Oleh : M. Puteri Rosalina
Latar Belakang
Peristiwa banjir di Jakarta tahun 2002 menimbulkan trauma yang mendalam bagi masyarakat Jakarta. Banjir bandang tersebut menimbulkan kerugian beratus-ratus miliar rupiah, membuat sebagian penduduk kehilangan tempat tinggal, dan membuat transportasi Jakarta lumpuh selama beberapa saat. Pemerintah Jakarta lalu menuding wilayah di daerah hulu, yaitu kawasan Puncak dan Bogor sebagai penyebab banjir tersebut. Selain itu juga menyalahkan masyarakat yang menghuni kawasan bantaran sungai telah membuang sampah sembarangan ke sungai.
Setelah peristiwa itu, berbagai pihak saling menyalahkan siapa penyebab banjir bandang sebenarnya. Di berbagai media, semua pihak berlomba untuk mengeluarkan pernyataan bahwa penyebab banjir adalah pihak A, B, atau C tanpa ada penyelesaian yang pasti. Saat itu, pemprov DKI Jakarta segera mengeluarkan aturan pembongkaran bangunan-bangunan villa di Puncak yang tidak mempunyai izin. Selain itu, bangunan-bangunan liar di bantaran sungai yang dihuni oleh masyarakat kurang mampun segera diperintahkan untuk dibongkar tanpa ada ganti rugi.
Dengan kata lain, penanganan banjir di Jakarta tahun 2002 hanya bersifat sementara saja. Beberapa bulan berikutnya, aturan-aturan tersebut kembali melunak. Bahkan sampah masih saja menggunung di pintu air-pintu air.
Meski pemprov DKI Jakarta terkesan tidak serius menangani banjir di Jakarta, ada beberapa kelompok masyarakat yang berusaha untuk mencegah terjadinya banjir. Seperti misalnya, seperti yang diberitakan Kompas, 15 Desember 2006, LSM peduli lingkungan memberdayakan para wanita yang tinggal di bantaran sungai untuk menerapkan hidup bersih dan sehat. Caranya dengan tidak membuang sampah lagi di sungai dan menjadikan sungai sebagai sarana MCK (mandi, cuci, kakus). Sampah dari masing-masing rumah tangga disarankan untuk dipilah-pilah berdasarkan jenisnya dan dikumpulkan pada satu tempat.
Selain itu, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak tinggal di bantaran sungai, mencoba mendaur-ulang sampah menjadi barang-barang yang berguna. Bahkan beberapa wilayah di Jakarta sudah mencoba mengolah limbah rumah tangganya sendiri.
Untuk mencegah banjir, saat musim penghujan tiba, beberapa wilayah yang rawan banjir berusaha untuk membersihkan saluran-saluran air dan lingkungan. Bahkan masyarakat yang tadinya tinggal di bantaran sungai dengan sukarela mau pindah ke rumah susun yang telah disediakan sebagai bentuk upaya ikut menanggulangi banjir Jakarta.
Hasilnya cukup memuaskan. Meski banjir tahunan tetap saja terjadi di beberapa wilayah, tetapi resikonya bisa diminimalisir. Sedangkan pemerintah, meski usaha pencegahan banjir yang dilakukan cenderung seragam dari tahun ke tahun, juga bisa mengurangi resiko banjir yang terjadi. Setiap tahun, pemprov DKI Jakarta hanya melakukan normalisasi sungai dengan pengerukan sedimentasi dan meneruskan proyek pembangunan Banjir Kanal Timur yang tertunda bertahun-tahun.
Permasalahan
Globalisasi ekonomi yang mengadopsi ajaran kapitalisme yang selalu mencari keuntungan sebesar-besarnya, telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Hutan dibabat untuk diambil hasil kayu sebanyak-banyaknya. Kawasan konservasi yang telah ditetapkan sebagai daerah resapan air, dimanfaatkan untuk areal perumahan. Air tanah dieksploitasi berlebihan untuk konsumsi manusia. Limbah rumah tangga dan pabrik dengan seenaknya dibuang ke sungai ataupun laut sehingga menimbulkan pencemaran. Semua kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan semata hanya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa harus mengeluarkan biaya besar.
Bahkan beberapa hal yang dulunya tidak dijual dan merupakan hak asasi manusia karena kapitalisme telah berubah fungsi. Misalnya sumber daya alam udara dan air, pendidikan, kesehatan, kebudayaan telah menjadi komoditas yang diberi label harga dan siap diperjualbelikan.
Namun agaknya setelah kenyang dengan semua kerusakan lingkungan, sebagian masyarakat mulai menyadari dampak negatif dari globalisasi ekonomi. Mereka berusaha untuk keluar dari sistem yang ada. Meski sulit dan mendapat banyak tantangan dari pihak-pihak yang masih menerapkan kapitalisme. Akan tetapi, justru mendapat dukungan dari masyarakat yang tertindas karena kapitalisme. Misalnya masyarakat yang tinggal di bantaran sungai.
Ada dua versi yang menyatakan usaha-usaha pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Versi pertama menyebutkan usaha tersebut merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap kaum-kaum kapitalis yang telah menyengsarakan mereka. Namun versi lain menyebutkan usaha tersebut adalah cikal bakal kapitalisme yang adaptif terhadap lingkungan.
Di luar semua anggapan tersebut, sekarang telah banyak berkembang usaha-usaha pelestarian lingkungan dan konservasi dari berbagai kalangan masyarakat di dunia. Tujuan utama gerakan tersebut hanya ingin menjaga seluruh sumber daya alam supaya bisa diwariskan pada anak cucu kelak.
Sejak Kapan Manusia Melakukan Perusakan Terhadap Alam?
Selama kurang lebih satu abad, manusia mulai menyadari bahwa berada dalam proses kehancuran alam. Alam yang telah diciptakan Tuhan sebagai satu-satunya habitat untuk hidup telah rusak. Pelaku perusakannya tidak lain adalah manusia sendiri. Sejak kapan manusia melakukan perusakan terhadap alam?
Romo Frans Magnis Suseno dalam buku “Berfilsafat Dari Konteks” menyebutkan, perusakan lingkungan bukan sekedar nafsu manusia modern yang memanfaatkan alam untuk meningkatkan konsumsi. Akan tetapi berdasarkan sebuah legitimasi teologis. Berabad-abad lamanya, manusia Barat mengeksploitasi alam berdasarkan anggapan bahwa tindakannya telah dibenarkan oleh Tuhan. Dalam Kitab Kejadian 1:28, disebutkan “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”.
Perintah Tuhan itu ternyata oleh manusia modern diartikan sebagai sebuah perintah resmi untuk menjadikan diri penguasa mutlak atas seluruh alam. Kekuasaan itu lantas diartikan sebagai wewenang untuk memanfaatkan alam habis-habisan. Perintah Tuhan yang tertera dalam kitab suci perjanjian lama tersebut dijadikan sebuah dasar ideologi yang mensahkan manusia menjadikan seluruh dunia sebagai alat untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Namun menurut Hobsbawm dalam Sanderson (2003:200), perusakan lingkungan oleh manusia baru dimulai sejak revolusi industri di Inggris pada abad 15. Dalam bukunya Industry and Empire, dia menyebutkan kota-kota pabrik di Inggris penuh dengan asap yang menyesakkan dan menimbulkan pencemaran. Pelayanan masyarakat yang mendasar seperti persediaan air, sanitasi, kebersihan jalan, udara bersih tidak sebanding dengan migrasi yang terjadi. Pencemaran selain udara juga pencemaran air yang menyebabkan timbul wabah penyakit seperti kolera dan tipus serta penyakit saluran pernapasan dan usus. Korban berjatuhan.
Cerita Hobsbawm ini sesuai dengan pernyataan Gorz (2005:17), masyarakat industri telah menjarah secara membabi-buta cadangan sumber daya alam untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Marx (2002) menyebutkan, revolusi industri sebagai awal dimulainya kapitalisme.
Suseno (1991:227), sepaham dengan Gorz dan Hobsbawm, bahwa ekonomi kapitalistik telah merusak lingkungan. Dalam ekonomi kapitalistik tujuan produksi adalah laba perusahaan. Laba menjami bahwa sebuah perusahaan dapat mempertahankan diri dalam alam saingan bebas. Untuk meningkatkan laba, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin. Oleh karena itu ekonomi modern condong untuk mengeksploitasi kekayaan alam dengan semudah mungkin, tanpa memikirkan akibat bagi alam sendiri dan tanpa usaha untuk memulihkannya.
Namun Suseno juga menyebutkan, ekonomi sosialisme juga punya andil untuk merusak lingkungan. Bahkan lebih parah. Paham sosialisme selalu direalisasikan di bawah seorang pemimpin diktator yang tidak peduli pada kehendak masyarakat. Masyarakat tidak berani mengajukan protes. Industrialisasi dipaksakan tanpa perhatian pada kesehatan masyarakat.
Kesalahan Sikap Dasar Manusia Terhadap Perusakan Alam (1991:226)
Magnis Suseno mencoba untuk merumuskan akar kesalahan dasar sikap manusia terhadap perusakan alam:
1. Sikap Teknokratis
Pola pendekatan manusia modern terhadap alam dapat disebut teknokratis. Artinya manusia memandang alam sebagai obyek penguasaan. Alam menjadi sekedar sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dianggap tambang kekayaan dan energi yang perlu dimanfaatkan dan dieksploitasi.
2. Sikap Manusia terhadap lingkungan
Sikap dasar ini terlihat dalam cara manusia bersikap terhadap lingkungannya. Sikap tersebut merupakan ciri khas seluruh perekonomian modern maupun sikap manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak Kapan Manusia Mulai Bersikap Ekologis?
Sebelum mengetahui sejak kapan manusia mulai bersikap ekologis, harus diketahui dulu pengertian masyarakat berwawasan ekologi. Aoshima (1999), menyebutkan ada 3 definisi masyarakat berwawasan ekologi:
1. Sebuah masyarakat yang peduli terhadap sinar matahari, udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan hijau, dan karunia-karunia alam lainnya.
2. Sebuah masyarakat yang mengendalikan konsumsi sumber-sumber alam dan energi secara massal dan berusaha mendaur-ulang menggunakan sumber-sumber alam secara efektif.
3. Sebuah masyarakat yang berusaha kembali ke alam dengan membuang sampah yang telah diolah atau didaur-ulang untuk memperkecil beban lingkungan.
Pendekatan ekologis, menurut Budiarjo (1999), sudah sejak dahulu dilakukan secara turun-temurun oleh nenek moyang dengan dasar agama, kepercayaan, atau mitos. Misalnya keengganan orang Jawa untuk menebang pohon besar karena percaya pohon itu ada yang menunggu yaitu makhluk halus. Bila ada yang berani menebangnya, diyakini bahwa orang yang menebangnya akan kesambet (kesurupan). Sikap dan perilaku yang didasari oleh kepercayaan tersebut, bila dikaji secara ilmiah sebetulnya memiliki nilai yang tinggi dari sudut pandang ekologis. Pasalnya, keberadaan pohon besar yang tua dan rindang tersebut tidak hanya memberi keteduhan, menyegarkan karena mengubah CO2 menjadi O2, mengurangi panas, menahan longsor, dan berperan dalam penyerapan air tanah.
Namun menurut Gorz (2005:17), masyarakat mulai menyadari bahwa kapitalisme yang selalu mencari keuntungan berdampak negatif pada kerusakan lingkungan melalui eksploitasi sumber daya alam. Dalam kurun waktu dua dasawarsa, fokus yang menjadi pembahasan dunia mengenai lingkungan mengarah pada kerusakan ozon, pemanasan global, dan hujan asam. Saat konsep kapitalisme yang menggunakan prinsip perolehan keuntungan secara efektif dan efisien berlaku, lingkungan dibiarkan menjadi ajang pertaruhan kapitalisme.
Sebelumnya masyarakat dunia percaya bahwa persediaan air tawar di bumi ini sifatnya tidak terbatas karena adanya daur hidrologi. Namun asumsi ini menurut Barlow dan Clarke (2005) salah. Persediaan air tawar berjumlah kurang dari setengah dari satu persen jumlah air di bumi. Sisanya adalah air laut, es yang beku di kutub utara dan selatan, atau air yang tersimpan di dalam tanah yang tidak dapat diakses oleh manusia. Manusia telah mengeksploitasi dan mencemari sumber daya air tawar di bumi secara besar-besaran.
Bencana kekeringan dan kekurangan air telah terjadi di seluruh dunia. Barlow dan Clarke (2005) menyebutkan, di Cina, pada tahun 1997, air sungai Kuning tidak bisa mengalir ke laut karena debitnya berkurang. Permukaan air tanah di Utara daratan Cina turun hingga 1,5 meter setiap tahunnya.
Menurut Marq de Villiers dalam Barlow dan Clarke (2005), sebanyak 22 negara Afrika tidak bisa menyediakan air untuk seluruh penduduk. Bahkan di India telah terjadi penurunan permukaan air tanah karena eksploitasi air tanah yang berlebihan.
Di Indonesia, meskipun Budiarjo (1999) mempercayai bahwa nenek moyang sudah mulai bersikap ekologis. Akan tetapi kenyataannya setelah tingkat perekonomian Indonesia mulai meningkat, sikap-sikap ekologis tersebut mulai luntur. Setiap tahun terjadi kerusakan hutan … hektar karena ilegal logging dan pembakaran (Kompas,…..). Ancaman pencemaran air dan udara terus meningkat di kota-kota besar. Kawasan-kawasan konservasi daerah resapan air mulai dibangun untuk areal permukiman komersial.
Akibatnya, bencana-bencana alam terus terjadi di Indonesia. Saat musim kemarau, bencana kekeringan mulai menyerang beberapa wilayah karena sungai, waduk, danau mulai mengering. Kuantitas air tanah juga mulai berkurang, sehingga sebagian masyarakat mengeluh kekurangan air . Bencana kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan juga menjadi agenda rutin setiap musim kemarau tiba. Sebaliknnya saat musim penghujan, bencana banjir dan tanah longsor silih berganti terjadi.
Prinsip Konservasi dan Kemitraan dalam Ekonomi Global
Menurut Gorz (2005), kecenderungan untuk memandang lingkungan sebagai bagian integral dari konsep pembangunan adalah sesuatu yang tidak baru lagi. Konvensi yang memberikan dasar yang kuat bagi pendekatan pembangunan berbasis lingkungan mulai bermunculan. Seperti Konvensi Air Global tahun 2003 yang melindungi persediaan air dunia (Barlow dan Clarke, 2005), Vienna Convention tahun 1985 dan Montreal Protocol (1989) tentang strategi penanggulangan masalah ozon (….). Agenda Hijau yang merupakan fokus pembahasan kerusakan lingkungan global:kerusakan lapisan ozon, pemanasan global, dan hujan asam (Aoshima,2003).
Dari berbagai konvensi dan perjanjian lingkungan tersebut sudah banyak terjawab permasalahan mengenai efek negatif yang harus diemban dalam konsep pembangunan. Tapi kelihatannya pendekatan lingkungan menjadi terbelakang di tengah arus deras pembangunan yang mulai bergeser ke arah globalisasi.
Menurut Barlow dan Clarke (2005:100), globalisasi ekonomi merupakan sebuah sistem yang didasari oleh kepercayaan bahwa sebuah ekonomi global dengan peraturan universal yang dibuat oleh korporasi dan pasar finansial adalah hal yang tidak dapat dihindari.
Namun, Inoguchi, Newman dan Paoletto (2003) percaya bahwa penggunaan energi, konsumsi, produksi, kebebasan individu, dan perusahaan dalam pasar bebas dapat diselaraskan dengan lingkungan. Hal ini tergantung pada komitmen masyarakat akan ekologi yang berkelanjutan. Masyarakat mulai merasakan adanya kebutuhan untuk mengurangi pencemaran udara dan air, mengurangi volume sampah, mengatur sistem air, serta mengembangkan sistem transportasi yang efisien dan adil bagi seluruh masyarakat. Semuanya bertujuan untuk mengurangi bencana akibat kemurkaan alam (Inoguchi, Newman dan Paoletto,2003).
Aoshima (2003) menyebutkan ada tiga prinsip untuk memecahkan masalah kerusakan lingkungan:
1. Prinsip Aksi
Jaringan kerja sama internasional dianggap penting dalam kaitannya dengan berbagai usaha untuk mengatasi masalah lingkungan.
2. Prinsip Respons Komprehensif
Penting sekali mempelajari permasalahan secara ilmiah dan menciptakan sebuah kebijakan yang komprehensif.
3. Prinsip Kemitraan
Permasalahan lingkungan sangat sulit dan berskala global. Diperlukan kemitraan jaringan kerjasama dan persekutuan diantara kota-kota dunia dan PBB, LSM, dan masyarakat.
Setelah terjadi kerusakan lingkungan di berbagai tempat yang menimbulkan kerugian bagi manusia, Gorz (2005) menyebutkan diperlukan bentuk perlawanan massif bagi proyek pembangunan yang kapitalistik. Diantaranya yang pernah dilakukan oleh sejumlah gerakan sosial untuk melakukan pengorganisasian masyarakat sipil yang tertindas oleh proyek globalisasi. Gerakan sosial baru kini mulai menempatkan permasalahan lingkungan sebagai sebuah prioritas penting. Juga diperlukan rumusan gagasan alternatif yang bisa mendorong terbentuknya kesadaran perlawanan yang kritis.
Analisis
Usaha-usaha pencegahan dan penanggulangan banjir yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di bantaran sungai Jakarta bisa dikatakan merupakan bentuk perlawanan terhadap globalisasi ekonomi.
Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai merupakan masyarakat korban kapitalisme. Mereka adalah golongan menengah ke bawah yang terpaksa pindah ke kota untuk mengadu nasib mencari penghasilan yang bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Namun karena tingkat pendidikan yang rendah, membuat mereka tidak bisa bersaing dalam pasar kerja. Mereka hanya bisa bekerja pada sektor-sektor informal yang tingkat penghasilannya sangat rendah. Lokasi permukiman yang bisa terjangkau pun hanya di bantaran sungai dan bawah jembatan saja.
Penghuni bantaran sungai lainnya adalah masyarakat korban gusuran. Dulunya masyarakat tersebut bertempat tinggal pada suatu areal kosong yang tidak berpenghuni dan sudah bertahun-tahun kosong (lahan tidur). Namun karena perkembangan ekonomi suatu wilayah, lahan tersebut dianggap menjadi hak milik pihak swasta. Pihak swasta menggunakan areal tersebut menjadi pusat perdagangan (mal), apartemen, atau kawasan bisnis komersial lainnya.
Jelas masyarakat yang tadinya tinggal di lokasi tersebut harus rela pergi karena memang tidak memiliki surat-surat resmi. Ataupun jika sudah memiliki surat-surat resmi tidak diakui oleh pemerintah. Mereka hanya mendapat ganti rugi yang sangat sedikit. Pilihan untuk bertempat tinggal jatuh pada daerah bantaran sungai ataupun bawah jembatan.
Bertempat tinggal di bantaran sungai tidak mendapat fasilitas resmi dari pemerintah, seperti listrik, sarana pembuangan sampah, dan air bersih. Alhasil mereka mencoba mengelola sendiri semua fasilitas-fasilitas tersebut. Meski bertempat tinggal di bantaran sungai, bukan berarti mereka tidak menjaga kebersihan lingkungan sungai. Dengan kesadaran masing-masing pribadi, mereka mencoba mengumpulkan sampah pada suatu tempat dan meminta Dinas Kebersihan DKI Jakarta untuk mengambilnya setiap hari.
Mereka tahu dan sadar jika sampah dibuang ke sungai akan menimbulkan banjir. Selanjutnya akan semakin menyusahkan kehidupan mereka. Tumpukan sampah yang dibuang ke sungai atau pinggir sungai akan menimbulkan bau yang sangat menyengat sehingga membuat kehidupan tidak nyaman.
Tidak hanya mengumpulkan sampah, mereka juga mencoba untuk membersihkan sampah-sampah yang ada di sungai dengan peralatan sekedarnya. Bahkan cenderung membahayakan mereka karena tidak menggunakan bantuan alat mekanis.
Semua tindakan tersebut dilakukan oleh masyarakat bantaran sungai sebagai usaha untuk mencegah terjadinya banjir yang rutin terjadi setiap tahun. Selain itu secara tidak langsung mereka mulai sadar akan pentingnya kebersihan lingkungan bagi kesehatan dan keberlangsungan lingkungan hidup di Jakarta.
Tindakan masyarakat di bantaran sungai tersebut difasilitasi oleh sejumlah LSM yang peduli terhadap lingkungan. Sebetulnya LSM tersebut sudah berupaya untuk mengajak pemprov DKI Jakarta supaya lebih memperhatikan penanganan dan pencegahan banjir Jakarta. Namun karena pemerintah lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan kapitalistik, kegiatan menjaga lingkungan dilupakan.
Usaha yang dilakukan oleh masyarakat bantaran sungai difasilitasi oleh LSM peduli lingkungan merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap globalisasi ekonomi. Mereka mulai sadar bahwa ekonomi kapitalis sudah merugikan lingkungan. Seperti munculnya banjir rutin setiap tahun. Mereka hanya tidak mau kegiatan ekonomi kapitalis akan semakin membuat lingkungan rusak.
Kegiatan masyarakat berwawasan ekologis berkelanjutan seperti masyarakat bantaran sungai tidak hanya itu. Sebagian masyarakat perkotaan sudah mulai melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan daur-ulang, pengurangan pencemaran, serta hemat energi.
Pengelolaan Sampah
Sampah merupakan masalah besar di perkotaan. Ketika jumlah penduduk semakin meningkat, sampah yang dihasilkan oleh masing-masing individu juga semakin banyak. Lahan untuk pembuangan akhir sampah yang tersedia sudah tidak mencukupi lagi. Selain itu pencemaran udara akibat bau yang ditimbulkan sampah serta pencemaran air tanah juga menjadi masalah yang saling berkaitan.
Sebagian besar masyarakat mulai menyadari hal tersebut. Mereka mencoba memilah-milah antara sampah organik yang bisa diolah lagi dan anorganik yang tidak bisa diolah. Selanjutnya sampah organik didaur-ulang menjadi barang-barang yang berguna lagi. Dan sampah anorganik di buang ke TPA sampah. Setidaknya hal ini mengurangi produksi sampah yang menumpuk di TPA.
Sebenarnya tindakan masyarakat ini bukan merupakan tindakan perlawanan terhadap globalisasi ekonomi. Tindakan tersebut merupakan suatu bentuk usaha kapitalisme yang adapatif terhadap rintangan-rintangan ekologi. Pasalnya sampah organik yang bisa didaurulang dijual lagi kepada masyarakat supaya mendapat nilai tambah. Masih ada unsur menambah atau mencari keuntungan dari kegiatan pengelolaan sampah.
Pengurangan Pencemaran
Polutan merupakan hasil pencemaran. Polutan yang paling berbahaya adalah yang dihasilkan oleh emisi industri dan gas buangan kendaraan bermotor. Kali ini pemerintah punya andil besar terhadap pengurangan polutan berbahaya tersebut. Caranya dengan mengeluarkan baku mutu emisi pencemaran dengan standar tertentu. Jika di suatu wilayah polutan-polutan yang dihasilkan sudah melewati batas yang ditetapkan, segera mengeluarkan peraturan pembatasan kendaraan bermotor.
Aturan ini direspons oleh sebagian masyarakat dengan kampanye bersepeda ke kantor atau yang lebih dikenal dengan istilah bike to work. Dengan alasan mengurangi pencemaran udara di Jakarta, kelompok tersebut mengajak masyarakat untuk mengendarai sepeda ke kantor. Meski hasilnya belum begitu signifikan, setidaknya usaha mereka patut diacungi jempol.
Usaha pemerintah tersebut dan kelompok bike to work, merupakan salah satu bentuk tindakan untuk melakukan konservasi atau pelestarian terhadap lingkungan.
Kesimpulan
Di tengah globalisasi ekonomi yang masih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran kapitalisme, masih ada beberapa kelompok masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat yang peduli terhadap lingkungan. Mereka mencoba melakukan usaha pelestarian atau konservasi dengan tindakan-tindakan ekologis karena merasa menderita karena kerusakan alam.
Mereka sudah lelah hidup dalam pengaruh kapitalisme yang terus merusak lingkungan. Padahal masih berkeyakinan bahwa lingkungan alam harus dipelihara supaya bisa diwariskan pada anak cucu. Jika alam rusak, generasi selanjutnya tidak bisa hidup di alam ini.
Salah satu kegiatan ekologis masyarakat adalah usaha pencegahan dan penanggulangan banjir oleh masyarakat bantaran sungai. Meski merupakan bentuk perlawanan terhadap globalisasi ekonomi, mereka masih berupaya untuk melakukan prinsip konservasi dan kemitraan dalam ekonomi global.