Kamis, 02 April 2009

Bencana Lingkungan Situ Gintung

Setelah Bencana Terjadi, MANUSIA Sibuk Cari Siapa yang Salah…

Di tengah hiruk pikuk kampanye jelang pemilu legislatif, ada kabar duka datang dari wilayah selatan Jakarta. Wilayah yang Cuma beberapa puluh kilometer dari pusat pemerintahan Indonesia tersebut porak-poranda oleh kekuatan air bah luapan situ. Situ Gintung seluas 21,4 hektar meluap karena tanggul yang membatasinya jebol! Kejadian yang terjadi jumat dini hari sekitar pukul 4.00 tersebut mengakibatkan 100 orang tewas, ratusan lainnya hilang, dan ratusan orang kehilangan tempat tinggal.

Setahuku, kejadian banjar bandang akibat jebolnya situ baru pertama kali terjadi di Indonesia. Sebelumnya, beberapa kejadian banjir bandang terjadi karena meluapnya sungai ataupun akibat longsor dari bagian hulu. Meski sama-sama merusak, efek kerusakannya berbeda. Bencana kali ini, meski Cuma tanggul situ yang jebol, kerusakan dan kerugiannya mirip tsunami. Oleh karena itu banyak pihak yang menyebut Bencana Situ Gintung sebagai tsunami kecil.

Terlepas dari simpang siur pemberitaan mengenai kronologi kejadiannya, bencana ini murni factor kesalahan MANUSIA. Yah, manusia dari berbagai unsur. Manusia yang menempati kawasan sekitar situ, yang sengaja membangun bangunan di atas situ, yang mengembangkan kawasan perumahan legal, yang mengizinkan pembangunan permukiman dan perumahan, pengambil kebijakan, bahkan manusia yang bertitel pejabat. Bagaimana kalau dilihat kadar persentase kesalahannya? Ah bagiku tidak bisa seperti itu, manusia tetaplah salah.

Bagaimanapun alam telah memberikan segalanya untuk manusia. Air, tanah, udara, cuaca selalu dinikmati oleh manusia. “Harga” alam yang sangat murah sering disepelekan manusia dan menjadi kambing hitam. Termasuk dalam bencana kali ini, manusia menyalahakan alam sebagai faktor utama penyebab bencana. Curah hujan yang tinggi di sekitar kawasan Gintung disebutkan sebagai penyebab jebolnya tanggul. Situ yang hanya berkapasitas 1,5 juta kubik, malam itu dipaksa menampung 2 juta kubik air hujan. Jelas saja jebol.

Belakangan aku baru tahu, situ tersebut sebenarnya adalah bendungan yang dibangun Belanda tahun 1930-an untuk mengatur irigasi areal pertanian sekitarnya. Mengapa bendungan tersebut hanya dibangun dengan mengeruk tanah sehingga berbentuk cekungan seperti mangkok? Mengapa tidak dibangun sebuah bangunan bendungan beton seperti Bendungan Jatiluhur misalnya? Kemungkinan saat itu Belanda punya jawaban lain karena toh Belanda yang memang ahli membikin bendungan tidak begitu saja ceroboh membuatnya. Agaknya Belanda membuat bendungan dari tanah karena memperhatikan tekstur tanah setempat sudah cukup kuat untuk menjadi sebuah tanggul tanpa membangunnya. Namun harus diperhatikan kondisi saat itu wilayah Gintung masih merupakan areal pertanian yang tingkat peresapan airnya cukup tinggi. Dengan kata lain dijadikan wilayah resapan air bagi daerah hilir.

Dalam perkembangannya, entah bagaimana wilayah Gintung yang berada di Selatan Jakarta berkembang menjadi daerah hinterland Jakarta yang menampung limpahan penduduk Jakarta. Wilayah yang sebenarnya bukan lagi masuk administrasi Prov DKI Jakarta tersebut berkembang menjadi wilayah permukiman. Entah manusia pihak mana yang mulai membangun wilayah permukiman di sekitar areal tersebut. Sehingga sampai sekarang berkembang menjadi areal permukiman dan perumahan yang padat.

Peraturan hukum sebenarnya sudah membatasi mengenai perkembangan areal terbangun dan untuk membatasi tata ruang. Seperti adanya sempadan sungai yang melarang adanya bangunan permanen/non permanen yang berjarak 15 meter dari bibir sungai. Sempadan sungai ini sudah mulai digalakkan yang efeknya adalah penggusuran-penggusuran rumah-rumah kumuh di bantaran sungai. Untuk sempadan sungai, agaknya semua MANUSIA sudah mulai sadar dan mengerti.

Namun untuk sempadan situ. Oh…sepertinya belum banyak yang mengetahui. Menurut kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah baik nasional maupun internasional, situ/rawa merupakan kawasan lindung yang keberadaannya tidak boleh dipergunakan untuk kegiatan budidaya manusia. Penetapan kawasan lindung situ/rawa adalah 100 meter dari tepi situ/rawa. Penetapan tersebut dilakukan untuk melindungi keberadaan situ yang jumlahnya terus berkurang.

JElas bukan? Mulai jarak 100 meter dari bibir situ tidak boleh ada bangunan apapun. Namun lihat sekarang, hampir semua situ/danau/rawa di Indonesia tidak mempunyai sempadan. Apalagi situ-situ di sekitar Jabodetabek. (Jangan samakan dengan Danau Toba atau Rawa Pening). Bahkan ada situ di daerah Pamulang yang tidak berjarak dengan jalan raya. Jalan tersebut merupakan jalan padat yang selalu dilewati oleh kendaraan-kendaraan.

Memang hamper tidak semua situ tersebut kondisinya sama dengan Situ Gintung yang berada di atas permukaan tanah dengan tinggi kurang lebih 10 meter. Namun, kebijakan yang dibuat pasti ada maksudnya. Banyak MANUSIA yang tidak menyadarinya sehingga seenak hati melanggarnya.

Selain itu, dalam kasus Situ Gintung ada kebijakan lain yang dilanggar. Tata ruang di kawasan Gintung seharusnya merupakan daerah resapan air DAS Pesanggrahan. Jika daerah resapan air tersebut berfungsi, bagaimanapun tingginya curah hujan, tidak akan membuat tanggul jebol karena sudah ditampung oleh wilayah sekitarnya.

Kelalaian MANUSIA yang lain adalah tidak bisa membaca gejala-gejala alam. Manusia yang bertitel pejabat menyepelekan teriakan MANUSIA kecil yang menghuni sekitar kawasan situ. MANUSIA kecil sudah menyadari bahwa tanggul mengalami kerusakan-kerusakan kecil. Sebagai MANUSIA yang sudah telanjur menghuni kawasan hijau tersebut melaporkan kepada MANUSIA pejabat. Sebenarnya sudah ada anggaran untuk revitalisasi situ tersebut yang masuk dalam Proyek Revitalisasi Situ-Situ. Entah kenapa, justru anggaran sebesar Rp 1,5 M tersebut malah digunakan untuk pembangunan jogging track di sekeliling situ. Si pejabat berdalih pembangunan jogging track atas keinginan masyarakat dengan menunjukkan bukti notulensi pertemuan.

Ya ampun, mengapa bisa terjadi? Aku pikir MANUSIA pemerintah terlalu malas untuk mengecek kondisi tanggul sehingga mengintimidasi untuk melakukan pembangunan yang sebenarnya lebih mudah dilakukan. Atau jangan-jangan sudah ada bisikan dari MANUSIA kontraktor yang ingin agar proyek jogging tracknya diloloskan.

Kelalaian yang lain adalah MANUSIA pengembang. Dalam tata ruang jelas bahwa wilayah tersebut tidak diperuntukkan sebagai kawasan hunian manusia. Tapi kok ya sengaja membangun di situ. Kalau tidak boleh, sengaja menyuap MANUSIA pemerintah untuk membuka izin.

Kelalaian terakhir ya pada MANUSIA penghuni kawasan sekitar situ. Kalau mau menyalahkan MANUSIA yang ini bukan dari aspek mengapa mereka menghuni kawasan itu. Toh mereka secara alami akan mencari areal perumahan yang nyaman dihuni. Mereka sedikit lalai karena mengabaikan tanda-tanda alam. Karena sudah sering terkena bencana banjir, untuk bencana kali ini mereka menganggap kejadiaannya akan sedahsyat tsunami kecil. Beberapa yang berhasil menyelamatkan diri memang karena sudah ditakdirkan untuk menyambung hidup lagi.

Kelalaian terakhir lainnya ya pada penulis sendiri. Hehehe...mengapa bisanya hanya mengumpat-ngumpat lewat tulisan ini. Mana bentuk nyata untuk penanganan peristiwa ini? Hehehe...
Pembelaanku, aku hanya mencoba menyadarkan MANUSIA-MANUSIA lain lewat tulisan ini supaya tidak terjadi lagi bencana berikutnya. Supaya lebih sadar untuk menjaga alam sekitar. Toh aku sendiri juga belum bisa 100% menjaganya.

Sekian...
(Puas..uneg-uneg tersampaikan)