Senin, 25 Februari 2008

Keringnya Mata Air Kami

Tulisan ini sudah pernah dimuat di Harian Kompas tanggal 22 Maret 2006
M. Puteri Rosalina

"Air untuk minum saja kurang", keluh Agus. Keluhan Agus, anak kepala dusun Pangukrejo. Keluhan Agus adalah juga keluhan 200 keluarga yang tinggal di dusun itu. Padahal lokasi Pangukrejo, di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, di kaki Merapi itu tidak jauh dari mata air Bebeng.

Dulunya dusun ini dikelilingi banyak mata air. Air bagi penduduk dusun Pangukrejo tidak hanya digunakan untuk minum, memasak, mandi, dan mencuci. Air juga untuk menunjang usaha peternakan sapi perah dan pariwisata kawasan Kali Kuning. "Setidak-tidaknya dalam sehari, setiap keluarga membutuhkan 30 liter air," kata Agus. Kini untuk menutup kebutuhan itu, sebagian warga yang mampu membeli air dari mobil tangki. Satu tangki air-5.000 liter-dibeli dengan harga Rp 70.000. Biasanya untuk satu keluarga atau lebih, air sebanyak itu habis dalam sebulan.

Sekitar dua kilometer di bawah dusun Pangukrejo, seorang petani mengeluh. Sawahnya tak dapat ditanami padi karena tidak kebagian air dari sumber air di daerah Tanjung. "Daripada sawah kekurangan air, lebih baik ditanami rumput untuk pakan ternak," kata petani itu, yang ditemui sedang menyabit rumput, Jumat (17/3) lalu.

Itu hanya sekelumit cerita penduduk mengalami kekurangan air untuk kebutuhan air minum dan pertanian. Cerita-cerita tersebut menjadi semakin ironis karena ketiga daerah tersebut berada di kaki gunung Merapi yang dikelilingi oleh banyak sumber mata air. Menurut catatan Pemkab Sleman tahun 1979, di Kabupaten Sleman terdapat 102 mata air. Rata-rata ada dua atau tiga mata air di setiap desa.

Sekarang, kenyataannya berbeda. Ratusan mata air itu sebagian besar sudah mati. Yang tersisa hanyalah mata air Umbul Wadon, Bebeng, dan mata-mata air kecil lainnya. Umbul Wadon, satu-satunya mata air yang bisa diandalkan untuk kebutuhan air bersih penduduk Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

Mata air mengering
Jangan salah jika menganggap mata air tidak bisa kering atau mati. Berkurangnya debit mata air Bebeng menjadi pertanda buruk suatu mata air akan kering. Mata air merupakan air tanah yang memancar keluar dari permukaan tanah karena permukaan air tanah naik. Jika permukaan air tanah turun karena pasokannya berkurang, mata air pun akan mengering.

Air tanah dan juga air permukaan adalah air yang berasal dari hujan (dan juga es) yangterinfiltrasi ke dalam tanah. Volume air yang masuk dan menjadi cadangan air tanah itu lebih kecil dari air yang mengalir di permukaan. Menurut Direktur Pengelolaan Air Departemen Pertanian Gatot Irianto, jika air hujan yang jatuh ke tanah 38 inci, 26 inci akan masuk ke dalam tanah. Akan tetapi, yang tersimpan sebagai cadangan air tanah hanya 6 inci. Sebanyak 20 inci akan mengalir di atas permukaan air tanah dan kembali lagi menjadi uap air. Sedangkan 10 inci mengalir di permukaan sebagai run off (air larian), dan sisanya menguap.

Faktor perubahan musim berpengaruh pada mata air. Selama musim penghujan, debit mata air akan tinggi. Permukaan air tanah cenderung naik-yang keluar sebagai mata air semakin banyak. Air tanah saat musim hujan tidak hanya berasal dari cadangan air tanah saja, tapi juga dari air hujan yang meresap masuk ke dalam tanah. Sebaliknya, saat musim kemarau debit mata air akan mengecil karena permukaan air tanah menurun.

Kata kuncinya pada infiltrasi, ungkap Gatot lagi. Jika permukaan tanah tertutup oleh bangunan, kecepatan air yang mengalir di permukaan tanah jauh lebih besar daripada yang meresap ke dalam tanah. Akibatnya, air yang masuk ke dalam tanah akan lebih kecil daripada air yang mengalir di permukaan tanah. Selanjutnya, pasokan air tanah berkurang-permukaan air tanah turun-mata air mengering.

Contohnya mata air Bebeng di dusun Pangukrejo Sleman. Mata air yang hanya digunakan untuk pertanian dan keperluan air minum masyarakat ini semakin lama debitnya semakin mengecil. Penyebabnya adalah luas daerah resapan air di kawasan Kaliurang semakin berkurang seiring dengan meningkatnya persentase lahan terbangun untuk permukiman dan pariwisata. Menurut data BPS Kabupaten Sleman, tahun 2000 luas sawah yang ada di daerah resapan air (Kecamatan Turi, Pakem, Cangkringan, Tempel, Ngemplak, sebagian Sleman, Ngaglik) adalah 10.472 hektar. Empat tahun berikutnya sudah turun menjadi 10.360 hektar. Sebaliknya luas lahan permukiman mengalami peningkatan. Tahun 2000 seluas 7.760 hektar. Tahun 2004 menjadi 7.781 hektar.

Penyebab kerusakan mata air selain berkurangnya daerah resapan air, juga dipicu oleh pengambilan air secara berlebihan, baik dari mata air secara langsung maupun melalui sumur artesis. Meski air disedot melalui sumur yang lokasinya beberapa ratus meter dari sumber mata air, tekanan pompa sumur akan lebih cepat menarik air tanah yang harusnya keluar sebagai mata air. Biasanya mata air yangdieksploitasi mempunyai debit yang besar dan digunakan diluar kepentingan pertanian dan kebutuhan air minum masyarakat.

Sumber air Sigedang dan Kapilaler di daerah Klaten, misalnya. Petani Kecamatan Pedan, Trucuk, dan Ceper mengeluh kekurangan air setelah PT Tirta Investama membangun sumur bor tepat 10 meter di atas Umbul Sigedang. Sampai sekarang masih menjadi perdebatan pengaruh keberadaan sumur bor milik industri air minum dalam kemasan tersebut terhadap ketersediaan air irigasi pertanian.

Memicu konflik
Berebut memanfaatkan mata air oleh berbagai pihak-masyarakat, industri, perusahaan air minum-juga dapat memicu konflik. Konflik seperti itu pernah terjadi Juli 1999 lalu antarapetani daerah Pengging dengan PDAM Kota Surakarta. Proyek PDAM Surakarta yang memanfaatkan Umbul Kenanga untuk memperbesar debit air minummendapat tentangan dari masyarakat Pengging karena dianggap mengurangi pasokan air irigasi untuk areal persawahan di delapan desa.

"Konflik itu sebenarnya bisa dihindari dengan sistem proportional water sharing," kata Gatot Irianto. Sistem ini akan menempatkan setiap pengguna air secara proporsional dalam hal akses, kontrol, partisipasi, kontribusi, dan manfaat. Misalnya, pertanian mendapat 50 persen dari debit air, sektor air minum serta industri 35 persen, dan sisanya untuk konservasi lingkungan.

Kekurangan air di Sleman sekarang dan konflik karena air yang pernah terjadi di Boyolali agaknya bagian dari isyarat alam, agar manusia menjaga keseimbangan lingkungan. Selagi air itu ada, berebut memanfaatkannya dapat menyulut pertikaian. Bak kata Agus, warga dusun Pangukrejo tadi: Banyu iku adem tapi panas. Air itu sejuk, tapi dapat membakar kemarahan. Hanya saja, jika mata air itu sudah kering, orang mungkin tak perlu bertikai lagi, karena manusia mungkin akan menangis sampai kering air mata.

Selasa, 19 Februari 2008

Prinsip Konservasi dan Kemitraan dalam Ekonomi Global Masyarakat Bantaran Sungai di Jakarta

Oleh : M. Puteri Rosalina

Latar Belakang
Peristiwa banjir di Jakarta tahun 2002 menimbulkan trauma yang mendalam bagi masyarakat Jakarta. Banjir bandang tersebut menimbulkan kerugian beratus-ratus miliar rupiah, membuat sebagian penduduk kehilangan tempat tinggal, dan membuat transportasi Jakarta lumpuh selama beberapa saat. Pemerintah Jakarta lalu menuding wilayah di daerah hulu, yaitu kawasan Puncak dan Bogor sebagai penyebab banjir tersebut. Selain itu juga menyalahkan masyarakat yang menghuni kawasan bantaran sungai telah membuang sampah sembarangan ke sungai.
Setelah peristiwa itu, berbagai pihak saling menyalahkan siapa penyebab banjir bandang sebenarnya. Di berbagai media, semua pihak berlomba untuk mengeluarkan pernyataan bahwa penyebab banjir adalah pihak A, B, atau C tanpa ada penyelesaian yang pasti. Saat itu, pemprov DKI Jakarta segera mengeluarkan aturan pembongkaran bangunan-bangunan villa di Puncak yang tidak mempunyai izin. Selain itu, bangunan-bangunan liar di bantaran sungai yang dihuni oleh masyarakat kurang mampun segera diperintahkan untuk dibongkar tanpa ada ganti rugi.
Dengan kata lain, penanganan banjir di Jakarta tahun 2002 hanya bersifat sementara saja. Beberapa bulan berikutnya, aturan-aturan tersebut kembali melunak. Bahkan sampah masih saja menggunung di pintu air-pintu air.
Meski pemprov DKI Jakarta terkesan tidak serius menangani banjir di Jakarta, ada beberapa kelompok masyarakat yang berusaha untuk mencegah terjadinya banjir. Seperti misalnya, seperti yang diberitakan Kompas, 15 Desember 2006, LSM peduli lingkungan memberdayakan para wanita yang tinggal di bantaran sungai untuk menerapkan hidup bersih dan sehat. Caranya dengan tidak membuang sampah lagi di sungai dan menjadikan sungai sebagai sarana MCK (mandi, cuci, kakus). Sampah dari masing-masing rumah tangga disarankan untuk dipilah-pilah berdasarkan jenisnya dan dikumpulkan pada satu tempat.
Selain itu, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak tinggal di bantaran sungai, mencoba mendaur-ulang sampah menjadi barang-barang yang berguna. Bahkan beberapa wilayah di Jakarta sudah mencoba mengolah limbah rumah tangganya sendiri.
Untuk mencegah banjir, saat musim penghujan tiba, beberapa wilayah yang rawan banjir berusaha untuk membersihkan saluran-saluran air dan lingkungan. Bahkan masyarakat yang tadinya tinggal di bantaran sungai dengan sukarela mau pindah ke rumah susun yang telah disediakan sebagai bentuk upaya ikut menanggulangi banjir Jakarta.
Hasilnya cukup memuaskan. Meski banjir tahunan tetap saja terjadi di beberapa wilayah, tetapi resikonya bisa diminimalisir. Sedangkan pemerintah, meski usaha pencegahan banjir yang dilakukan cenderung seragam dari tahun ke tahun, juga bisa mengurangi resiko banjir yang terjadi. Setiap tahun, pemprov DKI Jakarta hanya melakukan normalisasi sungai dengan pengerukan sedimentasi dan meneruskan proyek pembangunan Banjir Kanal Timur yang tertunda bertahun-tahun.

Permasalahan
Globalisasi ekonomi yang mengadopsi ajaran kapitalisme yang selalu mencari keuntungan sebesar-besarnya, telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Hutan dibabat untuk diambil hasil kayu sebanyak-banyaknya. Kawasan konservasi yang telah ditetapkan sebagai daerah resapan air, dimanfaatkan untuk areal perumahan. Air tanah dieksploitasi berlebihan untuk konsumsi manusia. Limbah rumah tangga dan pabrik dengan seenaknya dibuang ke sungai ataupun laut sehingga menimbulkan pencemaran. Semua kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan semata hanya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa harus mengeluarkan biaya besar.
Bahkan beberapa hal yang dulunya tidak dijual dan merupakan hak asasi manusia karena kapitalisme telah berubah fungsi. Misalnya sumber daya alam udara dan air, pendidikan, kesehatan, kebudayaan telah menjadi komoditas yang diberi label harga dan siap diperjualbelikan.
Namun agaknya setelah kenyang dengan semua kerusakan lingkungan, sebagian masyarakat mulai menyadari dampak negatif dari globalisasi ekonomi. Mereka berusaha untuk keluar dari sistem yang ada. Meski sulit dan mendapat banyak tantangan dari pihak-pihak yang masih menerapkan kapitalisme. Akan tetapi, justru mendapat dukungan dari masyarakat yang tertindas karena kapitalisme. Misalnya masyarakat yang tinggal di bantaran sungai.
Ada dua versi yang menyatakan usaha-usaha pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Versi pertama menyebutkan usaha tersebut merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap kaum-kaum kapitalis yang telah menyengsarakan mereka. Namun versi lain menyebutkan usaha tersebut adalah cikal bakal kapitalisme yang adaptif terhadap lingkungan.
Di luar semua anggapan tersebut, sekarang telah banyak berkembang usaha-usaha pelestarian lingkungan dan konservasi dari berbagai kalangan masyarakat di dunia. Tujuan utama gerakan tersebut hanya ingin menjaga seluruh sumber daya alam supaya bisa diwariskan pada anak cucu kelak.

Sejak Kapan Manusia Melakukan Perusakan Terhadap Alam?
Selama kurang lebih satu abad, manusia mulai menyadari bahwa berada dalam proses kehancuran alam. Alam yang telah diciptakan Tuhan sebagai satu-satunya habitat untuk hidup telah rusak. Pelaku perusakannya tidak lain adalah manusia sendiri. Sejak kapan manusia melakukan perusakan terhadap alam?
Romo Frans Magnis Suseno dalam buku “Berfilsafat Dari Konteks” menyebutkan, perusakan lingkungan bukan sekedar nafsu manusia modern yang memanfaatkan alam untuk meningkatkan konsumsi. Akan tetapi berdasarkan sebuah legitimasi teologis. Berabad-abad lamanya, manusia Barat mengeksploitasi alam berdasarkan anggapan bahwa tindakannya telah dibenarkan oleh Tuhan. Dalam Kitab Kejadian 1:28, disebutkan “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”.
Perintah Tuhan itu ternyata oleh manusia modern diartikan sebagai sebuah perintah resmi untuk menjadikan diri penguasa mutlak atas seluruh alam. Kekuasaan itu lantas diartikan sebagai wewenang untuk memanfaatkan alam habis-habisan. Perintah Tuhan yang tertera dalam kitab suci perjanjian lama tersebut dijadikan sebuah dasar ideologi yang mensahkan manusia menjadikan seluruh dunia sebagai alat untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Namun menurut Hobsbawm dalam Sanderson (2003:200), perusakan lingkungan oleh manusia baru dimulai sejak revolusi industri di Inggris pada abad 15. Dalam bukunya Industry and Empire, dia menyebutkan kota-kota pabrik di Inggris penuh dengan asap yang menyesakkan dan menimbulkan pencemaran. Pelayanan masyarakat yang mendasar seperti persediaan air, sanitasi, kebersihan jalan, udara bersih tidak sebanding dengan migrasi yang terjadi. Pencemaran selain udara juga pencemaran air yang menyebabkan timbul wabah penyakit seperti kolera dan tipus serta penyakit saluran pernapasan dan usus. Korban berjatuhan.
Cerita Hobsbawm ini sesuai dengan pernyataan Gorz (2005:17), masyarakat industri telah menjarah secara membabi-buta cadangan sumber daya alam untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Marx (2002) menyebutkan, revolusi industri sebagai awal dimulainya kapitalisme.
Suseno (1991:227), sepaham dengan Gorz dan Hobsbawm, bahwa ekonomi kapitalistik telah merusak lingkungan. Dalam ekonomi kapitalistik tujuan produksi adalah laba perusahaan. Laba menjami bahwa sebuah perusahaan dapat mempertahankan diri dalam alam saingan bebas. Untuk meningkatkan laba, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin. Oleh karena itu ekonomi modern condong untuk mengeksploitasi kekayaan alam dengan semudah mungkin, tanpa memikirkan akibat bagi alam sendiri dan tanpa usaha untuk memulihkannya.
Namun Suseno juga menyebutkan, ekonomi sosialisme juga punya andil untuk merusak lingkungan. Bahkan lebih parah. Paham sosialisme selalu direalisasikan di bawah seorang pemimpin diktator yang tidak peduli pada kehendak masyarakat. Masyarakat tidak berani mengajukan protes. Industrialisasi dipaksakan tanpa perhatian pada kesehatan masyarakat.
Kesalahan Sikap Dasar Manusia Terhadap Perusakan Alam (1991:226)
Magnis Suseno mencoba untuk merumuskan akar kesalahan dasar sikap manusia terhadap perusakan alam:
1. Sikap Teknokratis
Pola pendekatan manusia modern terhadap alam dapat disebut teknokratis. Artinya manusia memandang alam sebagai obyek penguasaan. Alam menjadi sekedar sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dianggap tambang kekayaan dan energi yang perlu dimanfaatkan dan dieksploitasi.
2. Sikap Manusia terhadap lingkungan
Sikap dasar ini terlihat dalam cara manusia bersikap terhadap lingkungannya. Sikap tersebut merupakan ciri khas seluruh perekonomian modern maupun sikap manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Sejak Kapan Manusia Mulai Bersikap Ekologis?
Sebelum mengetahui sejak kapan manusia mulai bersikap ekologis, harus diketahui dulu pengertian masyarakat berwawasan ekologi. Aoshima (1999), menyebutkan ada 3 definisi masyarakat berwawasan ekologi:
1. Sebuah masyarakat yang peduli terhadap sinar matahari, udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan hijau, dan karunia-karunia alam lainnya.
2. Sebuah masyarakat yang mengendalikan konsumsi sumber-sumber alam dan energi secara massal dan berusaha mendaur-ulang menggunakan sumber-sumber alam secara efektif.
3. Sebuah masyarakat yang berusaha kembali ke alam dengan membuang sampah yang telah diolah atau didaur-ulang untuk memperkecil beban lingkungan.
Pendekatan ekologis, menurut Budiarjo (1999), sudah sejak dahulu dilakukan secara turun-temurun oleh nenek moyang dengan dasar agama, kepercayaan, atau mitos. Misalnya keengganan orang Jawa untuk menebang pohon besar karena percaya pohon itu ada yang menunggu yaitu makhluk halus. Bila ada yang berani menebangnya, diyakini bahwa orang yang menebangnya akan kesambet (kesurupan). Sikap dan perilaku yang didasari oleh kepercayaan tersebut, bila dikaji secara ilmiah sebetulnya memiliki nilai yang tinggi dari sudut pandang ekologis. Pasalnya, keberadaan pohon besar yang tua dan rindang tersebut tidak hanya memberi keteduhan, menyegarkan karena mengubah CO2 menjadi O2, mengurangi panas, menahan longsor, dan berperan dalam penyerapan air tanah.
Namun menurut Gorz (2005:17), masyarakat mulai menyadari bahwa kapitalisme yang selalu mencari keuntungan berdampak negatif pada kerusakan lingkungan melalui eksploitasi sumber daya alam. Dalam kurun waktu dua dasawarsa, fokus yang menjadi pembahasan dunia mengenai lingkungan mengarah pada kerusakan ozon, pemanasan global, dan hujan asam. Saat konsep kapitalisme yang menggunakan prinsip perolehan keuntungan secara efektif dan efisien berlaku, lingkungan dibiarkan menjadi ajang pertaruhan kapitalisme.
Sebelumnya masyarakat dunia percaya bahwa persediaan air tawar di bumi ini sifatnya tidak terbatas karena adanya daur hidrologi. Namun asumsi ini menurut Barlow dan Clarke (2005) salah. Persediaan air tawar berjumlah kurang dari setengah dari satu persen jumlah air di bumi. Sisanya adalah air laut, es yang beku di kutub utara dan selatan, atau air yang tersimpan di dalam tanah yang tidak dapat diakses oleh manusia. Manusia telah mengeksploitasi dan mencemari sumber daya air tawar di bumi secara besar-besaran.
Bencana kekeringan dan kekurangan air telah terjadi di seluruh dunia. Barlow dan Clarke (2005) menyebutkan, di Cina, pada tahun 1997, air sungai Kuning tidak bisa mengalir ke laut karena debitnya berkurang. Permukaan air tanah di Utara daratan Cina turun hingga 1,5 meter setiap tahunnya.
Menurut Marq de Villiers dalam Barlow dan Clarke (2005), sebanyak 22 negara Afrika tidak bisa menyediakan air untuk seluruh penduduk. Bahkan di India telah terjadi penurunan permukaan air tanah karena eksploitasi air tanah yang berlebihan.
Di Indonesia, meskipun Budiarjo (1999) mempercayai bahwa nenek moyang sudah mulai bersikap ekologis. Akan tetapi kenyataannya setelah tingkat perekonomian Indonesia mulai meningkat, sikap-sikap ekologis tersebut mulai luntur. Setiap tahun terjadi kerusakan hutan … hektar karena ilegal logging dan pembakaran (Kompas,…..). Ancaman pencemaran air dan udara terus meningkat di kota-kota besar. Kawasan-kawasan konservasi daerah resapan air mulai dibangun untuk areal permukiman komersial.
Akibatnya, bencana-bencana alam terus terjadi di Indonesia. Saat musim kemarau, bencana kekeringan mulai menyerang beberapa wilayah karena sungai, waduk, danau mulai mengering. Kuantitas air tanah juga mulai berkurang, sehingga sebagian masyarakat mengeluh kekurangan air . Bencana kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan juga menjadi agenda rutin setiap musim kemarau tiba. Sebaliknnya saat musim penghujan, bencana banjir dan tanah longsor silih berganti terjadi.

Prinsip Konservasi dan Kemitraan dalam Ekonomi Global
Menurut Gorz (2005), kecenderungan untuk memandang lingkungan sebagai bagian integral dari konsep pembangunan adalah sesuatu yang tidak baru lagi. Konvensi yang memberikan dasar yang kuat bagi pendekatan pembangunan berbasis lingkungan mulai bermunculan. Seperti Konvensi Air Global tahun 2003 yang melindungi persediaan air dunia (Barlow dan Clarke, 2005), Vienna Convention tahun 1985 dan Montreal Protocol (1989) tentang strategi penanggulangan masalah ozon (….). Agenda Hijau yang merupakan fokus pembahasan kerusakan lingkungan global:kerusakan lapisan ozon, pemanasan global, dan hujan asam (Aoshima,2003).
Dari berbagai konvensi dan perjanjian lingkungan tersebut sudah banyak terjawab permasalahan mengenai efek negatif yang harus diemban dalam konsep pembangunan. Tapi kelihatannya pendekatan lingkungan menjadi terbelakang di tengah arus deras pembangunan yang mulai bergeser ke arah globalisasi.
Menurut Barlow dan Clarke (2005:100), globalisasi ekonomi merupakan sebuah sistem yang didasari oleh kepercayaan bahwa sebuah ekonomi global dengan peraturan universal yang dibuat oleh korporasi dan pasar finansial adalah hal yang tidak dapat dihindari.
Namun, Inoguchi, Newman dan Paoletto (2003) percaya bahwa penggunaan energi, konsumsi, produksi, kebebasan individu, dan perusahaan dalam pasar bebas dapat diselaraskan dengan lingkungan. Hal ini tergantung pada komitmen masyarakat akan ekologi yang berkelanjutan. Masyarakat mulai merasakan adanya kebutuhan untuk mengurangi pencemaran udara dan air, mengurangi volume sampah, mengatur sistem air, serta mengembangkan sistem transportasi yang efisien dan adil bagi seluruh masyarakat. Semuanya bertujuan untuk mengurangi bencana akibat kemurkaan alam (Inoguchi, Newman dan Paoletto,2003).
Aoshima (2003) menyebutkan ada tiga prinsip untuk memecahkan masalah kerusakan lingkungan:
1. Prinsip Aksi
Jaringan kerja sama internasional dianggap penting dalam kaitannya dengan berbagai usaha untuk mengatasi masalah lingkungan.
2. Prinsip Respons Komprehensif
Penting sekali mempelajari permasalahan secara ilmiah dan menciptakan sebuah kebijakan yang komprehensif.
3. Prinsip Kemitraan
Permasalahan lingkungan sangat sulit dan berskala global. Diperlukan kemitraan jaringan kerjasama dan persekutuan diantara kota-kota dunia dan PBB, LSM, dan masyarakat.
Setelah terjadi kerusakan lingkungan di berbagai tempat yang menimbulkan kerugian bagi manusia, Gorz (2005) menyebutkan diperlukan bentuk perlawanan massif bagi proyek pembangunan yang kapitalistik. Diantaranya yang pernah dilakukan oleh sejumlah gerakan sosial untuk melakukan pengorganisasian masyarakat sipil yang tertindas oleh proyek globalisasi. Gerakan sosial baru kini mulai menempatkan permasalahan lingkungan sebagai sebuah prioritas penting. Juga diperlukan rumusan gagasan alternatif yang bisa mendorong terbentuknya kesadaran perlawanan yang kritis.

Analisis
Usaha-usaha pencegahan dan penanggulangan banjir yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di bantaran sungai Jakarta bisa dikatakan merupakan bentuk perlawanan terhadap globalisasi ekonomi.
Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai merupakan masyarakat korban kapitalisme. Mereka adalah golongan menengah ke bawah yang terpaksa pindah ke kota untuk mengadu nasib mencari penghasilan yang bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Namun karena tingkat pendidikan yang rendah, membuat mereka tidak bisa bersaing dalam pasar kerja. Mereka hanya bisa bekerja pada sektor-sektor informal yang tingkat penghasilannya sangat rendah. Lokasi permukiman yang bisa terjangkau pun hanya di bantaran sungai dan bawah jembatan saja.
Penghuni bantaran sungai lainnya adalah masyarakat korban gusuran. Dulunya masyarakat tersebut bertempat tinggal pada suatu areal kosong yang tidak berpenghuni dan sudah bertahun-tahun kosong (lahan tidur). Namun karena perkembangan ekonomi suatu wilayah, lahan tersebut dianggap menjadi hak milik pihak swasta. Pihak swasta menggunakan areal tersebut menjadi pusat perdagangan (mal), apartemen, atau kawasan bisnis komersial lainnya.
Jelas masyarakat yang tadinya tinggal di lokasi tersebut harus rela pergi karena memang tidak memiliki surat-surat resmi. Ataupun jika sudah memiliki surat-surat resmi tidak diakui oleh pemerintah. Mereka hanya mendapat ganti rugi yang sangat sedikit. Pilihan untuk bertempat tinggal jatuh pada daerah bantaran sungai ataupun bawah jembatan.
Bertempat tinggal di bantaran sungai tidak mendapat fasilitas resmi dari pemerintah, seperti listrik, sarana pembuangan sampah, dan air bersih. Alhasil mereka mencoba mengelola sendiri semua fasilitas-fasilitas tersebut. Meski bertempat tinggal di bantaran sungai, bukan berarti mereka tidak menjaga kebersihan lingkungan sungai. Dengan kesadaran masing-masing pribadi, mereka mencoba mengumpulkan sampah pada suatu tempat dan meminta Dinas Kebersihan DKI Jakarta untuk mengambilnya setiap hari.
Mereka tahu dan sadar jika sampah dibuang ke sungai akan menimbulkan banjir. Selanjutnya akan semakin menyusahkan kehidupan mereka. Tumpukan sampah yang dibuang ke sungai atau pinggir sungai akan menimbulkan bau yang sangat menyengat sehingga membuat kehidupan tidak nyaman.
Tidak hanya mengumpulkan sampah, mereka juga mencoba untuk membersihkan sampah-sampah yang ada di sungai dengan peralatan sekedarnya. Bahkan cenderung membahayakan mereka karena tidak menggunakan bantuan alat mekanis.
Semua tindakan tersebut dilakukan oleh masyarakat bantaran sungai sebagai usaha untuk mencegah terjadinya banjir yang rutin terjadi setiap tahun. Selain itu secara tidak langsung mereka mulai sadar akan pentingnya kebersihan lingkungan bagi kesehatan dan keberlangsungan lingkungan hidup di Jakarta.
Tindakan masyarakat di bantaran sungai tersebut difasilitasi oleh sejumlah LSM yang peduli terhadap lingkungan. Sebetulnya LSM tersebut sudah berupaya untuk mengajak pemprov DKI Jakarta supaya lebih memperhatikan penanganan dan pencegahan banjir Jakarta. Namun karena pemerintah lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan kapitalistik, kegiatan menjaga lingkungan dilupakan.
Usaha yang dilakukan oleh masyarakat bantaran sungai difasilitasi oleh LSM peduli lingkungan merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap globalisasi ekonomi. Mereka mulai sadar bahwa ekonomi kapitalis sudah merugikan lingkungan. Seperti munculnya banjir rutin setiap tahun. Mereka hanya tidak mau kegiatan ekonomi kapitalis akan semakin membuat lingkungan rusak.
Kegiatan masyarakat berwawasan ekologis berkelanjutan seperti masyarakat bantaran sungai tidak hanya itu. Sebagian masyarakat perkotaan sudah mulai melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan daur-ulang, pengurangan pencemaran, serta hemat energi.
Pengelolaan Sampah
Sampah merupakan masalah besar di perkotaan. Ketika jumlah penduduk semakin meningkat, sampah yang dihasilkan oleh masing-masing individu juga semakin banyak. Lahan untuk pembuangan akhir sampah yang tersedia sudah tidak mencukupi lagi. Selain itu pencemaran udara akibat bau yang ditimbulkan sampah serta pencemaran air tanah juga menjadi masalah yang saling berkaitan.
Sebagian besar masyarakat mulai menyadari hal tersebut. Mereka mencoba memilah-milah antara sampah organik yang bisa diolah lagi dan anorganik yang tidak bisa diolah. Selanjutnya sampah organik didaur-ulang menjadi barang-barang yang berguna lagi. Dan sampah anorganik di buang ke TPA sampah. Setidaknya hal ini mengurangi produksi sampah yang menumpuk di TPA.
Sebenarnya tindakan masyarakat ini bukan merupakan tindakan perlawanan terhadap globalisasi ekonomi. Tindakan tersebut merupakan suatu bentuk usaha kapitalisme yang adapatif terhadap rintangan-rintangan ekologi. Pasalnya sampah organik yang bisa didaurulang dijual lagi kepada masyarakat supaya mendapat nilai tambah. Masih ada unsur menambah atau mencari keuntungan dari kegiatan pengelolaan sampah.
Pengurangan Pencemaran
Polutan merupakan hasil pencemaran. Polutan yang paling berbahaya adalah yang dihasilkan oleh emisi industri dan gas buangan kendaraan bermotor. Kali ini pemerintah punya andil besar terhadap pengurangan polutan berbahaya tersebut. Caranya dengan mengeluarkan baku mutu emisi pencemaran dengan standar tertentu. Jika di suatu wilayah polutan-polutan yang dihasilkan sudah melewati batas yang ditetapkan, segera mengeluarkan peraturan pembatasan kendaraan bermotor.
Aturan ini direspons oleh sebagian masyarakat dengan kampanye bersepeda ke kantor atau yang lebih dikenal dengan istilah bike to work. Dengan alasan mengurangi pencemaran udara di Jakarta, kelompok tersebut mengajak masyarakat untuk mengendarai sepeda ke kantor. Meski hasilnya belum begitu signifikan, setidaknya usaha mereka patut diacungi jempol.
Usaha pemerintah tersebut dan kelompok bike to work, merupakan salah satu bentuk tindakan untuk melakukan konservasi atau pelestarian terhadap lingkungan.

Kesimpulan
Di tengah globalisasi ekonomi yang masih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran kapitalisme, masih ada beberapa kelompok masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat yang peduli terhadap lingkungan. Mereka mencoba melakukan usaha pelestarian atau konservasi dengan tindakan-tindakan ekologis karena merasa menderita karena kerusakan alam.
Mereka sudah lelah hidup dalam pengaruh kapitalisme yang terus merusak lingkungan. Padahal masih berkeyakinan bahwa lingkungan alam harus dipelihara supaya bisa diwariskan pada anak cucu. Jika alam rusak, generasi selanjutnya tidak bisa hidup di alam ini.
Salah satu kegiatan ekologis masyarakat adalah usaha pencegahan dan penanggulangan banjir oleh masyarakat bantaran sungai. Meski merupakan bentuk perlawanan terhadap globalisasi ekonomi, mereka masih berupaya untuk melakukan prinsip konservasi dan kemitraan dalam ekonomi global.

Minggu, 17 Februari 2008

KANTONG PLASTIK dan LINGKUNGAN..


Radyan Prasetyo
Ada banyak hal yang bisa dijadikan alasan mengapa sampah dari kantong plastik ini tidak ramah lingkungan alias justru menimbulkan berbagai problem. Sepertinya sepele dengan membungkus barang belanjaan menggunakan kantong plastik dan sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Belanjalah di semua tempat, pasti anda akan diberi kantong plastik sebagai pembungkus, entah di warung, toko kecil maupun toko super besar.

Semoga kumpulan tulisan di bawah ini bisa membuka mata kita tentang berbagai masalah akibat penggunaan plastik.

  1. Kantong plastik dikenal murah bahkan sering dibagikan secara gratis. Kantong plastik ini dibuat dari sisa penyulingan minyak bumi hampir sama seperti lilin dan aspal. Artinya konsumsi plastik berlebihan akan membuat konsumsi minyak bumi (fossil fuel) yang saat ini semakin berkurang menjadi lebih tinggi dan ketergantungan pada minyak. Di Inggris dibutuhkan lebih dari 2 milliar barel mminyak bumi untuk industri kantong plastik, berapa ya jumlah di Indonesia? Padahal kebanyakan dari kita hanya menggunakan kantong plastik ini sekali atau dua kali pakai lalu buang…
  2. Selain sifatnya yang sulit hancur, plastik ini juga sulit diuraikan secara alami. Plastik yang dibuang baru akan bisa hancur alami setelah 200 hingga 400 tahun. Bayangkan kalau kita membuang kantong plastik di laut, cucu dari cicit kita masih bisa menemukan kantong plastik yang sama,
  3. Kantong plastik mengandung dioxin dan furan. Dioxin ini sangat berbahaya bagi manusia karena merupakan zat utama penyebab kanker. Dioxin umumnya digunakan sebagai bahan pemutih. Membakar kantong plastik sama saja dengan menyebarkan dioxin ke udara dan menyebabkan lebih banyak orang yang menghirup terkena kanker. Jadi sama saja menyebabkan polusi udara,
  4. Sampah plastik ini berbahaya bagi biota terutama yang hidup di laut. Di Australia, tiap tahunnya lebih dari 100 ribu kura-kura, paus, burung dan mamalia laut mati karena terjerat maupun menelan plastik. Lagipula setelah hewan itu mati dan terurai, plastik yang tertelan masih saja bertahan ratusan tahun,
  5. Plastik dibuat dari polimer dan pada pembuatan kantong plastik, ditambahkan beberapa bahan kimia aditif termasuk pelembut (plasticziers) yang dapat memberi tekstur lembut dan licin serta gampang dibentuk. Tetapi zat ini akan berpotensi menyebabkan kontaminasi, karena susunan polimernya akan rusak jika terutama untuk membungkus makanan yang masi panas dan bila makanan tersebut dikonsumsi, bahan kimia (polimer yang terurai jadi monomer serta bahan aditifnya) akan masuk dan merusak tubuh,
  6. Sampah plastik dari sektor pertanian yang dhasilkan di dunia ini jumlahnya mencapai 100 juta ton per tahun atau bisa membungkus bumi sampai 10 kali bungkus.

So what we gonna do now???

Ada banyak hal yang bsia dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada kantung plastik sehingga kita bisa lebih bersahabat dengan alam. Mulai dengan langkah yang kecil dan dari diri sendiri saja.

  • Kalau tidak perlu kantong plastik ketika membeli barang atau membeli barang kecil, masukan dalam tas saja, tolak plastik dari penjualnya,
  • Kalau sudah menerima kantung plastik, lipat lagi dengan rapih setelah digunakan. Ini bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lain berkali-kali,
  • Membawa kantong kain untuk membawa barang belanjaan besar dan banyak jauh lebih baik karena kantung kain ini dapat digunakan berulang-ulang dan jarang dibuang,
  • Apabila belanja banyak, gunakan saja ardus besar untuk membungkus seluruh belanjaan, karena kardus ini leih bisa di daur ulang,
  • Jangan biasakan membuang sampah organik dalam bungkus kantung plastik yang tertutup rapat karena dijamin tidak akan terurai sempurna hingga 10 tahun lebih apabila plastiknya tidak dibuka,
  • Gunakan plastik ramah lingkungan (biodegradable) yang lebih cepat terurai (3 tahun) karena tersusun atas selulosa, kolagen, protein atau zat lain pada tanaman dan hewan

seribu jarak di depan selalu diawali dari langkah yang kecil. Jadi semoga bisa mulai dari diri sendiri dan kita semakin menghargai lingkungan..

Jumat, 15 Februari 2008

Pengelolaan Lingkungan Hidup di Pertambangan


Radyan Prasetyo

Badai moneter yang menghantam di pertengahan 1997 memaksa ambruknya system ekonomi Indonesia yang terpusat pada orientasi pasar. Kegagalan pasar yang mengangkat derajat kemiskinan -ditandai tingginya pengangguran akibat PHK- dan menurunkan daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Tercatat bahwa saat itu, tingkat kemiskinan mencapai 85%. Harapan untuk keluar dari terpaan krisis ini memerlukan strategi dan regulasi pemerintah yang menyangkut perencanaan holistik multi sektor.

Meksipun krisis moneter yang berkepanjangan ini, namun industri pertambangan adalah salah satu dari sedikit industri yag mampu survive dan tetap dapat menyumbangkan pemasukan GDP. Dan dengan lebih dari setengah juta jiwa yang bekerja secara formal pada industri ini, termasuk dua juta jiwa yang yang bekerja scara tak langsung, mining corporate industry menyokong keberadaan perusahaan kontraktor dan konsultan..

Salah satu multiplier effect dari hadirnya industri pertambangan yang hampir selalu berawal dari daerah terpencil adalah perannya sebagai penggerak mula (prime mover) pembangunan daerah. Sebutkanlah Sawahlunto yang hidup dari industri batubara, Pomalaa di Sulawesi Tenggara, Cikotok, Balikpapan dan Kutai di Kalimantan Timur dan bahkan Jayapura di Papua. Industri pertambanganlah yang menjadi punggung perekonomian daerah saat itu.

KONDISI PERTAMBANGAN SAAT INI
Investasi Beberapa tahun belakangan, industri pertambangan nyata-nyata menghadapi uncertainty investment climate, mulai dari goncangan anti pertambangan yang makin besar, munculnya UU No. 41/1999 yang sangat sektoral hingga gelombang Trans National Corporate dengan kepentingan isu yang berbeda-beda.

Ada image bahwa pertambangan adalah trouble maker environment and deforestation atau tambang si perusak lingkungan sehingga lebih bak moratorium dan tutup saja semua perusahaan ekstraktif tersebut.

Tidak ada yang salah mutlak dalam pelemparan argument tersebut. Tidak perlu ditolak pula bahwa tambang itu merusak lingkungan. Hanya perlu sedikit pemilahan bahwa berbagai argumen yang dilontarkan dapat dikelompokkan menjadi dua: yang paham dan yang tidak paham tentang pertambangan. Argumen yang dilemparkan oleh pihak yang tidak paham –dan kuantitasnya sangat besar- telah menimbulkan persepsi negatif industri pertambangan dan menyesatkan publik dengan mengeluarkan berbagai statement yang keliru.

Perspektif yang keliru ini yang perlu diluruskan agar terjadi sinkronisasi antara usaha pertambangan dengan persepsi public. Perspektif itu diantaranya:

1. Kekeliruan pertama muncul ketika seluruh kegiatan pertambangan menghancurkan fungsi hutan karena membuka lahan secara ekstensif.

Ini merupakan pendapat yang tidak beralasan dan buta total dan menutupi karakteristik pertambangan yang sebenarnya, karena pendapat ini tidak pernah memikirkan bahwa ada beberapa tahapan berbeda dalam usaha pertambangan. Pertambangan sendiri merupakan rangkaian empat kegiatan utama eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta reklamasi.

Eksplorasi merupakan tahapan dimana dilakukan penyelidikan untuk menetapkan keberadaan, karakteristik, kuantitas dan kualitas bahan tambang. Eksplorasi ini merupakan tahapan pertama yang memerluan waktu dua hingga lima tahun dan berisiko tinggi. Perusahaan bisa saja menghentikan kegiatan atau suspended karena tidak mendapatkan cadangan mineral yangn ekonomis meski telah menghabiskan jutaan dolar seperti yang dialami Pacific Nickel di P. Gag yang telah mengeluarkan biaya US$ 60 juta untuk eksplrasi namun tidka berhasil menemukan deposit ekonomis. Berdasarkan data DESDM, sepanjang periode 1969-2003, dari 348 perusahaan yang melakukan eksplorasi, hanya 36 yang berlanjut ke tahap eksploitasi, sisanya mengalami terminasi atau penundaan.

Untuk memfasilitasi tahapan eksplorasi ini, pemerintah mengizinkan perusahaan memiliki daerah Kuasa Pertambangan seluas maksimum 25.000 ha (PP 32/1969 tentang Pelaksanaan UU Pokok Pertambangan 11/1967). Namun tidak seluruh lahan ini akan digunakan oleh perusahaan, karena mineral umumnya hanya terdapat di beberapa titik anomaly. Sebagian besar lahan harus dikembalikan kepada negara melalui proses reliquishment. Selain karena akan membebani dari sisi pajak, lahan ini juga tidak ekonomis untuk diusahakan.

Eksplorasi juga tidak akan menggunakaan keseluruhan luasan lahan karena lahan yang diperlukan hanyalah sebatas kebutuhan titik eksplorasi, akses masuk alat bor. Bahkan dengan teknologi canggih seperti seismic dan geophysics, mampu mengurngai jumlah titik bukaan secara signifikan, karena dapat mendeteksi keberadaaan endapan bahan tambang tanpa harus membuka lahan.

Dan pada tahapan eksploitasi, jika perusahaan hanya memiliki izin pengelolaan lahan 25%, tidak seluruh lahan tersebut akan diekslpoitasi langsung. Dan rasanya sudah banyak laporan yang menyatakan bahwa seluruh kegiatan eksploitasi pertambangan berizin di Indonesia hanya membuka lahan 135.000 ha atau 0,1% luas seluruh wilayah hutan Indonesia.

2. Perspektif keliru yang kedua adalah tentang pemilihan metode penambangan, muncul anggapan bahwa kepentingan finansial lebih mendasari pemilihan metode open pit (tambang terbuka) dibanding underground.

Perlu diketahui bahwa ada banyak criteria prinsip pemilihan metode penambangan. Tambang terbuka diterapkan untuk menambang cadangan yang letaknya dekat permukaan dengan terlebih dahulu membersihkan lahan dan batuan pengotor. Tambang terbuka ini memiliki produktivitas tinggi, cost operasi yang rendah dan keselamatan yang lebih terjamin.

Sedang tambang dalam (underground) hanya diterapkan untuk mendapatkan cadangan yang berada relatif jauh di bawah permukaan dengan hanya membuka sebagian kecil lahan di permukaan sebagai akses peralatan dan fasilitas pengolahan. Jadi proses pengambilan mineral dilakukan tanpa menggangu aktivitas permukaan. Namun perlu diketahui bahwa tambang ini rentan akan keselamatan kerja. Kita bisa banyak belajar dari China yang kehilangan lebih dari 5.500 pekerjanya tahun lalu akibat ambruknya tambang batubara bawah tanah mereka.

Tidak ada satu manusiapun yang mampu memaksa bahwa endapan mineral itu berada dekat di bawah permukaan atau jauh di dalam. Semua sifatnya alamiah (given by God) dan merupakan kekhasan sifat bahan galian. Jangan memaksa untuk melakukan eksploitasi tambang dalam jika kerentanan keselamatan kerja masih belum teratasi.

3. Perspektif keliru yang ketiga adalah pernyataan semua kegiatan pertambangan merusak lingkungan.

Pernyataan menyesatkan ini rasanya hampir selalu dilontarkan oleh pecinta lingkungan dan kaum conservationist. Rasanya bisa dimaklumi jika mereka yang mengatakan hal itu, dan juga rasanya kesalahan dari industri tambang juga yang rasanya kurang memeluk pemerhati lingkungan dan conservationist.

Anggapan ini tidak berdasar karena menggeneralisasi bahwa seluruh usaha pertambangan sifatnya destruktif tanpa melihat bahwa diwajibkannya reklamasi pada lahan eks tambang. Bahkan pada tahapan pengakhiran tambang (mining closure) juga diwajibkan memperbaiki lahan bukaan. Ada beberapa contoh perusahaan yang berhasil menjalankan hal in seperti Kelian Eguatorial Mining di Kalimantan Timur.

Selain diterapkannya Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di tahapan kelayakkan studi, pada kegiatan pertambangan juga diterapkan best mining practice (not only good) sebagai upaya minimalisasi dampak lingkungan yang terjadi.

Jadi rasanya lengkap kekeliruan persepsi terhadap pertambangan yang sudah bisa diluruskan kembali. Sebuah dialektika pertambangan antara pemanfaatan dengan resiko yang emsti dibayar adalah sebuah penghargaan terhadap perbedaanpersepsi. Bukan suatu hal yang perlu dibantah, melainkan sebagai proses pembelajaran pola berpikir. Tidak ada kebenaran sejati, yang mutlak hanya dari Tuhan.

Der Herr Got wulfert nicht!! (Tuhan tidak melempar dadu)
Albert Einstein (1879 – 1955)

Selasa, 05 Februari 2008

PRIVATISASI AIR : KAPITALISME YANG MERUSAK LINGKUNGAN HIDUP

Oleh: M. Puteri Rosalina
“Apakah air merupakan sebuah kebutuhan dasar ataukah hak asasi manusia?” Pertanyaan besar itu menjadi bahan perdebatan dalam World Water Forum yang diselenggarakan selama 4 hari di The Hague dan dihadiri oleh 5.700 orang. Pertemuan yang diadakan pada Maret 2000 lalu merupakan konferensi besar PBB untuk menyelamatkan sumber daya air dunia. Namun dibalik itu, pertemuan tersebut juga dimanfaatkan oleh pengusaha-pengusaha besar yang menguasai industri air untuk mengambil keuntungan dengan cara menjual air ke seluruh dunia.

Perdebatan mengenai air sebagai kebutuhan dasar atau hak asasi manusia, bukanlah sekedar perdebatan semantik saja. Perdebatan ini langsung mengarah pada siapa yang seharusnya bertanggungjawab memastikan bahwa masyarakat memiliki akses terhadap air.

Sekelompok kecil masyarakat, LSM-LSM peduli lingkungan, dan buruh berpendapat bahwa air adalah hak asasi manusia yang universal. Namun, penyelenggara World Water Forum memiliki pandangan yang berbeda. Mereka menginginkan agar air dipandang sebagai sebuah kebutuhan dasar. Selanjutnya sektor swasta melalui pasar, memiliki hak dan tanggung jawab untuk menyediakan air untuk mendapatkan keuntungan.

Sebaliknya jika air dianggap sebagai salah satu hak asasi manusia, maka pemerintah yang bertanggung jawab memastikan seluruh rakyat mendapatkan akses yang sama terhadap air tanpa mengambil keuntungan. Sayang akhirnya pemerintah mengalah pada kepentingan-kepentingan korporasi swasta yang bertindak sebagai sponsor dalam forum tersebut.

Diputuskan dalam pertemuan World Water Forum, air adalah sebuah kebutuhan dasar. Berarti penanggung jawab penyediaan air adalah sektor swasta yang akan menyediakan air dengan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Sumber Daya Air Terbatas
Hasil pertemuan World Water Forum yang menegaskan bahwa air adalah sebuah kebutuhan dasar menurut Barlow dan Clarke (2005:100) merupakan suatu pemisahan antara air dari rakyat (masyarakat) yang menjadi pemilik air sesungguhnya. Air dipaksa untuk mengikuti prinsip-prinsip permintaan dan penawaran dari pasar global dan distribusinya ditentukan oleh kemampuan membayar.

Di sisi lain pertumbuhan manusia mempunyai pengaruh langsung terhadap ketersediaan air tawar (Creighton, 1996:89). Jumlah penduduk meningkat, pada saat itu sumber daya air terbatas. Hal ini mengakibatkan ketersediaan air untuk masing-masing orang menjadi lebih rendah. Dengan dinamika populasi dunia, secara pasti akan terjadi kompetisi yang makin besar antara pedesaan dan kota untuk memerebutkan air.

Menurut ahli hidrologi Swedia, Malin Falkenmark yang dikutip dari buku ”Kepedulian Masa Depan:Laporan Komisi Mandiri Kependudukan dan Lingkungan Hidup”, akan terjadi kelangkaan air yang semu (water stress) ketika suplai air kurang dari 1700 m3/orang setiap tahunnya. Pada saat suplai air turun di bawah 1000 m3/orang/tahun, suatu daerah akan berada dalam situasi kelangkaan air (water scarcity). Kondisi seperti itu akan menimbulkan keputusan sulit, apakah air akan digunakan untuk pertanian, industri, kesehatan, atau untuk air minum. Juga akan timbul penjatahan air dalam jangka waktu tertentu.

Globalisasi Ekonomi
Kedudukan air di dunia semakin sulit. Selain kuantitasnya terbatas, kualitasnya pun mulai menurun akibat pencemaran limbah pabrik dan rumah tangga. Ditambah lagi kalangan swasta sudah memutuskan air dianggap sebagai kebutuhan yang bisa diperjual-belikan. Kondisi ini semakin parah, saat dunia sudah memasuki era ekonomi global. Menurut Barlow dan Clarke (2005:100), globalisasi ekonomi merupakan sebuah sistem yang didasari oleh kepercayaan bahwa sebuah ekonomi global dengan peraturan universal yang dibuat oleh korporasi dan pasar finansial adalah hal yang tidak dapat dihindari.

Kebebasan ekonomi adalah nilai khas pemegang kekuasaan dalam periode setelah Perang Dingin. Ideologi demokrasi maupun usaha untuk melindungi ekologi sudah tidak berlaku lagi. Dalam ekonomi pasar global ini, semua aspek harus dapat dijual. Juga dengan beberapa hal dalam kehidupan yang dulu dianggap hak asasi manusia. Sebut saja soal pendidikan, kesehatan, kebudayaan, sumber daya alam udara dan air.

Akar dari globalisasi ekonomi bermula dari ketika kerajaan-kerajaan Eropa (500 tahun yang lalu) saling bersaing untuk mendapatkan akses langsung atas sumber daya-sumber daya alam seperti emas, perak, tembaga, dan kayu dari Asia, Amerika, dan Afrika. Ketika itu, perusahaan perkapalan raksasa diizinkan beroperasi melalui perjanjian antar-kerajaan dan dimandatkan untuk menyusuri sebagian besar dunia untuk mencari sumber daya yang akan menguntungkan kerajaan-kerajaan komersial mereka.


Di masa kini, model globalisasi ekonomi didorong untuk bergerak dengan cepat, terutama sejak runtuhnya Tembok Berlin. Sebelum hal tersebut terjadi, ekonomi dunia masih terpisah antara dua kubu:komunisme dan kapitalisme. Keruntuhan tembok Berlin dan berakhirnya perang dingin menjadi penanda kemenangan kapitalisme. Sejak saat itu kapitalisme mendominasi ekonomi global.


Kapitalisme

Globalisasi ekonomi sekarang sangat dipengaruhi oleh paham kapitalisme. Kapan sebenarnya paham kapitalisme itu muncul? Bagaimana perubahan-perubahan pandangan kapitalisme dari dulu sampai sekarang?

Menurut Sanderson (2003:169), kapan kapitalisme itu muncul masih menjadi perdebatan selama pengertian dari kapitalisme juga masih diperdebatkan. Karl Marx, seorang pengkaji sejarah sistem kapitalis yang dikutip dari buku ”Makro Sosiologi”, mengatakan kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai sumber daya produktif vital yang digunakan untuk meraih keuntungan maksimal. Para individu ini disebut kaum borjuis. Kaum borjuis memperkerjakan sekelompok orang yang disebut sebagai golongan proletar.

Para kapitalis bisa memperoleh keuntungan karena mereka membayar buruh (proletar) jauh dibawah keuntungan yang didapat. Jadi menurut Marx, keuntungan kapitalis tidak tumbuh hanya melalui proses penjualan barang, tetapi berasal dari proses produksi yang dilakukan oleh proletar. Sedangkan tindakan penjualan barang hanyalah upaya merealisasikan keuntungan tersebut, yang sebenarnya telah ada dalam penciptaan produk oleh buruh.

Sebenarnya pencarian keuntungan secara ambisius sudah dimulai di Eropa Barat jauh sebelum revolusi industri.Tetapi menurut Marx ada perbedaan mendasar proses pencarian keuntungan sebelum dan sesudah revolusi industri. Proses pencarian keuntungan sebelum revolusi industri dilakukan melalui tukar menukar barang. Atau dengan kata lain, keuntungan diperoleh melalui jual beli. Setelah revolusi industri, keuntungan diperoleh melalui eksploitasi upah buruh.

Marx menyebutkan, kapitalisme sejati adalah kapitalisme setelah terjadi revolusi industri yang disebut sebagai kapitalisme industri. Sedangkan kapitalisme sebelum revolusi industri disebut kapitalisme perdagangan.

Pendapat Marx ini dibantah oleh Ilmuwan sosial lain yaitu Imannuel Wallerstein. Wallerstein menolak pengelompokan antara kapitalisme industri dan perdagangan. Menurutnya, kapitalisme yang sebenarnya adalah produksi dalam suatu pasar yang tujuan produsennya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan didapat dari sumber apapun tidak menjadi masalah. Inti persoalannya bahwa akumulasi keuntungan maksimum selalu menjadi tujuan semua aktivitas ekonomi. Wallerstein berpendapat, kapitalisme lahir pada abad XV, bersamaan dengan kebangkitan kolonialisme Eropa.

Analisis sejarah terkenal Maurice Dobs yang dikutip dari ”Makro Sosiologi”, perkembangan awal kapitalisme sangat berkaitan dengan ekspansi aktivitas ekonomi dan kekuatan sosial yang dimiliki pedagang urban. Sepanjang dua abad tersebut, kapital pedagang lebih teratur daripada kapital industri.

Selain mencoba mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, menurut Ebeinsten (2006:230) ciri kapitalisme yang lain adalah adanya persaingan. Dalam ekonomi pra-kapitalis, adat dan kebiasaan yang menentukan harga barang-barang dan jasa-jasa. Dalam ekonomi kapitalis, setiap orang bebas untuk memilih pekerjaan yang disukainya. Tidak ada pembatasan yang dibuat oleh setiap macam pekerjaan atau keahlian.

Pasar kapitalis juga menyediakan tempat untuk barang-barang dan jasa-jasa yang ditawarkan untuk dijual. Sedangkan jumlah dan mutunya diatur oleh persaingan bebas. Kebebasan untuk mengadakan persaingan di pasar berasal dari empat kebebasan kapitalis yang pokok:kebebasan untuk berdagang dan mempunyai pekerjaan, untuk mengadakan kontrak, untuk hak milik, dan membuat keuntungan.

Ebeinsten dalam bukunya ”Isme-Isme yang Mengguncang Dunia” menuturkan dalam sistem kapitalis, hak milik atas alat-alat produksi (tanah, pabrik, mesin, dan sumber alam) ada di tangan perorangan, bukan di tangan negara. Alasannya, kepemilikan atas harta produktif yang berarti kekuasaan atas kehidupan orang lain, sebaiknya dipecah diantara para pemilik harta, daripada dipegang oleh negara. Alasan kedua, kemajuan di bidang teknologi akan lebih mudah dicapai bila setiap orang mengurus urusannya sendiri.

Privatisasi air

Privatisasi air muncul sebagai dampak dari globalisasi ekonomi yang dimulai setelah Perang Dunia II usai. Amerika muncul sebagai negara adidaya industri yang memproduksi banyak barang kebutuhan konsumen. Untuk pendistribusian barang-barang tersebut, Amerika membuka pasar global baru dan mempromosikan sistem dan nilai pasar bebas ke seluruh dunia.

Ideologi Amerika ini mengakar pada dekade berikutnya. Pada tahun 1990, John Williamson memperkenalkan ideologi Amerika tersebut sebagai Washington Consensus. Konsensus tersebut mengharuskan pemerintah melakukan deregulasi besar-besaran di bidang perdagangan, investasi, dan finansial. Selanjutnya menurut Barlow dan Clarke (2005:103) ideologi ini menjadi tatanan dunia baru.


Menurut Washington Consensus, modal, barang, dan jasa diperbolehkan untuk mengalir bebas melewati batas-batas negara tanpa dihalangi oleh intervensi maupun peraturan pemerintah. Intinya, kepentingan modal merupakan prioritas yang lebih tinggi daripada hak warga negara.

Dalam era globalisasi ekonomi, jasa pelayanan air yang merupakan pelayanan publik dan disediakan oleh pemerintah, mulai diambil alih oleh swasta. Melalui proses privatisasi, air diubah menjadi sebuah komoditas, diberi harga, dan dijual di pasar atas dasar kemampuan untuk membayar.

Menurut Barlow dan Clarke (2005:111), privatisasi air biasanya terjadi dalam tiga bentuk:

1. Penjualan sistem perawatan dan pelayanan air milik publik secara penuh. Penjualan ini dilakukan oleh pemerintah kepada swasta

2. Perusahaan air diberikan perjanjian konsesi atau sewa untuk mengambil alih pelayanan air, membiayai biaya operasi dan perawatan, serta mengumpulkan pembayaran dan menyimpan surplus yang ada sebagai keuntungan usaha bagi perusahaan tersebut.


3. Perusahaan dikontrak oleh pemerintah untuk mengelola pelayanan air dan diberi upah administratif. Administrasi pembayaran tarif dari konsumen tidak dapat dilakukan oleh perusahaan tersebut. Juga tidak boleh mengambil untung dari surplus yang didapat.


Pengalihan jasa pelayanan air dari pemerintah ke swasta mengakibatkan munculnya serangkaian prinsip komersial yang berbeda. Industri air akan menggunakan prinsip full cost recovery saat mendapatkan kontrak konsesi. Dalam sistem ini margin untuk profit harus dimasukkan ke dalam perhitungan. Artinya keuntungan perusahaan juga harus ditanggung oleh konsumen.

Memaksimalkan keuntungan adalah tujuan utama tanpa menjamin keberlanjutan ataupun akses yang seimbang atas air. Karena itu, pengelolaan sumber daya air lebih didasarkan pada dinamika pasar daripada keberlanjutan jangka panjang dari sumber daya terbatas yang penting untuk generasi selanjutnya. Akibatnya biaya konsesi yang dipatok perusahaan sangat tergantung pada penghasilan dan profit yang diharapkan dihasilkan oleh perjanjian tersebut. Memastikan adanya penghasilan yang menguntungkan bagi perusahaan berarti membebankan harga yang lebih tinggi untuk pelayanan air.


Begitu skema privatisasi dilaksanakan, maka kontrol publik akan segera menghilang meskipun publik melalui pemerintah sebenarnya telah membayar jaminan profit kepada swasta. Selain itu, pihak swasta tidak merasa memiliki kewajiban untuk melapor kepada pemerintah.


Di Indonesia, model yang privatisasi air yang banyak dipakai adalah model nomor dua. Seperti di Jakarta, pengelolaan air dilimpahkan pada dua perusahaan swasta asing:Palyja dan Lyonnaise Kedua perusahaan air swasta asing yang berasal dari Inggris dan Perancis tersebut diberikan perjanjian konsesi untuk mengambil alih pelayanan air di Jakarta. Wilayah pelayanannya dibagi dua. Palyja mengatur pelayanan air di bagian Timur sungai Ciliwung. Sedangkan Lyonnaise mengatur pelayanan air di bagian Barat sungai Ciliwung. Pemprov DKI Jakarta menyerahkan semua biaya operasi dan perawatan pada dua perusahaan swasta asing tersebut. Termasuk keuntungan yang didapat.


Pemprov DKI Jakarta menyerahkan sistem pelayanan air minum kepada swasta asing karena sudah tidak sanggup lagi membiayai biaya operasional pengelolaan air. Di Jakarta, biaya pengelolaan air sangat mahal karena kualitas dan kuantitasnya mulai terbatas. Air minum yang sebagian diambil dari air sungai Ciliwung dan Waduk Jatiluhur kualitas dan kuantitasnya mulai menurun.


Saat pengelolaan air diserahkan pada 2 perusahaan swasta asing, pemprov DKI Jakarta juga telah kehilangan kekuasaan untuk ikut mengawasi kinerja mereka. Akibatnya, sampai sekarang pengelolaan air di Jakarta semakin kacau. Air yang seharusnya menjadi hak asasi masyarakat tidak bisa diakses sepenuhnya oleh masyarakat karena biaya berlangganan yang mahal, kuantitasnya terbatas, dan kualitasnya buruk.


Saat air sudah ditetapkan sebagai suatu kebutuhan, pengelolaan air diserahkan kepada swasta yang akan menyediakan air dengan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Swasta mengelola air dengan proses privatisasi air. Air diubah menjadi sebuah komoditas, diberi harga, dan dijual di pasar atas dasar kemampuan untuk membayar.


Privatisasi air ini sejalan dengan ajaran kapitalisme. Swasta yang mengelola sumber daya air mulai berpikir bagaimana mengelola sumber daya air yang sifatnya terbatas untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Air yang sifatnya terbatas mulai dieksplorasi sebesar-besarnya yang tujuannya bukan untuk mensejahterakan rakyat. Akan tetapi berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menjual air dengan harga yang tinggi.


Beberapa perusahaan swasta yang mengelola air sebagai komoditas saling bersaing untuk mendapatkan air. Sistem persaingan dalam kapitalisme dihalalkan. Bahkan tersedia pasar bebas untuk melakukan persaingan.


Dalam sistem kapitalis, hak milik atas alat-alat produksi (tanah, pabrik, mesin, dan sumber alam) ada di tangan perorangan, bukan di tangan negara. Begitu juga dengan privatisasi air, pengelolaan air ada ditangan perorangan yaitu swasta bukan di tangan negara.


Akibat dari privatisasi air adalah dunia akan kekurangan air. Air yang memang sudah terbatas karena kerusakan lingkungan hidup yaitu pencemaran dan eksplorasi berlebihan, kualitasnya semakin berkurang karena privatisasi ini. Privatisasi ini akan memicu swasta untuk mencari dan mengambil air sebanyak-banyaknya tanpa ada usaha untuk memperbaharui lagi.

Senin, 04 Februari 2008

KENDALIKAN BAHAN PENCEMAR LAPISAN OZON AGAR ATMOSFER LESTARI



Radyan Prasetyo

Why?
Pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam untuk bumi ini mencakup hal yang sangat luas dan salah satunya adalah perlindungan terhadap atmosfer yang memberi fungsi lapisan yang melindungi bumi dari berbagai “serangan” benda angkasa, mulai dari asteroid, meteor, debu angkasa hingga sinar ultraviolet. Atmosfer mengalami tekanan makin besar akibat efek gas rumah kaca (GRK) yang mengancam perubahan iklim dan juga dari bahan-bahan kimia yang semakin menipiskan lapisan ozon.

Pemakaian fossil fuel menjadi sumber utama emisi ini, meskipun penggunaan energi ini sangat vital bagi pembangunan ekonomi dan perbaikan kehidupan. Namun konsumsi fossil fuel selama ini cenderung berlebihan dan tidak berkelanjutan. Energi hanya dikeruk dan dikeluarkan kemudian diekstrak dan dipergunakan sebagai bahan bakar. Pola konsumsi ini berlangsung menerus tanpa kita berpaling menuju penggunaan fuel yang lebih bijak. Disamping itu, perkembangan industri dengan kemajuan penciptaan zat-zat sintetis yang tidak seimbang dengan daya dukung dan daya tampung juga turut memacucepatkan kerusakan atmosfer kita saat ini.

Baru beberapa dasawarsa belakangan ini, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kemampuan atmosfer kita untuk mendukung kehidupan sudah jauh berkurang. Setelah adanya ancaman kehidupan manusia, kita baru mulai belajar menghargai atmosfer sebagai bagian dari diri sendiri.

Perkembangan industri yang begitu pesat telah mengakibatkan tidak seimbangnya penggunaan zat-zat kimia sintetis dengan daya dukung lingkungan atmosfer, sehingga terjadi kerusakan lingkungan dan pencemaran terutama dari zat kimia perusak lapisan ozon. Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan para pelaku kegiatan industri tidak hanya berusaha mengendalikan pencemaran, tetapi juga mengganti zat kimia yang merusak lapisan ozon.

Uap air, CO2, CH4, dan N2O merupakan gas rumah kaca yang alamiah ada di atmosfer, tetapi juga dilepaskan dalam jumlah besar oleh berbagai kegiatan dan aktivitas industri. Selain itu juga terdapat beberapa gas rumah kaca yang merupakan antropogenik seperti CFC (Chlorofluorocarbon) yang merupakan zat yang digunakan proses pendinginan. GRK tersebut akan berada di atmosfer selama puluhan tahun meskipun dilakukan tindakan pengurangan terhadap emisi sebelum sebelum konsentrasi gas di atas menurun. Jika konsentrasi gas rumah kaca terus meningkat, pemanasan global akan berdampak luas pada lingkungan dan manusia antara lain naiknya permukaan laut, kerusakan kehidupan tumbuhan dan peternakan di samping kesehatan manusia seperti kanker kulit, katarak mata dan lain sebagainya.

Masalah lingkungan menjadi isu global, dan pertama kali menjadi agenda resmi internasional pada Stockholm Conference on The Human Environment tahun 1972. Konferensi ini melahirkan kelembagaan internasional United Nations Environment Programme (UNEP). Kemudian pada tahun 1981 disusun pula kelompok kerja tentang “Convention for The Protection of The Ozone Layer”. Konvensi perlindungan lapisan ozon ini diterima sebagai Vienna Convention tahun 1985 dan disusun rencana kerja dalam bentuk protokol yang memuat sejumlah peraturan khusus sebagai implementasi yang dikenal sebagai Montreal Protocol Januari 1989. Tujuannya adalah mengurangi penggunaan CFC.

Tahun 1983 PBB membentuk The world Commission on Environment and Development (WCED) komisi independen yang memberikan rekomendasi terhadap persoalan lingkungan global dan menghasilkan laporan Our Common Future, yang didalamnya membahas berbagai program nyata dalam mengintegrasikan kepedulian lingkungan dan pembangunan ekonomi di tingkat internasional, nasional dan lokal. Disii pula diperkenalkan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

What?
Ozon (O3) adalah suatu senyawa yang terdiri dari 3 (tiga) atom oksigen. Ozon terdapat di atmosfer, sedangkan sebagai produk aktivitas manusia ozon terkonsentrasi di permukaan bumi. Ozon juga merupakan gas rumah kaca karena dapat menyerap radiasi sinar matahari Berdasarkan sejarah perkembangan bumi, lapisan ozon stratosfer terbentuk sebagai akibat adanya organisme foto autotrofik yang mengeluarkan oksigen (O2). Beberapa molekul oksigen (O2) terurai ketika mereka menyerap energi sinar ultraviolet dan membentuk atom oksigen tunggal. Jika atom ini bergabung kembali dengan oksigen, maka akan terbentuk molekul ozon (O3), selanjutnya ozon yang terbentuk kemudian menyerap ultra violet dan pecah menjadi atom-atom oksigen, lalu terbentuk kembali menjadi molekul oksigen dan ozon. Proses pembentuk dan terurainya ozon ini terjadi secara terus-menerus dalam suatu keseimbangan dan menjadikan bumi lebih sesuai bagi kehidupan yang lebih komplek. Dan ozon mempunyai dua fungsi yang berbeda dalam perubahan lingkungan global. Ozon di lapisan stratosfer adalah sebagai pelindung yang menghalangi masuknya radiasi ultra violet yang berbahaya, dan pada lapisan troposfer di dekat permukaan bumi sebagai gas rumah kaca sekaligus ancaman bagi keselamatan.

Sebagai negara berkembang Indonesia tidak memproduksi bahan perusak ozon, namun kebutuhan akan bahan tersebut dilakukan dengan mengimpor dari negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, China dan India.

1. Chlorofluorocarbon (CFC)
Chlorofluorocarbon atau CFC yang dipasaran lebih dikenal dengan sebutan freon (merk dagang), adalah bahan kimia turunan hidrokarbon sederhana (metan, etan, dan lain-lain). Namun pada CFC beberapa atom hidrogennya diganti dengan atom halogen. CFC merupakan bahan buatan manusia pertama kali diketahui dan dikarakteristik oleh DR. F. Swarts seorang peneliti Belgia di universitas Ghent pada tahun 1890-an. Ia menemukan bahwa ikatan CF dapat dibentuk dengan reaksi stokiometri SbF dengan ikatan C-Cl yang diaktifkan.

Awalnya tidak ada perhatian besar pada temuan ini, bary tahun 1928 Thomas Midgley dari General Motor menerapkan bahan tersebut pada peralatan pendingin. Sebelum CFC ditemukan, mesin pendingin menggunakan bahan refrigerant yang sudah umum dikenal yaitu CHCl, SO, NH, CHCl, CHCl, dan hidrokarbon. Secara teknis bahan-bahan tersebut memberikan efek pendinginan yang baik, namun berbau, mudah terbakar dan beracun. Clorin sifatnya yang stabil membuat senyawa ini mempunyai waktu tinggal sangat lama di atmosfer tanpa terurai. Radiasi sinar UV di stratosfer akan melepaskan atom klorin yang sangat reaktif, klorin inilah yang kemudian merusak molekul ozon (satu atom klorin merusak lebih dari 100.000 molekul ozon).

2. Halon
Halon, carbontetrachloride, dan methylchloroform, merupakan bahan-bahan kimia terhalogenasi (halogenated compound). Bahan-bahan kimia tersebut bersama CFC merupakan bahan kimia yang diawasi oleh Protokol Montreal, karena bahaya yang ditimbulkan bila bahan tersebut diemisikan ke atmosfer. Pemakaian halon mulai dikembangkan sejak akhir Perang Dunia II dan digunakan untuk pemadam kebakaran. Halon ini mengandung bromin yang 10 kali lebih kuat daripada klorin dalam merusak ozon. Halokarbon ini sangat efektif untuk pemadam api karena zat ini tidak menghantar listrik, cepat menyebar, tidak meninggalkan residu, dan tidak berbahaya bagi manusia.

How?
Dampak CFC terhadap Lingkungan
1. Penipisan lapisan Ozon
Walaupun keberadaan ozon memungkinkan perkembangan kehidupan, namun ozon juga merupakan gas beracun yang mengakibatkan iritasi gawat pada sistem pernapasan. Ozon hanya merupakan bagian kecil dari atmosfer. Dalam perjalanannya menuju bumi sinar matahari terlebih dahulu menembus lapisan ozon, dengan demikian radiasi ultraviolet yang mencapai bumi telah berkurang.

Teori pertama yang menunjuk CFC sebagai perusak ozon stratosfer dikemukakan pada tahun 1974 oleh F. Sherwood Rowland dan rekannya Mario Molina. Pendapat mereka tidak mendapat tanggapan, namun pada tahun 1981 sesuai dengan keputusan dari United Nations Environment Programme Governing Council, dibuatlah kelompok kerja yang bertugas meneliti masalah tersebut dan menyusun Convention for The Protection of The Ozone Layer. Pada tahun 1990-an, pada saat Protokol Montreal lebih diperketat, terdapat bukti adanya penipisan lapisan ozon, dan bukti jelas bahwa senyawa klorin dan bromina buatan manusia menjadi penyebab kerusakan itu.

2. Peningkatan Suhu Bumi
Atmosfer merupakan mesin dari sistem iklim secara fisik. Ketika radiasi dari matahari memasuki atmosfer, beberapa bagian direfleksikan kembali oleh awan dan debu dan lainnya diteruskan ke daratan. Dari radiasi yang langsung menuju kepermukaan, sebagian diserap oleh bumi dan sebagian dipantulkan kembali. Sebaliknya energi ini dipantulkan kembali ke bumi sehingga menaikkan suhu permukaannya. Gas seperti karbondioksida, metan, nitrogen oksida dan ozon troposfer sangat berguna sebagai penyerap radiasi inframerah yang ditimbulkan oleh bumi. Sebaliknya chlorofluorocarbon, merupakan senyawa yang menghancurkan lapisan pelindung ozon, yang menyerap radiasi ultraviolet yang berbahaya bagi manusia. Semakin banyaknya jumlah konsentrasi gas-gas tersebut di atmosfer, dan seiring dengan makin sedikitnya radiasi yang dilepaskan dari permukaan bumi ke angkasa, yang menyebabkan temperatur atau suhu bumi meningkat membuat banyak pihak mulai memperhatikan hal tersebut.

Sebagai hasil penelitian di lembah Amazon memperlihatkan bahwa hutan-hutan tropis berfungsi sebagai resapan ozon, dengan demikian maka perusakan hutan yang berkesinambungan dapat memberi efek nyata terhadap keseimbangan ozon regional. Ozon berfungsi sebagai gas rumah kaca di troposfer bagian atas dan stratosfer bagian bawah, karena itu perubahan konsentrasi ozon di daerah ini akan merubah skala pemanasan rumah kaca.

Lets Reduce
Produk yang Mengandung Bahan-bahan Perusak Lapisan Ozon
1. Alat pendingin
Penggunaan CFC pada alat pendingin antara lain pada produk lemari pendingin dan pendingin ruangan (AC). Lemari pendingin dibedakan lagi untuk keperluan rumah tangga (kulkas) dan industri (cold storage dan freezer). Sedangkan pendingin ruangan dibedakan atas AC untuk keperluan rumah tangga, AC mobil, dan AC sentral. Sistem pendinginan pada alat pendingin dilakukan dengan memanfaatkan pertukaran energi atau panas pada saat terjadinya perubahan wujud dari bahan refrigerant (gas ke cair dan cair ke gas).

2. Kasur Busa
CFC digunakan untuk mendorong bahan baku (blowing agent) karena dapat memberikan tekstur produk yang baik. Dengan teknologi yang ada sekarang banyak pabrik busa mempunyai beberapa pilihan lain tanpa hydrochlorofluorocarbon (HCFC). Produk kasur busa menggunakan CFC sebagai bahan penghembus untuk mendorong bahan yang akan dibuat. Jika busa yang diolah terbuat dari polystyrene, maka pentana dapat dijadikan penggantinya. Untuk produksi massal, bahhkan pentana lebih murah dibandingkan dengan CFC.

3. Aerosol
Produk-produk aerosol memanfaatkan CFC sebagai bahan pendorong untuk mengeluarkan produk dari tabung. Beragamnya jenis produk ini menempatkan produk aerosol sebagai pengguna CFC terbesar kedua setelah alat-alat pendingin.

4. Pelarut
Jenis CFC yang digunakan sebagai pelarut untuk pembersihan papan sirkuit elektronik, instrumen presisi (seperti disk drive computer), logam dan pakaian adalah CFC-113.

5. Pemadam Api
Halon adalah hidrokarbon yang mengandung bromin dan klorin. Namun sangat disayangkan sedikit kemungkinan untuk menemukan pengganti halon yang digunakan dalam pemadam api. Halokarbon ini sangat efektif untuk pemadam api karena zat ini tidak menghantar listrik, cepat menyebar, tidak meninggalkan residu, dan tidak berbahaya bagi manusia, walaupun daya rusak zat ini terhadap ozon sepuluh kali lebih besar daripada CFC. Halon-1301 berkemampuan untuk mengisi suatu ruang tertutup dan mematikan api tanpa membahayakan manusia dan merusak barang, merupakan suatu dilema yang sulit.

Alternatif Pengalihan Ods
Upaya-upaya lainnya dalam rangka pengurangan maupun penghapusan ODS, antara lain:
1. Menerima teknologi baru dari pihak lain yang bersedia meminjamkan teknologi baru
2. Mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi karyawan/personal agar cocok dengan penggunaan teknologi baru
1. Menumbuhkembangkan dan merangsang sistem yang sesuai dengan teknologi non ODS
2. Mengadakan investasi bagi fasilitas produksi dan laboratorium uji untuk teknologi tanpa ODS
3. Sosialisasi penggunaan alternatif bahan non ODS melalui media cetak dan media elektronik
4. Mengadakan pertemuan rutin dengan beberapa instansi terkait dari tiap sektor ODS, pertemuan regional, dan internasional
5. Menguatkan kampanye ekolabeling pada produk yang dianggap ramah lingkungan (