Oleh: M. Puteri Rosalina
Masih ingat dengan kasus penempatan jalur busway di kawasan perumahan Pondok Indah yang menuai protes keras? Jalur busway koridor VIII tersebut akan mengorbankan jalur hijau dan 520 pohon palem. Pohon-pohon yang sudah tertanam 30 tahun tersebut akan dipindah ke tempat lain, bahkan ditebang.
Pemerintah berjanji akan mengompensasi pohon-pohon yang terpaksa ditebang tersebut dengan menanam pohon-pohon baru di sepanjang tepi jalan Metro PI. Pohon yang akan ditanam adalah pohon yang bisa menyerap polusi
Kasus pemindahan pohon ke lokasi lain bukanlah yang pertama terjadi di Jakarta. Akibat proses pembangunan fisik gedung, jalan, atau trotoar, banyak pohon-pohon yang dipindahkan ke tempat lain. Pemindahan tersebut memang sepele di mata pemerintah karena mereka menganggap jumlah pohon akan tetap sama. Bahkan dianggap luasan ruang terbuka hijau juga sama.
Namun, jika pohon bisa bicara dia akan berteriak dan berdemo menolak pemindahan. Bisa dibayangkan ratusan pohon palem dengan tinggi sekitar 3 meter akan berbaris di depan gedung Balaikota. Akan lebih ngeri dan menakutkan, dibandingkan rombongan manusia yang berdemo. Berondongan peluru pun tidak akan mampu menembus barikade demo pohon palem tersebut.
Pohon palem patut protes dan berdemo. Pasalnya sudah terbentuk satu kesatuan rantai makanan di jalur hijau sepanjang Pondok Indah. Ada organisme yang bergantung pada pohon palem. Bahkan pohon palem tersebut juga bergantung pada organisme lain. Saat pohon palem ditebang atau dipindah, rantai makanan yang sudah terbentuk selama 30 tahun akan rusak. Lambat laun, ekosistem kecil di jalur hijau tersebut akan rusak. Rumput akan mengering bahkan cacing-cacing akan mati.
Tentu pemerintah tidak akan mengerti soal rantai makanan. Bahkan akan tertawa dengan istilah rantai makanan tersebut. Kasus ini pemindahan pohon-pohon palem di jalur hijau tersebut lebih tepat jika diganti dengan ’tukar guling lingkungan’.
Kasus tukar guling lingkungan lainnya adalah kasus penggantian areal mangrove di kawasan utara Jakarta. Sekitar tahun 1990 an, kompleks real estate Pantai Indah Kapuk (PIK) mulai dibangun di areal mangrove di teluk Jakarta. Pembangunan tersebut menimbulkan kontroversi karena sebagian areal tersebut merupakan kawasan konservasi/lindung. Kawasan konservasi yang sebagian besar wilayahnya merupakan areal mangrove tersebut berfungsi sebagai daerah parkir air dan pelindung pantai dari abrasi dan gelombang pasang. Namun, tetap saja perusahaan kapitalis pimpinan Ciputra berhasil membangun kawasan real tersebut .
Saat proses pembangunan, Ciputra berjanji akan membangun catchment area baru berupa danau buatan untuk penampungan air. Bahkan dia berkeyakinan bahwa proses pembangunan tersebut tidak akan menimbulkan banjir atau bencana lingkungan lainnya.
Menurut keputusan Menteri Kehutanan No. 48/Menhut-II/2004 tentang Revisi Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, jika suatu kawasan lindung dipakai untuk kepentingan lain maka wajib menggantikannya dengan lahan di lokasi lain dengan perbandingan 1 : 2. Nah, berdasarkan peraturan ini, PIK mengganti kawasan lindung tersebut dengan lahan di wilayah lain. Data areal pengganti tersebut dapat dilihat di bawah ini.
Luas Kawasan Pengganti Pantai Indah Kapuk / Hutan Kota Angke Kapuk:
1. Tanah / lahan 1.190 Ha di Citarum – Dt. II Cianjur
2. Tanah / lahan 75 Ha di Rumpin – Dt. II Bogor
3. Tanah / lahan 350 Ha di Nagrak – Dt. II Sukabumi
4. Tanah / lahan 18,4 Ha di Pulau Penjaliran Barat – Kab. Kepulauan Seribu
5. Tanah / lahan 19,5 Ha di Pulau Penjaliran Timur, Kab. Kepulauan Seribu
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Prop. DKI Jakarta (11-2-2002)
Ada sesuatu yang janggal pada kebijakan menteri kehutanan tersebut. Tidak ada ketentuan yang menyebutkan syarat penggantian kawasan lindung. Misalnya ada keharusan areal pengganti tersebut harus mempunyai karakteristik fungsi yang sama. Jadi jika yang dipakai adalah kawasan lindung mangrove, maka penggantinya adalah kawasan mangrove juga dengan karakteristik yang kurang lebih sama.
Sekarang jika areal penggantinya adalah lahan di daerah Bogor dan Cianjur yang ekosistemnya sangat berbeda dengan ekosistem mangrove. Hal ini berarti kawasan lindung mangrove tersebut fungsinya rusak.
Sekali lagi para pembuat kebijakan ataupun si kapitalis Ciputra tidak mengerti arti sebenarnya dari sebuah ekosistem. Dalam ekosistem mangrove, semua anggotanya sudah mempunyai job desk khusus dalam sebuah rantai makanan. Jika salah satu hilang, akan mengancam keseimbangan ekosistem tersebut.
Tukar guling lingkungan untuk kepentingan kapitalis tidak berhenti pada pohon palem dan bakau saja. Pada manusia sebagai salah satu anggota lingkungan sosial, pun banyak terjadi. Sebut saja kasus tukar guling SLTP 56 Melawai yang lokasinya akan digunakan untuk bangunan kapitalis pusat perbelanjaan. Meski manusia merupakan makhluk hidup yang cepat beradaptasi, belum tentu akan dengan mudah menempati lokasi baru.
Hhhmmm....sampai kapan proses ’tukar guling lingkungan’ akan terus berlangsung? Nanti bisa-bisa taman kota di Monas akan ditukar guling dengan lapangan sepak bola di daerah Bogor. Taman Kota malah akan dibangun Pusat perbelanjaan dan apartemen...Hhhm siapa tahu?
Pemerintah berjanji akan mengompensasi pohon-pohon yang terpaksa ditebang tersebut dengan menanam pohon-pohon baru di sepanjang tepi jalan Metro PI. Pohon yang akan ditanam adalah pohon yang bisa menyerap polusi
Kasus pemindahan pohon ke lokasi lain bukanlah yang pertama terjadi di Jakarta. Akibat proses pembangunan fisik gedung, jalan, atau trotoar, banyak pohon-pohon yang dipindahkan ke tempat lain. Pemindahan tersebut memang sepele di mata pemerintah karena mereka menganggap jumlah pohon akan tetap sama. Bahkan dianggap luasan ruang terbuka hijau juga sama.
Namun, jika pohon bisa bicara dia akan berteriak dan berdemo menolak pemindahan. Bisa dibayangkan ratusan pohon palem dengan tinggi sekitar 3 meter akan berbaris di depan gedung Balaikota. Akan lebih ngeri dan menakutkan, dibandingkan rombongan manusia yang berdemo. Berondongan peluru pun tidak akan mampu menembus barikade demo pohon palem tersebut.
Pohon palem patut protes dan berdemo. Pasalnya sudah terbentuk satu kesatuan rantai makanan di jalur hijau sepanjang Pondok Indah. Ada organisme yang bergantung pada pohon palem. Bahkan pohon palem tersebut juga bergantung pada organisme lain. Saat pohon palem ditebang atau dipindah, rantai makanan yang sudah terbentuk selama 30 tahun akan rusak. Lambat laun, ekosistem kecil di jalur hijau tersebut akan rusak. Rumput akan mengering bahkan cacing-cacing akan mati.
Tentu pemerintah tidak akan mengerti soal rantai makanan. Bahkan akan tertawa dengan istilah rantai makanan tersebut. Kasus ini pemindahan pohon-pohon palem di jalur hijau tersebut lebih tepat jika diganti dengan ’tukar guling lingkungan’.
Kasus tukar guling lingkungan lainnya adalah kasus penggantian areal mangrove di kawasan utara Jakarta. Sekitar tahun 1990 an, kompleks real estate Pantai Indah Kapuk (PIK) mulai dibangun di areal mangrove di teluk Jakarta. Pembangunan tersebut menimbulkan kontroversi karena sebagian areal tersebut merupakan kawasan konservasi/lindung. Kawasan konservasi yang sebagian besar wilayahnya merupakan areal mangrove tersebut berfungsi sebagai daerah parkir air dan pelindung pantai dari abrasi dan gelombang pasang. Namun, tetap saja perusahaan kapitalis pimpinan Ciputra berhasil membangun kawasan real tersebut .
Saat proses pembangunan, Ciputra berjanji akan membangun catchment area baru berupa danau buatan untuk penampungan air. Bahkan dia berkeyakinan bahwa proses pembangunan tersebut tidak akan menimbulkan banjir atau bencana lingkungan lainnya.
Menurut keputusan Menteri Kehutanan No. 48/Menhut-II/2004 tentang Revisi Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, jika suatu kawasan lindung dipakai untuk kepentingan lain maka wajib menggantikannya dengan lahan di lokasi lain dengan perbandingan 1 : 2. Nah, berdasarkan peraturan ini, PIK mengganti kawasan lindung tersebut dengan lahan di wilayah lain. Data areal pengganti tersebut dapat dilihat di bawah ini.
Luas Kawasan Pengganti Pantai Indah Kapuk / Hutan Kota Angke Kapuk:
1. Tanah / lahan 1.190 Ha di Citarum – Dt. II Cianjur
2. Tanah / lahan 75 Ha di Rumpin – Dt. II Bogor
3. Tanah / lahan 350 Ha di Nagrak – Dt. II Sukabumi
4. Tanah / lahan 18,4 Ha di Pulau Penjaliran Barat – Kab. Kepulauan Seribu
5. Tanah / lahan 19,5 Ha di Pulau Penjaliran Timur, Kab. Kepulauan Seribu
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Prop. DKI Jakarta (11-2-2002)
Ada sesuatu yang janggal pada kebijakan menteri kehutanan tersebut. Tidak ada ketentuan yang menyebutkan syarat penggantian kawasan lindung. Misalnya ada keharusan areal pengganti tersebut harus mempunyai karakteristik fungsi yang sama. Jadi jika yang dipakai adalah kawasan lindung mangrove, maka penggantinya adalah kawasan mangrove juga dengan karakteristik yang kurang lebih sama.
Sekarang jika areal penggantinya adalah lahan di daerah Bogor dan Cianjur yang ekosistemnya sangat berbeda dengan ekosistem mangrove. Hal ini berarti kawasan lindung mangrove tersebut fungsinya rusak.
Sekali lagi para pembuat kebijakan ataupun si kapitalis Ciputra tidak mengerti arti sebenarnya dari sebuah ekosistem. Dalam ekosistem mangrove, semua anggotanya sudah mempunyai job desk khusus dalam sebuah rantai makanan. Jika salah satu hilang, akan mengancam keseimbangan ekosistem tersebut.
Tukar guling lingkungan untuk kepentingan kapitalis tidak berhenti pada pohon palem dan bakau saja. Pada manusia sebagai salah satu anggota lingkungan sosial, pun banyak terjadi. Sebut saja kasus tukar guling SLTP 56 Melawai yang lokasinya akan digunakan untuk bangunan kapitalis pusat perbelanjaan. Meski manusia merupakan makhluk hidup yang cepat beradaptasi, belum tentu akan dengan mudah menempati lokasi baru.
Hhhmmm....sampai kapan proses ’tukar guling lingkungan’ akan terus berlangsung? Nanti bisa-bisa taman kota di Monas akan ditukar guling dengan lapangan sepak bola di daerah Bogor. Taman Kota malah akan dibangun Pusat perbelanjaan dan apartemen...Hhhm siapa tahu?