Senin, 15 September 2008

GOR Trilomba Juang Terancam Dibongkar!

Berita “Surga Perkotaan yang Terancam” sontak membuatku kaget. Tulisan Prof Eko Budiardjo yang termuat di rubrik opini Sabtu (6/9) lalu mengenai wacana pembongkaran GOR Trilomba Juang di Semarang tersebut juga sempat membuatku emosi. Hhhmm sedikit berlebihan. Akan tetapi memang begitu. Semarang, sebagai kota kelahiran dan tempat bersekolah dari TK-Perguruan Tinggi, menyimpan banyak kenangan.

Seperti kota-kota lainnya, Semarang tidak mempunyai banyak ruang publik atau ruang terbuka hijau (RTH). Masih beruntung jalur hijau di kanan dan kiri jalan cukup terjaga. Seingatku, jumlah ruang publik atau RTH di semarang, jumlahnya di bawah 10. (Kalo salah betulkan, ya). Karena saat sekolah dulu sering kebingungan mencari tempat nongkrong di Semarang.

Ruang publik itu adalah:
1. Taman KB yang lokasinya persis di depan SMAN 1
2. Simpang Lima . Kawasan ini ruang publik terbesar dan menjadi icon semarang
3. GOR Jatidiri. Kawasan ini ada di semarang selatan (kawasan atas semarang) menjadi pusat kegiatan olahraga semarang dan jawa tengah
4. GOR Trilomba Juang di kawasan Mugas
5. Lapangan Garnisun di jalan Dr. Soetome
6. Stadion sepakbola di dekat Admiral. (lupa nama daerahnya)
7. Kawasan UNDIP Tembalang. Kalo tempat ini kurang nyaman untuk tempat nongkrong karena panas banget
8. ....(hhmm mana lagi ya?) Mungkin ada yang bisa menambahkan.

Nah yang sekarang jadi sasaran pembongkaran adalah Gor Trilomba Juang di kawasan Mugas. Lokasinya kira-kira bersebelahan dengan STM Pembangunan, tidak terlalu jauh dengan lokasi Taman KB. Sebenarnya sih pembongkaran tersebut masih berupa wacana. Akan tetapi sempat menimbulkan kekhawatiran karena kebijakan walikota Semarang yang sekarang sering salah arah. Bisa-bisa wacana tersebut menjadi kenyataan kalo tidak ada pihak-pihak yang menentang keras.

Seperti kawasan hutan karet di daerah Mijen. Dulu kawasan tersebut merupakan salah satu daerah resapan air kota semarang. Tempatnya dingin, sejuk dan sering jadi tujuan wisata murah-meriah bagi sebagian warga Semarang. Tidak hanya itu, fungsi lainnya adalah untuk mengimbangi fungsi hidrologis DAS Beringin dan Plumbon. Sebelum kawasan hutan karet tersebut dibabat, daerah hilir DAS Beringin dan Plumbon seperti kawasan Tugu dan Mangkang tidak pernah kebanjiran.

Akan tetapi sekarang kawasan Tugu dan Mangkang saat musim penghujan selalu kebanjiran. Bahkan sekitar tahun 2000-an, saat banjir bandang melanda Semarang, kawasan yang juga sebagai jalur pantura menuju ke arah Kendal – Batang menjadi tertutup. Otomatis jalur transportasi regional tersebut menjadi terganggu.

Tidak hanya banjir, penduduk Semarang menjadi kehilangan tempat wisata yang murah meriah. Dulu, kawasan hutan karet Mijen juga menjadi pusat penjualan duren atau rambutan dari Kec. Gunung pati. Banyak orang dari luar Semarang selalu mencari durian di kawasan tersebut. Sekarang kalau mau cari durian Gunung pati harus ke supermarket kali ya? Hehehe.

Kembali lagi ke urusan GOR Trilomba Juang. GOR Trilomba Juang adalah GOR kedua setelah GOR di kawasan Simpang Lima dibongkar untuk pembangunan Hotel dan Mall Citraland. Hhmm GOR Simpang Lima itu juga menjadi salah satu contoh pembongkaran kawasan publik menjadi komersial private. Orang tidak bisa menikmati kawasan komersial private seenak hatinya karena akan membutuhkan biaya untuk masuk ke kawasan tersebut.

GOR Trilomba Juang meskipun lebih kecil ukurannya dari GOR Simpang Lima, tapi dulu sering dimanfaatkan untuk pertandingan olahraga tingkat regional maupun nasional, konser musik, tempat olahraga sekolah-sekolah yang gak punya lapangan olah raga. Bahkan oleh penduduk di sekitarnya GOR Trilomba Juang juga punya fungsi hidrologis. GOR Trilomba Juang ini terletak di kaki bukit Mugas. Kawasan di atasnya merupakan kawasan permukiman padat penduduk.

Saat aku TK, aku ingat GOR Trilomba Juang menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Tengah. Saat itu diadakan PORSENI sekolah. Aku ditugaskan untuk memberikan bunga pada ibu Soepardjo Rustam, ibu Gubernur Jateng saat itu. Meski belum punya rasa bangga karena masih kecil, saat melihat foto itu sekarang rasanya bangga.

Ada kenangan lain tentang GOR tersebut. Saat kuliah, Grup Band DEWA mengadakan konser musik di Semarang, memilih GOR Trilomba Juang sebagai tempat konser. Aku tergerak untuk menonton karena seumur hidup belum pernah nonton konser musik. Berhubung tiketnya mahal dan pasti berdesak-desakkan, aku memilih nonton konser tersebut dari atas GOR Trilomba Juang. Kebetulan ada teman kuliahku, Ratih yang rumahnya tepat di atas GOR Trilomba Juang.

Kebetulan konsernya diadakan malam minggu. Jadi sore itu, bersama beberapa teman sudah siap nongkrong di rumah Ratih. Beberapa kali melongokkan kepala dari halaman belakang rumah Ratih melihat posisi panggung pertunjukkan. Eh lha kok ternyata panggung tersebut membelakangi bagian belakang rumah Ratih. Berarti aku dan teman-teman sama sekali tidak bisa melihat pertunjukkan musik itu. Huahahaha...rombongan kecewa. Tapi sebagai gantinya kami malah mengobrol, dan bercanda sampai larut malam, diiringi hentakan lagu-lagu DEWA.

Mengenai fungsi hidrologis dan ekologis, aku membayangkan bahwa penduduk Mugas akan kekurangan air. Pasalnya beberapa rumah yang letaknya di atas GOR Trilomba Juang menggantungkan persediaan air tanah pada sumur artesis yang diambil dari kawasan GOR. Kalo di situ dibangun hotel, air tanah akan banyak tersedot untuk memenuhi kebutuhan hotel.
Pohon-pohon di sekitar kawasan GOR pasti akan dipotong. Otomatis habitat makhluk hidup di situ akan hilang. Termasuk burung-burung sehingga tidak terdengar lagi kicau burung dari rumah Ratih. Bahkan angin sepoi-sepoi saat nongkrong di halaman belakang rumah Ratih pun akan berkurang.

Satu hal lagi, kawasan tersebut pasti akan macet. Padahal jalan di depannya tidak cukup lebar. Aduh..gak terbayang deh jika wacana tersebut diwujudkan. Pasti lambat laun, Semarang akan kehilangan ruang publik dan RTH satu-persatu jika aparatur pemerintahan tidak menyadari arti penting kehadiran RTH untuk menyeimbangkan fungsi ekologis, hidrologis dan ruang publik.