahwa perdagangan karbon merupakan alat untuk ’mengerdilkan’ negara-negara berkembang khususnya Indonesia supaya tidak bisa mengembangkan perekonomian. Negara maju memilih menggunakan uangnya untuk membayar jasa lingkungan pada negara-negara

Tapi (lagi) ada sesuatu yang janggal dari kebijakan pemerintah Indonesia. Di satu sisi Indonesia mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca untuk meminimalisir bencana pemanasan global. Bentuk dukungannya bermacam-macam dari sekedar kampanye-kampanye yang dilakukan oleh berbagai pihak, sebagai tempat tuan rumah Konvensi Perubahan Iklim, pemakaian bahan bakar gas, biofuel, sampai aksi penanaman pohon di berbagai tempat.

Di sisi lain akibat dari pemakaian bahan bakar biofuel, Indonesia yang merasa berpotensi sebagai habitat tanaman bahan baku biofuel seperti sawit dan jarak, menjadi berlomba-lomba untuk menanam dua komoditas tersebut. Kebijakan tersebut baik karena akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena harga sawit internasional cukup tinggi. Namun ternyata cara yang digunakan salah. Regulasi yang ditetapkan dilanggar karena kemurkaan beberapa pihak untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari sawit.

Dalam regulasi disebutkan, areal hutan yang boleh digunakan untuk penanaman kelapa sawit adalah areal hutan konversi. Tetapi kenyataannya, banyak juga perusahaan-perusahaan perkebunan sawit besar yang menggunakan areal hutan lindung atau konservasi untuk penanaman sawit. Namun kadang pula, para pengusaha tersebut tidak serta merta menanam sawit diatas lahan hutan yang telah digunduli. Entah karena suatu alasan, lahan hutan tersebut dibiarkan saja tanpa tanaman apapun. Akibatnya sudah bisa ditebak, jasa-jasa hutan terhadap lingkungan sebagai penyerap karbon, tandon air, penyimpan keanekaragaman hayati, habitat satwa, dll hilang begitu saja. Selanjutnya bencana-bencana lingkungan tidak terelakkan.

Dari contoh tersebut dapat dilihat betapa janggal dan tidak konsistennya kebijakan pemerintah Indonesia.

Salah Kaprah Soal Lingkungan
Semua hal diatas adalah cerita soal salah kaprah lingkungan di Indonesia, khususnya mengenai sektor kehutanan dan perkebunan. Ada salah satu cerita lagi yang menurutku agak kacau dan ngawur. Ada satu gambar di Kompas hari Senin (26/11) halaman 13 yang cukup menyesatkan. Dalam gambar tersebut disebutkan dengan menanam ...pohon di atap akan mengurangi pemanasan global. Gambar tersebut menyesatkan karena fungsi pohon bukan sekedar untuk menyerap karbon dioksida di udara. Fungsi lain yang juga tak kalah penting adalah pohon bisa sebagai sarana penyimpan dan penahan air melalui akar-akarnya. Nah kalau pohon dipasang atau ditanam (maksudnya dengan media pot) di atas atap, bagaimana dengan fungsi pohon sebagai penyerap air. Nanti sebagian orang beranggapan akan membenarkan pola pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang tinggi tanpa menyisakan sejengkal tanah untuk resapan air. ”Toh sudah ada pohon-pohon hijau di atas atap. Ruang Terbuka hijau bisa berpindah ke atas atap kan?”

Derita Lingkungan dalam Kekangan Bisnis Perkebunan

Oleh: M. Puteri Rosalina
”Saya sudah gak tahan menanam padi lagi. Hama tikusnya banyak,” keluh Nurliana Pasaribu (50) penduduk kecamatan Bilah Barat, Labuhan Batu. Setelah lahan pertanian di Labuhan Batu terkonversi menjadi lahan tanaman keras, khususnya kebun kelapa sawit, hama tikus mulai menyerang tanaman padi.

Menurut Nurlina, dulu hampir semua penduduk desanya menanam padi. Namun setelah hasil panen kelapa sawit dirasa lebih menguntungkan daripada padi, hampir 50 persen petani beralih menanam sawit. Akibatnya, areal padi yang sudah dikepung perkebunan kelapa sawit menjadi makanan empuk bagi tikus. Populasi tikus berkembang dan menjadi hama di desa Tebing Linggahara Baru. Tikus mulai kehilangan sumber makanan ketika lahan pertanian mulai menyusut. Selain itu, tikus juga suka makan buah sawit muda. Tikus akan beralih menyerang padi karena sudah tidak bisa lagi memangsa buah sawit muda yang sudah ditutup seng. Akhirnya karena tidak tahan dengan hama tikus, Nurlina bertekad akan beralih menanam sawit jika sudah memiliki uang yang cukup.

Kasus merebaknya hama tikus yang dikeluhkan Nurlina hanyalah salah satu contoh dari dampak perluasan areal perkebunan di suatu wilayah. Suatu areal pertanian padi yang biasanya ditanam secara tumpang sari atau bergantian dengan palawija merupakan suatu ekosistem yang beragam. Semua makhluk hidup dalam ekosistem tersebut akan menjalankan fungsi dan peranannya masing-masing dalam suatu rantai makanan. Jika areal pertanian tersebut berubah menjadi tanaman perkebunan, kelapa sawit misalnya akan mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut. Hal inilah yang memicu meningkatnya hama dan penyakit tanaman ketika suatu ekosistem heterogen dipaksa menjadi homogen.

Mengapa perluasan perkebunan bisa menimbulkan dampak negatif pada lingkungan, seperti kasus merebaknya hama tikus di Labuhan Batu? Padahal perkebunan di Sumatera bukanlah hal yang baru. Ekosistem tanaman monokultur tersebut sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Sebut saja perkebunan tembakau di daerah Deli Sumatera Utara. Belanda membuat perkebunan tembakau di Deli karena daerah tersebut memang daerah dingin yang cocok dengan habitat tanaman tembakau.

Pada akhirnya, perkebunan di Sumatera mulai berkembang tidak hanya tembakau. Komoditas kelapa sawit, kelapa, karet, kopi, dan kakao menjadi andalan pulau terbesar kedua di Indonesia tersebut. Hampir semua provinsi di Sumatera menanam komoditas-komoditas tersebut.

Perkebunan di Sumatera mulai menimbulkan masalah terhadap lingkungan ketika pemerintah membuka keran penggunaan kawasan hutan konversi menjadi areal perkebunan melalui PP No 21 tahun 1970 dan PP No. 9 tahun 1990. Melalui kebijakan tersebut pengusaha perkebunan bisa memperluas areal perkebunan dengan memanfaatkan areal hutan konversi. Menurut padu serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau, tahun 1984 masih ada sekitar 5 juta hektar areal hutan konversi. Sampai tahun 1997 hanya tersisa 1,6 juta hektar.

Ketika pamor kelapa sawit meningkat karena harganya di tingkat internasional cukup tinggi, beberapa pengusaha perkebunan memanfaatkan areal hutan konversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Akibatnya terjadi lonjakan pembangunan perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Lonjakan luasan perkebunan ini dianggap sebagai salah satu penyebab deforestasi.

Tahun 1950 luas areal hutan dataran rendah Sumatera masih seluas 46,9 juta hektar. Namun, tahun 2005 luas hutan dataran rendah keringnya tinggal 22,7 hektar. Sebaliknya, areal perkebunan sawit di Sumatera, paling luas dibandingkan pulau-pulau lainnya. Ditjen Perkebunan mencatat, tahun 2006, luas areal perkebunan sawit di Sumatera mencapai 4,5 juta hektar atau 75,4 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Pengurangan areal hutan, khususnya pada perambahan areal hutan konservasi mengakibatkan berkurangnya fungsi hutan sebagai tandon penyimpan air dan penyerap sekaligus penghasil C dan CO2. Berdasarkan penelitian World Agroferestry Centre (ICRAF) tahun 2007, satu hektar hutan berpotensi menyerap karbon 50-200 ton. Berdasarkan penelitian tersebut , berarti tahun 1950, hutan Sumatera masih bisa menyerap karbon 2,35 – 9,38 metric ton. Lima puluh lima tahun kemudian, hutan Sumatera hanya mampu menyerap karbon 1,1 -4,5 metric ton. Daya serap hutan karbon hutan Sumatera yang menurun turut menyumbang peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer.

Penyusutan areal hutan juga akan mengancam spesies tanaman dan hewan yang hidupnya bergantung dari hutan. Hewan seperti gajah dan harimau mulai kesulitan untuk mendapatkan bahan makanan ketika areal hutan sudah terkonversi menjadi perkebunan. Akibatnya, gajah dan harimau mulai mencari makanan ke luar areal hutan, khususnya ke permukiman penduduk. Konflik terbuka anata manusia dengan gajah dan harimau tidak dapat dihindari. Berdasarkan data dari litbang kompas, konflik ini banyak terjadi di wilayah Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Lampung. Konflik antara gajah dan manusia masih tetap berlangsung jika tidak diberikan habitat baru. Gajah yang menyerang permukiman, menganggap wilayah tersebut merupakan daerah jelajahnya.

Selain menyebabkan konflik terbuka antara hewan dan manusia, pengurangan luas areal hutan juga mengurangi keanekaragaman hayati hutan. Keanekaragaman hayati berkumpul pada hutan-hutan tropis dataran rendah. Suatu ekosistem yang tadinya berupa hutan dengan variasi tanaman berbagai jenis, menjadi habitat satwa, dan mempunyai keseimbangan ekosistem yang kompak, tiba-tiba harus dipaksa menjadi ekosistem homogen. Berbagai pihak mengkhawatirkan, akibat perluasan areal kebun kelapa sawit, keanekaragaman hayati dikhawatirkan hilang dan musnah.

Akibat lain dari hilangnya hutan, di beberapa provinsi di Sumatera seperti Riau dan Jambi menjadi langganan banjir dan tanah longsor. Kota Pekanbaru, Riau misalnya. Saat musim penghujan selalu kebanjiran akibat luberan sungai Siak. Berdasarkan penelitian dari Universitas Riau, vegetasi di daerah aliran sungai Siak tinggal 5 persen. Lahan di pinggir sungai sudah terbuka dan sebagian beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.

Selain karena pemanfaatan areal hutan sebagai lahan perluasan perkebunan, sebagian pengusaha perkebunan kelapa sawit dan masyarakat membuka areal hutan dengan cara membakar. Akibatnya, bukan hanya lahan calon kebun sawit saja yang terbakar, tetapi api dengan cepat merembet ke kawasan sekitarnya. Memang sulit untuk membuktikan bahwa kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera karena ulah pengusaha perkebunan sawit. Karena bisa saja kebakaran hutan terjadi karena faktor alam, gesekan ranting-ranting kayu yang menimbulkan api karena udara yang sangat panas.

Berdasarkan data dari Along Track Scanning Radiometer (ATSR) tahun 2006, hampir 50 persen titik api berada di provinsi Riau. Sekitar 30 persen luas perkebunan sawit di Sumatera juga ada di Provinsi Riau. Data tersebut menunjukkan bahwa titik api di Sumatera banyak berlokasi di perkebunan sawit. Jika peta titik api dioverlay dengan peta lokasi perkebunan, akan tampak bahwa hampir seluruh lokasi kebakaran hutan berada pada lokasi perkebunan-perkebunan sawit. Dari tahun ke tahun, jumlah titik api di Sumatera juga cenderung meningkat, terutama pada bulan-bulan Juli-Oktober.

Kebakaran hutan inilah yang menimbulkan kerugian pada sektor transportasi, kesehatan, dan pariwisata. Bahkan ditengarai, kebakaran hutan ini sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar. Penelitian Baumert (2000) menyebutkan, tahun 2000, emisi karbon yang dihasilkan dari pembakaran hutan dan dekomposisi sebesar 2,563 Mt CO2e.

Berdasarkan penelitian T. Ariful Amri dari Universitas Riau, tanaman sawit merupakan tanaman yang rakus air, satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter. Selain itu, menurut Gillbanks dan Turner (2003) dalam buku “Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit”, diantara tanaman-tanaman perkebunan lainnya, kelapa sawit membutuhkan unsur hara yang paling banyak. Untuk menghasilkan 25 ton tandan buah segar, sawit membutuhkan 236,8 kilogram unsur hara yang terdiri atas Nitrogen, fosfor, kalium, magnesium, dan kalsium. Sedangkan kelapa, untuk menghasilkan 2,4 ton kopra hanya membutuhkan 157,9 kilogram unsur hara.

Akibatnya, tanaman sawit tidak bisa disandingkan dengan tanaman lain karena air dan unsur hara akan diserap oleh tanaman sawit. Mangoensoekarjo dan Semangun (2000), dalam buku “Manajemen Budidaya Kelapa Sawit” menyebutkan, tumpangsari pada kelapa sawit lebih banyak menimbulkan kerugian jangka panjang daripada menguntungkan. Tanaman penutup di sekitar sawit yang disarankan adalah kacang tanah, ubi kayu, jagung, sorgum, ubi jalar, kacang panjang, cabe, nanas, pisang, kedelai, dan jarak. Dalam buku tersebut dijelaskan, tumpang sari dapat dilaksanakan jika tidak lebih dari 3 tahun.

Keseimbangan Industri dan Lingkungan
Perluasan perkebunan dengan cara membuka hutan selama ini ditengarai dilakukan secara membabi buta. Artinya, hutan yang dikonversi menjadi perkebunan tidak sesuai dengan peruntukan sesuai undang-undang, yaitu hutan tanaman industri (HTI).

Setelah banyaknya tudingan negatif terhadap Indonesia tentang kerusakan alam yang ditimbulkan industri perkebunan, yaitu kelapa sawit, maka muncullah ide untuk menyelaraskan antara kepentingan industri dengan lingkungan. Diharapkan, dengan pengaturan ini, industri kelapa sawit hanya akan menghasilkan produk yang berkelanjutan (sustainable).

Pada tahun 2004, ditetapkan suatu pedoman berisi prinsip-prinsip dan kriteria dalam menghasilkan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Pedoman yang berisi 8 prinsip dan 39 indikator ini akan diimplementasikan pada November tahun 2007 oleh seluruh anggota RSPO.

Dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan lingkungan ditambah dengan pedoman internasional dalam RSPO, seharusnya industi kelapa sawit Indonesia tidak lagi jadi ancaman bagi kelestarian lingkungan dan kehidupan sosial penduduk di sekitar perkebunan kelapa sawit. Keselarasan antara industri, alam, dan manusia harus tetap terjadi demi mencegah terjadinya ancaman pada kelangsungan dan keberadaan makhluk hidup di dunia. Hanya saja, manusia sebagai pengatur lakon di bumi ini kadang diragukan konsistensinya. Sepertinya, penegakan hukum yang tegas dan lugas adalah jawaban untuk menjamin manusia mengelola alam dengan benar dan sesuai aturan.