Berita “Surga Perkotaan yang Terancam” sontak membuatku kaget. Tulisan Prof Eko Budiardjo yang termuat di rubrik opini Sabtu (6/9) lalu mengenai wacana pembongkaran GOR Trilomba Juang di Semarang tersebut juga sempat membuatku emosi. Hhhmm sedikit berlebihan. Akan tetapi memang begitu. Semarang, sebagai kota kelahiran dan tempat bersekolah dari TK-Perguruan Tinggi, menyimpan banyak kenangan.
Seperti kota-kota lainnya, Semarang tidak mempunyai banyak ruang publik atau ruang terbuka hijau (RTH). Masih beruntung jalur hijau di kanan dan kiri jalan cukup terjaga. Seingatku, jumlah ruang publik atau RTH di semarang, jumlahnya di bawah 10. (Kalo salah betulkan, ya). Karena saat sekolah dulu sering kebingungan mencari tempat nongkrong di Semarang.
Ruang publik itu adalah:
1. Taman KB yang lokasinya persis di depan SMAN 1
2. Simpang Lima . Kawasan ini ruang publik terbesar dan menjadi icon semarang
3. GOR Jatidiri. Kawasan ini ada di semarang selatan (kawasan atas semarang) menjadi pusat kegiatan olahraga semarang dan jawa tengah
4. GOR Trilomba Juang di kawasan Mugas
5. Lapangan Garnisun di jalan Dr. Soetome
6. Stadion sepakbola di dekat Admiral. (lupa nama daerahnya)
7. Kawasan UNDIP Tembalang. Kalo tempat ini kurang nyaman untuk tempat nongkrong karena panas banget
8. ....(hhmm mana lagi ya?) Mungkin ada yang bisa menambahkan.
Nah yang sekarang jadi sasaran pembongkaran adalah Gor Trilomba Juang di kawasan Mugas. Lokasinya kira-kira bersebelahan dengan STM Pembangunan, tidak terlalu jauh dengan lokasi Taman KB. Sebenarnya sih pembongkaran tersebut masih berupa wacana. Akan tetapi sempat menimbulkan kekhawatiran karena kebijakan walikota Semarang yang sekarang sering salah arah. Bisa-bisa wacana tersebut menjadi kenyataan kalo tidak ada pihak-pihak yang menentang keras.
Seperti kawasan hutan karet di daerah Mijen. Dulu kawasan tersebut merupakan salah satu daerah resapan air kota semarang. Tempatnya dingin, sejuk dan sering jadi tujuan wisata murah-meriah bagi sebagian warga Semarang. Tidak hanya itu, fungsi lainnya adalah untuk mengimbangi fungsi hidrologis DAS Beringin dan Plumbon. Sebelum kawasan hutan karet tersebut dibabat, daerah hilir DAS Beringin dan Plumbon seperti kawasan Tugu dan Mangkang tidak pernah kebanjiran.
Akan tetapi sekarang kawasan Tugu dan Mangkang saat musim penghujan selalu kebanjiran. Bahkan sekitar tahun 2000-an, saat banjir bandang melanda Semarang, kawasan yang juga sebagai jalur pantura menuju ke arah Kendal – Batang menjadi tertutup. Otomatis jalur transportasi regional tersebut menjadi terganggu.
Tidak hanya banjir, penduduk Semarang menjadi kehilangan tempat wisata yang murah meriah. Dulu, kawasan hutan karet Mijen juga menjadi pusat penjualan duren atau rambutan dari Kec. Gunung pati. Banyak orang dari luar Semarang selalu mencari durian di kawasan tersebut. Sekarang kalau mau cari durian Gunung pati harus ke supermarket kali ya? Hehehe.
Kembali lagi ke urusan GOR Trilomba Juang. GOR Trilomba Juang adalah GOR kedua setelah GOR di kawasan Simpang Lima dibongkar untuk pembangunan Hotel dan Mall Citraland. Hhmm GOR Simpang Lima itu juga menjadi salah satu contoh pembongkaran kawasan publik menjadi komersial private. Orang tidak bisa menikmati kawasan komersial private seenak hatinya karena akan membutuhkan biaya untuk masuk ke kawasan tersebut.
GOR Trilomba Juang meskipun lebih kecil ukurannya dari GOR Simpang Lima, tapi dulu sering dimanfaatkan untuk pertandingan olahraga tingkat regional maupun nasional, konser musik, tempat olahraga sekolah-sekolah yang gak punya lapangan olah raga. Bahkan oleh penduduk di sekitarnya GOR Trilomba Juang juga punya fungsi hidrologis. GOR Trilomba Juang ini terletak di kaki bukit Mugas. Kawasan di atasnya merupakan kawasan permukiman padat penduduk.
Saat aku TK, aku ingat GOR Trilomba Juang menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Tengah. Saat itu diadakan PORSENI sekolah. Aku ditugaskan untuk memberikan bunga pada ibu Soepardjo Rustam, ibu Gubernur Jateng saat itu. Meski belum punya rasa bangga karena masih kecil, saat melihat foto itu sekarang rasanya bangga.
Ada kenangan lain tentang GOR tersebut. Saat kuliah, Grup Band DEWA mengadakan konser musik di Semarang, memilih GOR Trilomba Juang sebagai tempat konser. Aku tergerak untuk menonton karena seumur hidup belum pernah nonton konser musik. Berhubung tiketnya mahal dan pasti berdesak-desakkan, aku memilih nonton konser tersebut dari atas GOR Trilomba Juang. Kebetulan ada teman kuliahku, Ratih yang rumahnya tepat di atas GOR Trilomba Juang.
Kebetulan konsernya diadakan malam minggu. Jadi sore itu, bersama beberapa teman sudah siap nongkrong di rumah Ratih. Beberapa kali melongokkan kepala dari halaman belakang rumah Ratih melihat posisi panggung pertunjukkan. Eh lha kok ternyata panggung tersebut membelakangi bagian belakang rumah Ratih. Berarti aku dan teman-teman sama sekali tidak bisa melihat pertunjukkan musik itu. Huahahaha...rombongan kecewa. Tapi sebagai gantinya kami malah mengobrol, dan bercanda sampai larut malam, diiringi hentakan lagu-lagu DEWA.
Mengenai fungsi hidrologis dan ekologis, aku membayangkan bahwa penduduk Mugas akan kekurangan air. Pasalnya beberapa rumah yang letaknya di atas GOR Trilomba Juang menggantungkan persediaan air tanah pada sumur artesis yang diambil dari kawasan GOR. Kalo di situ dibangun hotel, air tanah akan banyak tersedot untuk memenuhi kebutuhan hotel.
Pohon-pohon di sekitar kawasan GOR pasti akan dipotong. Otomatis habitat makhluk hidup di situ akan hilang. Termasuk burung-burung sehingga tidak terdengar lagi kicau burung dari rumah Ratih. Bahkan angin sepoi-sepoi saat nongkrong di halaman belakang rumah Ratih pun akan berkurang.
Satu hal lagi, kawasan tersebut pasti akan macet. Padahal jalan di depannya tidak cukup lebar. Aduh..gak terbayang deh jika wacana tersebut diwujudkan. Pasti lambat laun, Semarang akan kehilangan ruang publik dan RTH satu-persatu jika aparatur pemerintahan tidak menyadari arti penting kehadiran RTH untuk menyeimbangkan fungsi ekologis, hidrologis dan ruang publik.
Senin, 15 September 2008
Selasa, 04 Maret 2008
Tukar Guling Lingkungan
Oleh: M. Puteri Rosalina
Masih ingat dengan kasus penempatan jalur busway di kawasan perumahan Pondok Indah yang menuai protes keras? Jalur busway koridor VIII tersebut akan mengorbankan jalur hijau dan 520 pohon palem. Pohon-pohon yang sudah tertanam 30 tahun tersebut akan dipindah ke tempat lain, bahkan ditebang.
Pemerintah berjanji akan mengompensasi pohon-pohon yang terpaksa ditebang tersebut dengan menanam pohon-pohon baru di sepanjang tepi jalan Metro PI. Pohon yang akan ditanam adalah pohon yang bisa menyerap polusi
Kasus pemindahan pohon ke lokasi lain bukanlah yang pertama terjadi di Jakarta. Akibat proses pembangunan fisik gedung, jalan, atau trotoar, banyak pohon-pohon yang dipindahkan ke tempat lain. Pemindahan tersebut memang sepele di mata pemerintah karena mereka menganggap jumlah pohon akan tetap sama. Bahkan dianggap luasan ruang terbuka hijau juga sama.
Namun, jika pohon bisa bicara dia akan berteriak dan berdemo menolak pemindahan. Bisa dibayangkan ratusan pohon palem dengan tinggi sekitar 3 meter akan berbaris di depan gedung Balaikota. Akan lebih ngeri dan menakutkan, dibandingkan rombongan manusia yang berdemo. Berondongan peluru pun tidak akan mampu menembus barikade demo pohon palem tersebut.
Pohon palem patut protes dan berdemo. Pasalnya sudah terbentuk satu kesatuan rantai makanan di jalur hijau sepanjang Pondok Indah. Ada organisme yang bergantung pada pohon palem. Bahkan pohon palem tersebut juga bergantung pada organisme lain. Saat pohon palem ditebang atau dipindah, rantai makanan yang sudah terbentuk selama 30 tahun akan rusak. Lambat laun, ekosistem kecil di jalur hijau tersebut akan rusak. Rumput akan mengering bahkan cacing-cacing akan mati.
Tentu pemerintah tidak akan mengerti soal rantai makanan. Bahkan akan tertawa dengan istilah rantai makanan tersebut. Kasus ini pemindahan pohon-pohon palem di jalur hijau tersebut lebih tepat jika diganti dengan ’tukar guling lingkungan’.
Kasus tukar guling lingkungan lainnya adalah kasus penggantian areal mangrove di kawasan utara Jakarta. Sekitar tahun 1990 an, kompleks real estate Pantai Indah Kapuk (PIK) mulai dibangun di areal mangrove di teluk Jakarta. Pembangunan tersebut menimbulkan kontroversi karena sebagian areal tersebut merupakan kawasan konservasi/lindung. Kawasan konservasi yang sebagian besar wilayahnya merupakan areal mangrove tersebut berfungsi sebagai daerah parkir air dan pelindung pantai dari abrasi dan gelombang pasang. Namun, tetap saja perusahaan kapitalis pimpinan Ciputra berhasil membangun kawasan real tersebut .
Saat proses pembangunan, Ciputra berjanji akan membangun catchment area baru berupa danau buatan untuk penampungan air. Bahkan dia berkeyakinan bahwa proses pembangunan tersebut tidak akan menimbulkan banjir atau bencana lingkungan lainnya.
Menurut keputusan Menteri Kehutanan No. 48/Menhut-II/2004 tentang Revisi Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, jika suatu kawasan lindung dipakai untuk kepentingan lain maka wajib menggantikannya dengan lahan di lokasi lain dengan perbandingan 1 : 2. Nah, berdasarkan peraturan ini, PIK mengganti kawasan lindung tersebut dengan lahan di wilayah lain. Data areal pengganti tersebut dapat dilihat di bawah ini.
Luas Kawasan Pengganti Pantai Indah Kapuk / Hutan Kota Angke Kapuk:
1. Tanah / lahan 1.190 Ha di Citarum – Dt. II Cianjur
2. Tanah / lahan 75 Ha di Rumpin – Dt. II Bogor
3. Tanah / lahan 350 Ha di Nagrak – Dt. II Sukabumi
4. Tanah / lahan 18,4 Ha di Pulau Penjaliran Barat – Kab. Kepulauan Seribu
5. Tanah / lahan 19,5 Ha di Pulau Penjaliran Timur, Kab. Kepulauan Seribu
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Prop. DKI Jakarta (11-2-2002)
Ada sesuatu yang janggal pada kebijakan menteri kehutanan tersebut. Tidak ada ketentuan yang menyebutkan syarat penggantian kawasan lindung. Misalnya ada keharusan areal pengganti tersebut harus mempunyai karakteristik fungsi yang sama. Jadi jika yang dipakai adalah kawasan lindung mangrove, maka penggantinya adalah kawasan mangrove juga dengan karakteristik yang kurang lebih sama.
Sekarang jika areal penggantinya adalah lahan di daerah Bogor dan Cianjur yang ekosistemnya sangat berbeda dengan ekosistem mangrove. Hal ini berarti kawasan lindung mangrove tersebut fungsinya rusak.
Sekali lagi para pembuat kebijakan ataupun si kapitalis Ciputra tidak mengerti arti sebenarnya dari sebuah ekosistem. Dalam ekosistem mangrove, semua anggotanya sudah mempunyai job desk khusus dalam sebuah rantai makanan. Jika salah satu hilang, akan mengancam keseimbangan ekosistem tersebut.
Tukar guling lingkungan untuk kepentingan kapitalis tidak berhenti pada pohon palem dan bakau saja. Pada manusia sebagai salah satu anggota lingkungan sosial, pun banyak terjadi. Sebut saja kasus tukar guling SLTP 56 Melawai yang lokasinya akan digunakan untuk bangunan kapitalis pusat perbelanjaan. Meski manusia merupakan makhluk hidup yang cepat beradaptasi, belum tentu akan dengan mudah menempati lokasi baru.
Hhhmmm....sampai kapan proses ’tukar guling lingkungan’ akan terus berlangsung? Nanti bisa-bisa taman kota di Monas akan ditukar guling dengan lapangan sepak bola di daerah Bogor. Taman Kota malah akan dibangun Pusat perbelanjaan dan apartemen...Hhhm siapa tahu?
Pemerintah berjanji akan mengompensasi pohon-pohon yang terpaksa ditebang tersebut dengan menanam pohon-pohon baru di sepanjang tepi jalan Metro PI. Pohon yang akan ditanam adalah pohon yang bisa menyerap polusi
Kasus pemindahan pohon ke lokasi lain bukanlah yang pertama terjadi di Jakarta. Akibat proses pembangunan fisik gedung, jalan, atau trotoar, banyak pohon-pohon yang dipindahkan ke tempat lain. Pemindahan tersebut memang sepele di mata pemerintah karena mereka menganggap jumlah pohon akan tetap sama. Bahkan dianggap luasan ruang terbuka hijau juga sama.
Namun, jika pohon bisa bicara dia akan berteriak dan berdemo menolak pemindahan. Bisa dibayangkan ratusan pohon palem dengan tinggi sekitar 3 meter akan berbaris di depan gedung Balaikota. Akan lebih ngeri dan menakutkan, dibandingkan rombongan manusia yang berdemo. Berondongan peluru pun tidak akan mampu menembus barikade demo pohon palem tersebut.
Pohon palem patut protes dan berdemo. Pasalnya sudah terbentuk satu kesatuan rantai makanan di jalur hijau sepanjang Pondok Indah. Ada organisme yang bergantung pada pohon palem. Bahkan pohon palem tersebut juga bergantung pada organisme lain. Saat pohon palem ditebang atau dipindah, rantai makanan yang sudah terbentuk selama 30 tahun akan rusak. Lambat laun, ekosistem kecil di jalur hijau tersebut akan rusak. Rumput akan mengering bahkan cacing-cacing akan mati.
Tentu pemerintah tidak akan mengerti soal rantai makanan. Bahkan akan tertawa dengan istilah rantai makanan tersebut. Kasus ini pemindahan pohon-pohon palem di jalur hijau tersebut lebih tepat jika diganti dengan ’tukar guling lingkungan’.
Kasus tukar guling lingkungan lainnya adalah kasus penggantian areal mangrove di kawasan utara Jakarta. Sekitar tahun 1990 an, kompleks real estate Pantai Indah Kapuk (PIK) mulai dibangun di areal mangrove di teluk Jakarta. Pembangunan tersebut menimbulkan kontroversi karena sebagian areal tersebut merupakan kawasan konservasi/lindung. Kawasan konservasi yang sebagian besar wilayahnya merupakan areal mangrove tersebut berfungsi sebagai daerah parkir air dan pelindung pantai dari abrasi dan gelombang pasang. Namun, tetap saja perusahaan kapitalis pimpinan Ciputra berhasil membangun kawasan real tersebut .
Saat proses pembangunan, Ciputra berjanji akan membangun catchment area baru berupa danau buatan untuk penampungan air. Bahkan dia berkeyakinan bahwa proses pembangunan tersebut tidak akan menimbulkan banjir atau bencana lingkungan lainnya.
Menurut keputusan Menteri Kehutanan No. 48/Menhut-II/2004 tentang Revisi Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, jika suatu kawasan lindung dipakai untuk kepentingan lain maka wajib menggantikannya dengan lahan di lokasi lain dengan perbandingan 1 : 2. Nah, berdasarkan peraturan ini, PIK mengganti kawasan lindung tersebut dengan lahan di wilayah lain. Data areal pengganti tersebut dapat dilihat di bawah ini.
Luas Kawasan Pengganti Pantai Indah Kapuk / Hutan Kota Angke Kapuk:
1. Tanah / lahan 1.190 Ha di Citarum – Dt. II Cianjur
2. Tanah / lahan 75 Ha di Rumpin – Dt. II Bogor
3. Tanah / lahan 350 Ha di Nagrak – Dt. II Sukabumi
4. Tanah / lahan 18,4 Ha di Pulau Penjaliran Barat – Kab. Kepulauan Seribu
5. Tanah / lahan 19,5 Ha di Pulau Penjaliran Timur, Kab. Kepulauan Seribu
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Prop. DKI Jakarta (11-2-2002)
Ada sesuatu yang janggal pada kebijakan menteri kehutanan tersebut. Tidak ada ketentuan yang menyebutkan syarat penggantian kawasan lindung. Misalnya ada keharusan areal pengganti tersebut harus mempunyai karakteristik fungsi yang sama. Jadi jika yang dipakai adalah kawasan lindung mangrove, maka penggantinya adalah kawasan mangrove juga dengan karakteristik yang kurang lebih sama.
Sekarang jika areal penggantinya adalah lahan di daerah Bogor dan Cianjur yang ekosistemnya sangat berbeda dengan ekosistem mangrove. Hal ini berarti kawasan lindung mangrove tersebut fungsinya rusak.
Sekali lagi para pembuat kebijakan ataupun si kapitalis Ciputra tidak mengerti arti sebenarnya dari sebuah ekosistem. Dalam ekosistem mangrove, semua anggotanya sudah mempunyai job desk khusus dalam sebuah rantai makanan. Jika salah satu hilang, akan mengancam keseimbangan ekosistem tersebut.
Tukar guling lingkungan untuk kepentingan kapitalis tidak berhenti pada pohon palem dan bakau saja. Pada manusia sebagai salah satu anggota lingkungan sosial, pun banyak terjadi. Sebut saja kasus tukar guling SLTP 56 Melawai yang lokasinya akan digunakan untuk bangunan kapitalis pusat perbelanjaan. Meski manusia merupakan makhluk hidup yang cepat beradaptasi, belum tentu akan dengan mudah menempati lokasi baru.
Hhhmmm....sampai kapan proses ’tukar guling lingkungan’ akan terus berlangsung? Nanti bisa-bisa taman kota di Monas akan ditukar guling dengan lapangan sepak bola di daerah Bogor. Taman Kota malah akan dibangun Pusat perbelanjaan dan apartemen...Hhhm siapa tahu?
Senin, 03 Maret 2008
Master Plan Carut Marut

The Local Government didn’t have an actual environmental plan.. ternyata kebijakan pengelolaan lingkungan di DKI masih simpang siur dan mirip “jalan tiada ujung”. Baru saja saya selesai tulis artikel ini, Jakarta dihujami oleh banjir persis seperti tahun lalu –yang katanya siklus lima tahunan- yang nyatanya saat ini lebih parah. Dan entah kenapa, pemerintah justru menyalahkan alam dengan hujan yang lebat. Padahal hujan hanya menggyur Jakarta selama hanya 1 hari, bandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 3 hari berturut-turut.
Tidak etis rasanya jika menyalahkan alam sementara manusia sendiri tidak mencoba instropeksi diri. Karena sesungguhnya siklus air itu berjalan tetap. Ari yang kita terima sekarang ini tidak berbeda dengan air yang kita terima duapupuh tahun lalu. Hanya mungkin jumlahnya terkonversi menjadi bentuk lain seperti gas maupun air tidak layak knsumsi karena kandungan materialnya diatas baku mutu. Apakah kelakuan kita saat ini sudah sesuai dengan kehendak alam? Atau sikap pemimpin ini sudah bisa mengatur drainase, daerah resapan air, tata kita dan peduli lingkungan? Rasanya tidak bukan?
Ini salah satunya terkait dengan penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam masterplan Jakarta. RTH bukan saja sekedar pemanis wajah ibu kota agar punya warna yang kontras dengan hutan beton, lebih dari itu, RTH memiliki fungsi hidroorologis, yang mengatur tata air agar tidak banjir seperti sekarang ini. Fungsi sebagi paru-paru kota, fungsi psikologis terutama untuk penghilang tekanan kerja dan tentunya fungsi estetika.
Sayang RTH ini masih tidak dianggap, bahkan untuk kalangan ”green capitalis” sekalipun. Daerah yang awalnya ditargetkan untuk menciptakan RTH sebesar 30% dari luas wilayah DKI (sesuai konsefrensi RIO ’92), justru hilang dan berganti dengan hunian dan lingkungan buatan. Meskipun dari dulu sudah digagas oleh banyak gubernur, tetap saja ganti pemimpin ganti kebijakan shingga pelaksananya hampir tidak ada.
Kini luas wilayah RTH ini ditaksir tinggal seperlimabelasnya. Padahal, RTH adalah pokok sebuah kota. Di daerah ini terjadi penayaringan oksige dan transformasi karbon dioksida serta udara disaring dari debu. Selain itu RTH juga sebagai “air conditioner” bagi suatu kota, daerah resapan air, habitat satwa, dan tempat rekreasi.
Dari beberapa sumber, saya mencatat ada beberapa rencana RTH yang dituangkan dalam masterplan DKI.
(RTH) 1965-1985. Alas hukum: Rencana Induk Djakarta 1965-1985. Gubernur: Soemarno/Ali Sadikin. Luas: 37,2% (241,8 km2). Kategori: sangat ideal
Tonggak: tahun 1971 Gubernur Ali Sadikin melepaskan 13 hektare RTH Senayan untuk pembangunan hotel dalam rangka Konferensi Pariwisata Asia Pasifik. Belakangan, hotel itu ternyata menjadi properti perusahaan keluarga Ibnu Sutowo. 1984. Luas ruang terbuka hijau 28,8%.
RTH 1985-2005. Alas hukum: Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985-2005. Gubernur: Soeprapto. Luas: 26,1-31,5 % (169,65 km2) pada 2005. Kategori: cukup ideal.
RTH 2000-2010. Alas hukum: Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000-2010. Gubernur: Sutiyoso. Luas: 13,94%(90,6 km2). Kategori: Tidak ideal.
RTH 2010-2030
Alas hukum: Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 2010-2030. Ruang terbuka hijau Jakarta telah beralih menjadi hutan beton. Daerah yang semula diperuntukkan sebagai paru-paru kota dan daerah konservasi air itu mengalah pada kepentingan bisnis. Berikut ini potret ruang terbuka hijau di lima lokasi utama: Senayan, Hutan Tomang, Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter.
1. Hutan Kota Senayan. RENCANA Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan seluas 279 hektare ini sebagai Ruang Terbuka Hijau. Fungsi utamanya menjadi paru-paru Ibu Kota. Di atasnya hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal sekitar 16 persen dari luas total. Tapi, inilah keadaan Senayan kini.
2. Hutan Kota Tomang, RENCANA INDUK 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Saat itu di sana ajeg hutan kota Tomang. Kini, hutan itu berubah menjadi Mal Taman Anggrek.
3. Pantai Kapuk, Semula lokasi ini adalah kawasan hutan bakau yang digenangi jutaan kubik air payau. Pengurukan 831 hektare wilayah itu mengakibatkan sedikitnya 16 juta meter kubik air tidak tertampung
4. Kelapa Gading, DULU Kelapa Gading adalah wilayah persawahan dan rawa dan menjadi daerah resapan air. Kini, peruntukannya menjadi sengketa: ada yang meyakininya sebagai ruang terbuka hijau, ada yang mengatakan itu wilayah hunian. Tapi, pasti ada yang salah dalam penataan ruang di wilayah itu. Pada musibah banjir Februari 2002, di Kelapa Gading air cuma masuk rumah selutut. Pada 2007, banjir merendam hingga sebadan.
5. Sunter, PADA buku Rencana Induk 1965-1985, wilayah ini merupakan daerah resapan air. Kini nyaris tak ada ruang terbuka hijau. Di atas sebagian lahan konservasi itu tegaklah pabrik-pabrik. Yang lainnya menjadi wilayah hunian.
Tidak etis rasanya jika menyalahkan alam sementara manusia sendiri tidak mencoba instropeksi diri. Karena sesungguhnya siklus air itu berjalan tetap. Ari yang kita terima sekarang ini tidak berbeda dengan air yang kita terima duapupuh tahun lalu. Hanya mungkin jumlahnya terkonversi menjadi bentuk lain seperti gas maupun air tidak layak knsumsi karena kandungan materialnya diatas baku mutu. Apakah kelakuan kita saat ini sudah sesuai dengan kehendak alam? Atau sikap pemimpin ini sudah bisa mengatur drainase, daerah resapan air, tata kita dan peduli lingkungan? Rasanya tidak bukan?
Ini salah satunya terkait dengan penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam masterplan Jakarta. RTH bukan saja sekedar pemanis wajah ibu kota agar punya warna yang kontras dengan hutan beton, lebih dari itu, RTH memiliki fungsi hidroorologis, yang mengatur tata air agar tidak banjir seperti sekarang ini. Fungsi sebagi paru-paru kota, fungsi psikologis terutama untuk penghilang tekanan kerja dan tentunya fungsi estetika.
Sayang RTH ini masih tidak dianggap, bahkan untuk kalangan ”green capitalis” sekalipun. Daerah yang awalnya ditargetkan untuk menciptakan RTH sebesar 30% dari luas wilayah DKI (sesuai konsefrensi RIO ’92), justru hilang dan berganti dengan hunian dan lingkungan buatan. Meskipun dari dulu sudah digagas oleh banyak gubernur, tetap saja ganti pemimpin ganti kebijakan shingga pelaksananya hampir tidak ada.
Kini luas wilayah RTH ini ditaksir tinggal seperlimabelasnya. Padahal, RTH adalah pokok sebuah kota. Di daerah ini terjadi penayaringan oksige dan transformasi karbon dioksida serta udara disaring dari debu. Selain itu RTH juga sebagai “air conditioner” bagi suatu kota, daerah resapan air, habitat satwa, dan tempat rekreasi.
Dari beberapa sumber, saya mencatat ada beberapa rencana RTH yang dituangkan dalam masterplan DKI.
(RTH) 1965-1985. Alas hukum: Rencana Induk Djakarta 1965-1985. Gubernur: Soemarno/Ali Sadikin. Luas: 37,2% (241,8 km2). Kategori: sangat ideal
Tonggak: tahun 1971 Gubernur Ali Sadikin melepaskan 13 hektare RTH Senayan untuk pembangunan hotel dalam rangka Konferensi Pariwisata Asia Pasifik. Belakangan, hotel itu ternyata menjadi properti perusahaan keluarga Ibnu Sutowo. 1984. Luas ruang terbuka hijau 28,8%.
RTH 1985-2005. Alas hukum: Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985-2005. Gubernur: Soeprapto. Luas: 26,1-31,5 % (169,65 km2) pada 2005. Kategori: cukup ideal.
- 1990. Dua pertiga kawasan lindung Pantai Kapuk direklamasi menjadi perumahan Pantai Indah Kapuk
- 1994. Hutan kota Tomang di Jakarta Barat dikonversi menjadi Mal Taman Anggrek 1995. Luas ruang terbuka hijau 24,9%
- 1996. Konversi besar-besaran RTH Senayan dimulai, ditandai dengan pembangunan Hotel Atlet Century dan Plaza Senayan
- 1997. Hotel Mulia dibangun di atas RTH Senayan menggunakan memo Presiden Soeharto
- 1998. Luas ruang terbuka hijau 9,6%.
- 1999. Gubernur Sutiyoso "memutihan" pelanggaran ruang terbuka hijau dengan menerbitkan Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2010.
RTH 2000-2010. Alas hukum: Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000-2010. Gubernur: Sutiyoso. Luas: 13,94%(90,6 km2). Kategori: Tidak ideal.
- 2000. Luas ruang terbuka hijau 9,4% (kritis)
- 2003. Luas ruang terbuka hijau 9,12% 2005. Pemerintah Daerah membangun apartemen di atas ruang terbuka Polumas. Pembangunan ini digagas sejak masa Gubernur Soerjadi Soedirdja (1992-1997)
- 2005. Kantor Wali Kota Jakarta Selatan dibangun di bekas pemakaman Blok P. Konversi ini digagas sejak zaman Gubernur Soerjadi Soedirdja (1992-1997)
- 2007. Luas RTH ditaksir tinggal 6,2 %
RTH 2010-2030
Alas hukum: Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 2010-2030. Ruang terbuka hijau Jakarta telah beralih menjadi hutan beton. Daerah yang semula diperuntukkan sebagai paru-paru kota dan daerah konservasi air itu mengalah pada kepentingan bisnis. Berikut ini potret ruang terbuka hijau di lima lokasi utama: Senayan, Hutan Tomang, Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter.
1. Hutan Kota Senayan. RENCANA Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan seluas 279 hektare ini sebagai Ruang Terbuka Hijau. Fungsi utamanya menjadi paru-paru Ibu Kota. Di atasnya hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal sekitar 16 persen dari luas total. Tapi, inilah keadaan Senayan kini.
- SENAYAN CITY, Pusat perbelanjaan, dibuka 23 Juni 2006
- PLAZA SENAYAN, Pusat perbelanjaan dan perkantoran, dibuka 1996
- SENAYAN TRADE CENTER/GEDUNG PANIN
- RATU PLAZA, Apartemen 54 unit dan pusat perbelanjaan, dibangun 1974
- DEPDIKNAS
- SUDIRMAN PLACE, Perbelanjaan dan perkantoran, dibangun 2003
- HOTEL CENTURY, Hotel atlet, dibuka pada 1996
- WISMA FAJAR
- HOTEL MULIA Hotel, dibangun pada 1997
- HOTEL SULTAN, Dulu Hilton, dibangun 1976
- JAKARTA CONVENTION CENTER
- POMPA BENSIN SEMANGGI, Salah satu dari sekitar 36 pompa bensin di jalur hijau di Jakarta.
- SENAYAN RESIDENCE APARTEMENT
- SIMPRUG GARDEN, Perumahan
- PERMATA SENAYAN, Rumah kantor
- SIMPRUG GOLF,
2. Hutan Kota Tomang, RENCANA INDUK 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Saat itu di sana ajeg hutan kota Tomang. Kini, hutan itu berubah menjadi Mal Taman Anggrek.
- MEDITERANIAN GARDEN RESIDENCE I, Apartemen, dibangun 2002, selesai 2004
- MEDITERANIAN GARDEN RESIDENCE II, Apartemen, dijual pada 2005
- MAL TAMAN ANGGREK, Apartemen dan pusat perbelanjaan, dibuka pada 2006.
3. Pantai Kapuk, Semula lokasi ini adalah kawasan hutan bakau yang digenangi jutaan kubik air payau. Pengurukan 831 hektare wilayah itu mengakibatkan sedikitnya 16 juta meter kubik air tidak tertampung
- PANTAI INDAH KAPUK, Perumahan, dikembangkan sejak 1984
- HUTAN LINDUNG MUARA ANGKE
- PLTU MUARA KARANG, Pembangkit listrik
- KEL. PLUIT, Perumahan
- MEGA MALL PLUIT, Menggusur sebagian Ruang Terbuka Biru Waduk Pluit.
- PANTAI MUTIARA RESIDENCE, Perumahan
4. Kelapa Gading, DULU Kelapa Gading adalah wilayah persawahan dan rawa dan menjadi daerah resapan air. Kini, peruntukannya menjadi sengketa: ada yang meyakininya sebagai ruang terbuka hijau, ada yang mengatakan itu wilayah hunian. Tapi, pasti ada yang salah dalam penataan ruang di wilayah itu. Pada musibah banjir Februari 2002, di Kelapa Gading air cuma masuk rumah selutut. Pada 2007, banjir merendam hingga sebadan.
- MAL ARTHA GADING, Pusat perbelanjaan, dibangun 2005, luas tanah 60 ribu M2
- VILLA ARTHA GADING, Perumahan
- GADING KIRANA, Perumahan
- SPORT MALL KELAPA GADING, Pusat perbelanjaan, dibangun 2002
- KELAPA GADING PERMAI, Dikembangkan sejak 1976
- KELAPA GADING SQUARE, Apartemen dan perkantoran, dibangun 2003, luas 170 ribu meter persegi
- PALADIAN PARK, Apartemen
- RUMAH SAKIT MITRA KELUARGA, Beroperasi 2002.
- MAKRO Supermarket
- BUKIT GADING VILLOA, Perumahan
- UNIVERSAL SCHOOL
- KTC SHOPPING MALL
- KOMPLEK TNI-AL
- GADING MEDITERANIA RESIDENCE, Perumahan, dibangun pada 2002
- VILLA GADING INDAH
- KOMPLEK GUDANG DOLOG JAYA
- LA PIAZZA
- MAL KELAPA GADING 1, 2 , 3, Pusat perbelanjaan, mulai dibangun 1990, luas total 200 ribu meter persegi
- GADING FOOD CITY
5. Sunter, PADA buku Rencana Induk 1965-1985, wilayah ini merupakan daerah resapan air. Kini nyaris tak ada ruang terbuka hijau. Di atas sebagian lahan konservasi itu tegaklah pabrik-pabrik. Yang lainnya menjadi wilayah hunian.
- KELURAHAN SUNTER AGUNG, Terdiri dari Perumahan Sacua/Nusantara, Taman Nyiur Sunter, Taman Sunter Agung, Nirwana Sunter Asri, Sunter Garden,dan Kompleks Perumahan Pemda DKI.
- DANAU SUNTER
- PERKANTORAN
- PT TOTOYA ASTRA MOTOR, Pabrik perakitan, didirikan pada 1973
- PT DUNIA EXPRESS TRANSINDO, Didirikan pada 1990
- PT ASTRA KOMPONEN INDONESIA
- PT ASTRA DAIHATSU MOTOR-ASSY PLANT
- PT DENSO INDONESIA
(Radyan Prasetyo..)
Sumber: Majalah TEMPO Edisi. 35/XXXVI/22 - 28 Oktober 2007
Sumber: Majalah TEMPO Edisi. 35/XXXVI/22 - 28 Oktober 2007
REDUCE GLOBAL WARMING START FROM NOW!!!

(Radyan Prasetyo...)
Tidaklah sulit untuk mengurangi dampak dari adanya global warming, asal benar-benar dilakukan. Cukup dari hal yang kecil, tapi imbasnya akan besar...
I. Konsumsi Energi
II. Konsumsi Air
III. Konsumsi Sampah
Tidaklah sulit untuk mengurangi dampak dari adanya global warming, asal benar-benar dilakukan. Cukup dari hal yang kecil, tapi imbasnya akan besar...
I. Konsumsi Energi
- Matikan Komputer saat jam istirahat atau ketika libur. Pastikan tidak ada alat elektonik yang digunakan kecuali untuk darurat. Atau pastikan computer dalam keadaan stand by jika tidak digunakan untuk beberapa saat
- Gunakan lampu atau alat elektronik yang hemat energi dan matikan apabila tidak digunakan
- Gunakan tangga untuk sekedar menaiki satu atau dua lantai, sekalian berolahraga dan membiasakan jalan kaki
- Buat jadwal untuk penggunaan alat elektronik atau gunakan fungsi otomatis untuk mematikannya
- Lebih baik memanfaatkan sepeda untuk transportasi jarak dekat, sekalian bikin trend bike to work….
II. Konsumsi Air
- Pastikan menutup keran air dengan rapat dan tidak ada yang terbuang. Lakukan hal ini juga untuk mencuci piring dengan membuka keran hanya untuk membilas, termasuk saat menyikat gigi dan bercukur
- Lebih baik gunakan satu gelas tiap harinya untuk minum dan tutup jika tidak digunakan untuk menghemat pengguaan gelas dan pencuciannya
- Gunakan saja shower dengan semburan air yang sedikit tapi kuat daripada berendam satu bath thub untuk mandi
- Gunakan air hujan yang ditampung untuk keperlan bersih-bersih seperti mencuci garasi, teras dan menyiram tanaman serta tutup penampungan air hujan saat tidak digunakan,
- Manfaatkan air kurasan akuarium untuk menyiram tanaman karena mengandung banyak nitrogen dan phospat
III. Konsumsi Sampah
- Daur ulang sampah rumah tangga menjadi kompos (ini bisa menjadi bisnis yang mengasyikan loh…) atau gunakan sampah organic untuk membuat lubang resapan biopori, selain mengurangi sampah ini bisa menjadi gudang air bawah tanah,
- Hemat konsumsi kertas dengan menulis atau mencetak timbal balik di kedua sisi
- Jadikan tim kebersihan sebagai front liner untuk menjaga lingkungan jika kita semua mengadakan perhelatan
- Berbelanjalah dengan produk kemasan yang minim atau tidak berlapis-lapis untuk mengurangi volume sampah atau bawahlah tas belanja sendiri daripada memakai kantong plastik dari pasar
Senin, 25 Februari 2008
Keringnya Mata Air Kami
Tulisan ini sudah pernah dimuat di Harian Kompas tanggal 22 Maret 2006
M. Puteri Rosalina
"Air untuk minum saja kurang", keluh Agus. Keluhan Agus, anak kepala dusun Pangukrejo. Keluhan Agus adalah juga keluhan 200 keluarga yang tinggal di dusun itu. Padahal lokasi Pangukrejo, di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, di kaki Merapi itu tidak jauh dari mata air Bebeng.
Dulunya dusun ini dikelilingi banyak mata air. Air bagi penduduk dusun Pangukrejo tidak hanya digunakan untuk minum, memasak, mandi, dan mencuci. Air juga untuk menunjang usaha peternakan sapi perah dan pariwisata kawasan Kali Kuning. "Setidak-tidaknya dalam sehari, setiap keluarga membutuhkan 30 liter air," kata Agus. Kini untuk menutup kebutuhan itu, sebagian warga yang mampu membeli air dari mobil tangki. Satu tangki air-5.000 liter-dibeli dengan harga Rp 70.000. Biasanya untuk satu keluarga atau lebih, air sebanyak itu habis dalam sebulan.
Sekitar dua kilometer di bawah dusun Pangukrejo, seorang petani mengeluh. Sawahnya tak dapat ditanami padi karena tidak kebagian air dari sumber air di daerah Tanjung. "Daripada sawah kekurangan air, lebih baik ditanami rumput untuk pakan ternak," kata petani itu, yang ditemui sedang menyabit rumput, Jumat (17/3) lalu.
Itu hanya sekelumit cerita penduduk mengalami kekurangan air untuk kebutuhan air minum dan pertanian. Cerita-cerita tersebut menjadi semakin ironis karena ketiga daerah tersebut berada di kaki gunung Merapi yang dikelilingi oleh banyak sumber mata air. Menurut catatan Pemkab Sleman tahun 1979, di Kabupaten Sleman terdapat 102 mata air. Rata-rata ada dua atau tiga mata air di setiap desa.
Sekarang, kenyataannya berbeda. Ratusan mata air itu sebagian besar sudah mati. Yang tersisa hanyalah mata air Umbul Wadon, Bebeng, dan mata-mata air kecil lainnya. Umbul Wadon, satu-satunya mata air yang bisa diandalkan untuk kebutuhan air bersih penduduk Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.
Mata air mengering
Air tanah dan juga air permukaan adalah air yang berasal dari hujan (dan juga es) yangterinfiltrasi ke dalam tanah. Volume air yang masuk dan menjadi cadangan air tanah itu lebih kecil dari air yang mengalir di permukaan. Menurut Direktur Pengelolaan Air Departemen Pertanian Gatot Irianto, jika air hujan yang jatuh ke tanah 38 inci, 26 inci akan masuk ke dalam tanah. Akan tetapi, yang tersimpan sebagai cadangan air tanah hanya 6 inci. Sebanyak 20 inci akan mengalir di atas permukaan air tanah dan kembali lagi menjadi uap air. Sedangkan 10 inci mengalir di permukaan sebagai run off (air larian), dan sisanya menguap.
Faktor perubahan musim berpengaruh pada mata air. Selama musim penghujan, debit mata air akan tinggi. Permukaan air tanah cenderung naik-yang keluar sebagai mata air semakin banyak. Air tanah saat musim hujan tidak hanya berasal dari cadangan air tanah saja, tapi juga dari air hujan yang meresap masuk ke dalam tanah. Sebaliknya, saat musim kemarau debit mata air akan mengecil karena permukaan air tanah menurun.
Kata kuncinya pada infiltrasi, ungkap Gatot lagi. Jika permukaan tanah tertutup oleh bangunan, kecepatan air yang mengalir di permukaan tanah jauh lebih besar daripada yang meresap ke dalam tanah. Akibatnya, air yang masuk ke dalam tanah akan lebih kecil daripada air yang mengalir di permukaan tanah. Selanjutnya, pasokan air tanah berkurang-permukaan air tanah turun-mata air mengering.
Contohnya mata air Bebeng di dusun Pangukrejo Sleman. Mata air yang hanya digunakan untuk pertanian dan keperluan air minum masyarakat ini semakin lama debitnya semakin mengecil. Penyebabnya adalah luas daerah resapan air di kawasan Kaliurang semakin berkurang seiring dengan meningkatnya persentase lahan terbangun untuk permukiman dan pariwisata. Menurut data BPS Kabupaten Sleman, tahun 2000 luas sawah yang ada di daerah resapan air (Kecamatan Turi, Pakem, Cangkringan, Tempel, Ngemplak, sebagian Sleman, Ngaglik) adalah 10.472 hektar. Empat tahun berikutnya sudah turun menjadi 10.360 hektar. Sebaliknya luas lahan permukiman mengalami peningkatan. Tahun 2000 seluas 7.760 hektar. Tahun 2004 menjadi 7.781 hektar.
Penyebab kerusakan mata air selain berkurangnya daerah resapan air, juga dipicu oleh pengambilan air secara berlebihan, baik dari mata air secara langsung maupun melalui sumur artesis. Meski air disedot melalui sumur yang lokasinya beberapa ratus meter dari sumber mata air, tekanan pompa sumur akan lebih cepat menarik air tanah yang harusnya keluar sebagai mata air. Biasanya mata air yangdieksploitasi mempunyai debit yang besar dan digunakan diluar kepentingan pertanian dan kebutuhan air minum masyarakat.
Sumber air Sigedang dan Kapilaler di daerah Klaten, misalnya. Petani Kecamatan Pedan, Trucuk, dan Ceper mengeluh kekurangan air setelah PT Tirta Investama membangun sumur bor tepat 10 meter di atas Umbul Sigedang. Sampai sekarang masih menjadi perdebatan pengaruh keberadaan sumur bor milik industri air minum dalam kemasan tersebut terhadap ketersediaan air irigasi pertanian.
Memicu konflik
"Konflik itu sebenarnya bisa dihindari dengan sistem proportional water sharing," kata Gatot Irianto. Sistem ini akan menempatkan setiap pengguna air secara proporsional dalam hal akses, kontrol, partisipasi, kontribusi, dan manfaat. Misalnya, pertanian mendapat 50 persen dari debit air, sektor air minum serta industri 35 persen, dan sisanya untuk konservasi lingkungan.
Kekurangan air di Sleman sekarang dan konflik karena air yang pernah terjadi di Boyolali agaknya bagian dari isyarat alam, agar manusia menjaga keseimbangan lingkungan. Selagi air itu ada, berebut memanfaatkannya dapat menyulut pertikaian. Bak kata Agus, warga dusun Pangukrejo tadi: Banyu iku adem tapi panas. Air itu sejuk, tapi dapat membakar kemarahan. Hanya saja, jika mata air itu sudah kering, orang mungkin tak perlu bertikai lagi, karena manusia mungkin akan menangis sampai kering air mata.
M. Puteri Rosalina
"Air untuk minum saja kurang", keluh Agus. Keluhan Agus, anak kepala dusun Pangukrejo. Keluhan Agus adalah juga keluhan 200 keluarga yang tinggal di dusun itu. Padahal lokasi Pangukrejo, di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, di kaki Merapi itu tidak jauh dari mata air Bebeng.
Dulunya dusun ini dikelilingi banyak mata air. Air bagi penduduk dusun Pangukrejo tidak hanya digunakan untuk minum, memasak, mandi, dan mencuci. Air juga untuk menunjang usaha peternakan sapi perah dan pariwisata kawasan Kali Kuning. "Setidak-tidaknya dalam sehari, setiap keluarga membutuhkan 30 liter air," kata Agus. Kini untuk menutup kebutuhan itu, sebagian warga yang mampu membeli air dari mobil tangki. Satu tangki air-5.000 liter-dibeli dengan harga Rp 70.000. Biasanya untuk satu keluarga atau lebih, air sebanyak itu habis dalam sebulan.
Sekitar dua kilometer di bawah dusun Pangukrejo, seorang petani mengeluh. Sawahnya tak dapat ditanami padi karena tidak kebagian air dari sumber air di daerah Tanjung. "Daripada sawah kekurangan air, lebih baik ditanami rumput untuk pakan ternak," kata petani itu, yang ditemui sedang menyabit rumput, Jumat (17/3) lalu.
Itu hanya sekelumit cerita penduduk mengalami kekurangan air untuk kebutuhan air minum dan pertanian. Cerita-cerita tersebut menjadi semakin ironis karena ketiga daerah tersebut berada di kaki gunung Merapi yang dikelilingi oleh banyak sumber mata air. Menurut catatan Pemkab Sleman tahun 1979, di Kabupaten Sleman terdapat 102 mata air. Rata-rata ada dua atau tiga mata air di setiap desa.
Sekarang, kenyataannya berbeda. Ratusan mata air itu sebagian besar sudah mati. Yang tersisa hanyalah mata air Umbul Wadon, Bebeng, dan mata-mata air kecil lainnya. Umbul Wadon, satu-satunya mata air yang bisa diandalkan untuk kebutuhan air bersih penduduk Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.
Mata air mengering
Jangan salah jika menganggap mata air tidak bisa kering atau mati. Berkurangnya debit mata air Bebeng menjadi pertanda buruk suatu mata air akan kering. Mata air merupakan air tanah yang memancar keluar dari permukaan tanah karena permukaan air tanah naik. Jika permukaan air tanah turun karena pasokannya berkurang, mata air pun akan mengering.
Air tanah dan juga air permukaan adalah air yang berasal dari hujan (dan juga es) yangterinfiltrasi ke dalam tanah. Volume air yang masuk dan menjadi cadangan air tanah itu lebih kecil dari air yang mengalir di permukaan. Menurut Direktur Pengelolaan Air Departemen Pertanian Gatot Irianto, jika air hujan yang jatuh ke tanah 38 inci, 26 inci akan masuk ke dalam tanah. Akan tetapi, yang tersimpan sebagai cadangan air tanah hanya 6 inci. Sebanyak 20 inci akan mengalir di atas permukaan air tanah dan kembali lagi menjadi uap air. Sedangkan 10 inci mengalir di permukaan sebagai run off (air larian), dan sisanya menguap.
Faktor perubahan musim berpengaruh pada mata air. Selama musim penghujan, debit mata air akan tinggi. Permukaan air tanah cenderung naik-yang keluar sebagai mata air semakin banyak. Air tanah saat musim hujan tidak hanya berasal dari cadangan air tanah saja, tapi juga dari air hujan yang meresap masuk ke dalam tanah. Sebaliknya, saat musim kemarau debit mata air akan mengecil karena permukaan air tanah menurun.
Kata kuncinya pada infiltrasi, ungkap Gatot lagi. Jika permukaan tanah tertutup oleh bangunan, kecepatan air yang mengalir di permukaan tanah jauh lebih besar daripada yang meresap ke dalam tanah. Akibatnya, air yang masuk ke dalam tanah akan lebih kecil daripada air yang mengalir di permukaan tanah. Selanjutnya, pasokan air tanah berkurang-permukaan air tanah turun-mata air mengering.
Contohnya mata air Bebeng di dusun Pangukrejo Sleman. Mata air yang hanya digunakan untuk pertanian dan keperluan air minum masyarakat ini semakin lama debitnya semakin mengecil. Penyebabnya adalah luas daerah resapan air di kawasan Kaliurang semakin berkurang seiring dengan meningkatnya persentase lahan terbangun untuk permukiman dan pariwisata. Menurut data BPS Kabupaten Sleman, tahun 2000 luas sawah yang ada di daerah resapan air (Kecamatan Turi, Pakem, Cangkringan, Tempel, Ngemplak, sebagian Sleman, Ngaglik) adalah 10.472 hektar. Empat tahun berikutnya sudah turun menjadi 10.360 hektar. Sebaliknya luas lahan permukiman mengalami peningkatan. Tahun 2000 seluas 7.760 hektar. Tahun 2004 menjadi 7.781 hektar.
Penyebab kerusakan mata air selain berkurangnya daerah resapan air, juga dipicu oleh pengambilan air secara berlebihan, baik dari mata air secara langsung maupun melalui sumur artesis. Meski air disedot melalui sumur yang lokasinya beberapa ratus meter dari sumber mata air, tekanan pompa sumur akan lebih cepat menarik air tanah yang harusnya keluar sebagai mata air. Biasanya mata air yangdieksploitasi mempunyai debit yang besar dan digunakan diluar kepentingan pertanian dan kebutuhan air minum masyarakat.
Sumber air Sigedang dan Kapilaler di daerah Klaten, misalnya. Petani Kecamatan Pedan, Trucuk, dan Ceper mengeluh kekurangan air setelah PT Tirta Investama membangun sumur bor tepat 10 meter di atas Umbul Sigedang. Sampai sekarang masih menjadi perdebatan pengaruh keberadaan sumur bor milik industri air minum dalam kemasan tersebut terhadap ketersediaan air irigasi pertanian.
Memicu konflik
Berebut memanfaatkan mata air oleh berbagai pihak-masyarakat, industri, perusahaan air minum-juga dapat memicu konflik. Konflik seperti itu pernah terjadi Juli 1999 lalu antarapetani daerah Pengging dengan PDAM Kota Surakarta. Proyek PDAM Surakarta yang memanfaatkan Umbul Kenanga untuk memperbesar debit air minummendapat tentangan dari masyarakat Pengging karena dianggap mengurangi pasokan air irigasi untuk areal persawahan di delapan desa.
"Konflik itu sebenarnya bisa dihindari dengan sistem proportional water sharing," kata Gatot Irianto. Sistem ini akan menempatkan setiap pengguna air secara proporsional dalam hal akses, kontrol, partisipasi, kontribusi, dan manfaat. Misalnya, pertanian mendapat 50 persen dari debit air, sektor air minum serta industri 35 persen, dan sisanya untuk konservasi lingkungan.
Kekurangan air di Sleman sekarang dan konflik karena air yang pernah terjadi di Boyolali agaknya bagian dari isyarat alam, agar manusia menjaga keseimbangan lingkungan. Selagi air itu ada, berebut memanfaatkannya dapat menyulut pertikaian. Bak kata Agus, warga dusun Pangukrejo tadi: Banyu iku adem tapi panas. Air itu sejuk, tapi dapat membakar kemarahan. Hanya saja, jika mata air itu sudah kering, orang mungkin tak perlu bertikai lagi, karena manusia mungkin akan menangis sampai kering air mata.
Selasa, 19 Februari 2008
Prinsip Konservasi dan Kemitraan dalam Ekonomi Global Masyarakat Bantaran Sungai di Jakarta
Oleh : M. Puteri Rosalina
Latar Belakang
Peristiwa banjir di Jakarta tahun 2002 menimbulkan trauma yang mendalam bagi masyarakat Jakarta. Banjir bandang tersebut menimbulkan kerugian beratus-ratus miliar rupiah, membuat sebagian penduduk kehilangan tempat tinggal, dan membuat transportasi Jakarta lumpuh selama beberapa saat. Pemerintah Jakarta lalu menuding wilayah di daerah hulu, yaitu kawasan Puncak dan Bogor sebagai penyebab banjir tersebut. Selain itu juga menyalahkan masyarakat yang menghuni kawasan bantaran sungai telah membuang sampah sembarangan ke sungai.
Setelah peristiwa itu, berbagai pihak saling menyalahkan siapa penyebab banjir bandang sebenarnya. Di berbagai media, semua pihak berlomba untuk mengeluarkan pernyataan bahwa penyebab banjir adalah pihak A, B, atau C tanpa ada penyelesaian yang pasti. Saat itu, pemprov DKI Jakarta segera mengeluarkan aturan pembongkaran bangunan-bangunan villa di Puncak yang tidak mempunyai izin. Selain itu, bangunan-bangunan liar di bantaran sungai yang dihuni oleh masyarakat kurang mampun segera diperintahkan untuk dibongkar tanpa ada ganti rugi.
Dengan kata lain, penanganan banjir di Jakarta tahun 2002 hanya bersifat sementara saja. Beberapa bulan berikutnya, aturan-aturan tersebut kembali melunak. Bahkan sampah masih saja menggunung di pintu air-pintu air.
Meski pemprov DKI Jakarta terkesan tidak serius menangani banjir di Jakarta, ada beberapa kelompok masyarakat yang berusaha untuk mencegah terjadinya banjir. Seperti misalnya, seperti yang diberitakan Kompas, 15 Desember 2006, LSM peduli lingkungan memberdayakan para wanita yang tinggal di bantaran sungai untuk menerapkan hidup bersih dan sehat. Caranya dengan tidak membuang sampah lagi di sungai dan menjadikan sungai sebagai sarana MCK (mandi, cuci, kakus). Sampah dari masing-masing rumah tangga disarankan untuk dipilah-pilah berdasarkan jenisnya dan dikumpulkan pada satu tempat.
Selain itu, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak tinggal di bantaran sungai, mencoba mendaur-ulang sampah menjadi barang-barang yang berguna. Bahkan beberapa wilayah di Jakarta sudah mencoba mengolah limbah rumah tangganya sendiri.
Untuk mencegah banjir, saat musim penghujan tiba, beberapa wilayah yang rawan banjir berusaha untuk membersihkan saluran-saluran air dan lingkungan. Bahkan masyarakat yang tadinya tinggal di bantaran sungai dengan sukarela mau pindah ke rumah susun yang telah disediakan sebagai bentuk upaya ikut menanggulangi banjir Jakarta.
Hasilnya cukup memuaskan. Meski banjir tahunan tetap saja terjadi di beberapa wilayah, tetapi resikonya bisa diminimalisir. Sedangkan pemerintah, meski usaha pencegahan banjir yang dilakukan cenderung seragam dari tahun ke tahun, juga bisa mengurangi resiko banjir yang terjadi. Setiap tahun, pemprov DKI Jakarta hanya melakukan normalisasi sungai dengan pengerukan sedimentasi dan meneruskan proyek pembangunan Banjir Kanal Timur yang tertunda bertahun-tahun.
Permasalahan
Globalisasi ekonomi yang mengadopsi ajaran kapitalisme yang selalu mencari keuntungan sebesar-besarnya, telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Hutan dibabat untuk diambil hasil kayu sebanyak-banyaknya. Kawasan konservasi yang telah ditetapkan sebagai daerah resapan air, dimanfaatkan untuk areal perumahan. Air tanah dieksploitasi berlebihan untuk konsumsi manusia. Limbah rumah tangga dan pabrik dengan seenaknya dibuang ke sungai ataupun laut sehingga menimbulkan pencemaran. Semua kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan semata hanya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa harus mengeluarkan biaya besar.
Bahkan beberapa hal yang dulunya tidak dijual dan merupakan hak asasi manusia karena kapitalisme telah berubah fungsi. Misalnya sumber daya alam udara dan air, pendidikan, kesehatan, kebudayaan telah menjadi komoditas yang diberi label harga dan siap diperjualbelikan.
Namun agaknya setelah kenyang dengan semua kerusakan lingkungan, sebagian masyarakat mulai menyadari dampak negatif dari globalisasi ekonomi. Mereka berusaha untuk keluar dari sistem yang ada. Meski sulit dan mendapat banyak tantangan dari pihak-pihak yang masih menerapkan kapitalisme. Akan tetapi, justru mendapat dukungan dari masyarakat yang tertindas karena kapitalisme. Misalnya masyarakat yang tinggal di bantaran sungai.
Ada dua versi yang menyatakan usaha-usaha pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Versi pertama menyebutkan usaha tersebut merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap kaum-kaum kapitalis yang telah menyengsarakan mereka. Namun versi lain menyebutkan usaha tersebut adalah cikal bakal kapitalisme yang adaptif terhadap lingkungan.
Di luar semua anggapan tersebut, sekarang telah banyak berkembang usaha-usaha pelestarian lingkungan dan konservasi dari berbagai kalangan masyarakat di dunia. Tujuan utama gerakan tersebut hanya ingin menjaga seluruh sumber daya alam supaya bisa diwariskan pada anak cucu kelak.
Sejak Kapan Manusia Melakukan Perusakan Terhadap Alam?
Selama kurang lebih satu abad, manusia mulai menyadari bahwa berada dalam proses kehancuran alam. Alam yang telah diciptakan Tuhan sebagai satu-satunya habitat untuk hidup telah rusak. Pelaku perusakannya tidak lain adalah manusia sendiri. Sejak kapan manusia melakukan perusakan terhadap alam?
Romo Frans Magnis Suseno dalam buku “Berfilsafat Dari Konteks” menyebutkan, perusakan lingkungan bukan sekedar nafsu manusia modern yang memanfaatkan alam untuk meningkatkan konsumsi. Akan tetapi berdasarkan sebuah legitimasi teologis. Berabad-abad lamanya, manusia Barat mengeksploitasi alam berdasarkan anggapan bahwa tindakannya telah dibenarkan oleh Tuhan. Dalam Kitab Kejadian 1:28, disebutkan “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”.
Perintah Tuhan itu ternyata oleh manusia modern diartikan sebagai sebuah perintah resmi untuk menjadikan diri penguasa mutlak atas seluruh alam. Kekuasaan itu lantas diartikan sebagai wewenang untuk memanfaatkan alam habis-habisan. Perintah Tuhan yang tertera dalam kitab suci perjanjian lama tersebut dijadikan sebuah dasar ideologi yang mensahkan manusia menjadikan seluruh dunia sebagai alat untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Namun menurut Hobsbawm dalam Sanderson (2003:200), perusakan lingkungan oleh manusia baru dimulai sejak revolusi industri di Inggris pada abad 15. Dalam bukunya Industry and Empire, dia menyebutkan kota-kota pabrik di Inggris penuh dengan asap yang menyesakkan dan menimbulkan pencemaran. Pelayanan masyarakat yang mendasar seperti persediaan air, sanitasi, kebersihan jalan, udara bersih tidak sebanding dengan migrasi yang terjadi. Pencemaran selain udara juga pencemaran air yang menyebabkan timbul wabah penyakit seperti kolera dan tipus serta penyakit saluran pernapasan dan usus. Korban berjatuhan.
Cerita Hobsbawm ini sesuai dengan pernyataan Gorz (2005:17), masyarakat industri telah menjarah secara membabi-buta cadangan sumber daya alam untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Marx (2002) menyebutkan, revolusi industri sebagai awal dimulainya kapitalisme.
Suseno (1991:227), sepaham dengan Gorz dan Hobsbawm, bahwa ekonomi kapitalistik telah merusak lingkungan. Dalam ekonomi kapitalistik tujuan produksi adalah laba perusahaan. Laba menjami bahwa sebuah perusahaan dapat mempertahankan diri dalam alam saingan bebas. Untuk meningkatkan laba, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin. Oleh karena itu ekonomi modern condong untuk mengeksploitasi kekayaan alam dengan semudah mungkin, tanpa memikirkan akibat bagi alam sendiri dan tanpa usaha untuk memulihkannya.
Namun Suseno juga menyebutkan, ekonomi sosialisme juga punya andil untuk merusak lingkungan. Bahkan lebih parah. Paham sosialisme selalu direalisasikan di bawah seorang pemimpin diktator yang tidak peduli pada kehendak masyarakat. Masyarakat tidak berani mengajukan protes. Industrialisasi dipaksakan tanpa perhatian pada kesehatan masyarakat.
Kesalahan Sikap Dasar Manusia Terhadap Perusakan Alam (1991:226)
Magnis Suseno mencoba untuk merumuskan akar kesalahan dasar sikap manusia terhadap perusakan alam:
1. Sikap Teknokratis
Pola pendekatan manusia modern terhadap alam dapat disebut teknokratis. Artinya manusia memandang alam sebagai obyek penguasaan. Alam menjadi sekedar sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dianggap tambang kekayaan dan energi yang perlu dimanfaatkan dan dieksploitasi.
2. Sikap Manusia terhadap lingkungan
Sikap dasar ini terlihat dalam cara manusia bersikap terhadap lingkungannya. Sikap tersebut merupakan ciri khas seluruh perekonomian modern maupun sikap manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak Kapan Manusia Mulai Bersikap Ekologis?
Sebelum mengetahui sejak kapan manusia mulai bersikap ekologis, harus diketahui dulu pengertian masyarakat berwawasan ekologi. Aoshima (1999), menyebutkan ada 3 definisi masyarakat berwawasan ekologi:
1. Sebuah masyarakat yang peduli terhadap sinar matahari, udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan hijau, dan karunia-karunia alam lainnya.
2. Sebuah masyarakat yang mengendalikan konsumsi sumber-sumber alam dan energi secara massal dan berusaha mendaur-ulang menggunakan sumber-sumber alam secara efektif.
3. Sebuah masyarakat yang berusaha kembali ke alam dengan membuang sampah yang telah diolah atau didaur-ulang untuk memperkecil beban lingkungan.
Pendekatan ekologis, menurut Budiarjo (1999), sudah sejak dahulu dilakukan secara turun-temurun oleh nenek moyang dengan dasar agama, kepercayaan, atau mitos. Misalnya keengganan orang Jawa untuk menebang pohon besar karena percaya pohon itu ada yang menunggu yaitu makhluk halus. Bila ada yang berani menebangnya, diyakini bahwa orang yang menebangnya akan kesambet (kesurupan). Sikap dan perilaku yang didasari oleh kepercayaan tersebut, bila dikaji secara ilmiah sebetulnya memiliki nilai yang tinggi dari sudut pandang ekologis. Pasalnya, keberadaan pohon besar yang tua dan rindang tersebut tidak hanya memberi keteduhan, menyegarkan karena mengubah CO2 menjadi O2, mengurangi panas, menahan longsor, dan berperan dalam penyerapan air tanah.
Namun menurut Gorz (2005:17), masyarakat mulai menyadari bahwa kapitalisme yang selalu mencari keuntungan berdampak negatif pada kerusakan lingkungan melalui eksploitasi sumber daya alam. Dalam kurun waktu dua dasawarsa, fokus yang menjadi pembahasan dunia mengenai lingkungan mengarah pada kerusakan ozon, pemanasan global, dan hujan asam. Saat konsep kapitalisme yang menggunakan prinsip perolehan keuntungan secara efektif dan efisien berlaku, lingkungan dibiarkan menjadi ajang pertaruhan kapitalisme.
Sebelumnya masyarakat dunia percaya bahwa persediaan air tawar di bumi ini sifatnya tidak terbatas karena adanya daur hidrologi. Namun asumsi ini menurut Barlow dan Clarke (2005) salah. Persediaan air tawar berjumlah kurang dari setengah dari satu persen jumlah air di bumi. Sisanya adalah air laut, es yang beku di kutub utara dan selatan, atau air yang tersimpan di dalam tanah yang tidak dapat diakses oleh manusia. Manusia telah mengeksploitasi dan mencemari sumber daya air tawar di bumi secara besar-besaran.
Bencana kekeringan dan kekurangan air telah terjadi di seluruh dunia. Barlow dan Clarke (2005) menyebutkan, di Cina, pada tahun 1997, air sungai Kuning tidak bisa mengalir ke laut karena debitnya berkurang. Permukaan air tanah di Utara daratan Cina turun hingga 1,5 meter setiap tahunnya.
Menurut Marq de Villiers dalam Barlow dan Clarke (2005), sebanyak 22 negara Afrika tidak bisa menyediakan air untuk seluruh penduduk. Bahkan di India telah terjadi penurunan permukaan air tanah karena eksploitasi air tanah yang berlebihan.
Di Indonesia, meskipun Budiarjo (1999) mempercayai bahwa nenek moyang sudah mulai bersikap ekologis. Akan tetapi kenyataannya setelah tingkat perekonomian Indonesia mulai meningkat, sikap-sikap ekologis tersebut mulai luntur. Setiap tahun terjadi kerusakan hutan … hektar karena ilegal logging dan pembakaran (Kompas,…..). Ancaman pencemaran air dan udara terus meningkat di kota-kota besar. Kawasan-kawasan konservasi daerah resapan air mulai dibangun untuk areal permukiman komersial.
Akibatnya, bencana-bencana alam terus terjadi di Indonesia. Saat musim kemarau, bencana kekeringan mulai menyerang beberapa wilayah karena sungai, waduk, danau mulai mengering. Kuantitas air tanah juga mulai berkurang, sehingga sebagian masyarakat mengeluh kekurangan air . Bencana kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan juga menjadi agenda rutin setiap musim kemarau tiba. Sebaliknnya saat musim penghujan, bencana banjir dan tanah longsor silih berganti terjadi.
Prinsip Konservasi dan Kemitraan dalam Ekonomi Global
Menurut Gorz (2005), kecenderungan untuk memandang lingkungan sebagai bagian integral dari konsep pembangunan adalah sesuatu yang tidak baru lagi. Konvensi yang memberikan dasar yang kuat bagi pendekatan pembangunan berbasis lingkungan mulai bermunculan. Seperti Konvensi Air Global tahun 2003 yang melindungi persediaan air dunia (Barlow dan Clarke, 2005), Vienna Convention tahun 1985 dan Montreal Protocol (1989) tentang strategi penanggulangan masalah ozon (….). Agenda Hijau yang merupakan fokus pembahasan kerusakan lingkungan global:kerusakan lapisan ozon, pemanasan global, dan hujan asam (Aoshima,2003).
Dari berbagai konvensi dan perjanjian lingkungan tersebut sudah banyak terjawab permasalahan mengenai efek negatif yang harus diemban dalam konsep pembangunan. Tapi kelihatannya pendekatan lingkungan menjadi terbelakang di tengah arus deras pembangunan yang mulai bergeser ke arah globalisasi.
Menurut Barlow dan Clarke (2005:100), globalisasi ekonomi merupakan sebuah sistem yang didasari oleh kepercayaan bahwa sebuah ekonomi global dengan peraturan universal yang dibuat oleh korporasi dan pasar finansial adalah hal yang tidak dapat dihindari.
Namun, Inoguchi, Newman dan Paoletto (2003) percaya bahwa penggunaan energi, konsumsi, produksi, kebebasan individu, dan perusahaan dalam pasar bebas dapat diselaraskan dengan lingkungan. Hal ini tergantung pada komitmen masyarakat akan ekologi yang berkelanjutan. Masyarakat mulai merasakan adanya kebutuhan untuk mengurangi pencemaran udara dan air, mengurangi volume sampah, mengatur sistem air, serta mengembangkan sistem transportasi yang efisien dan adil bagi seluruh masyarakat. Semuanya bertujuan untuk mengurangi bencana akibat kemurkaan alam (Inoguchi, Newman dan Paoletto,2003).
Aoshima (2003) menyebutkan ada tiga prinsip untuk memecahkan masalah kerusakan lingkungan:
1. Prinsip Aksi
Jaringan kerja sama internasional dianggap penting dalam kaitannya dengan berbagai usaha untuk mengatasi masalah lingkungan.
2. Prinsip Respons Komprehensif
Penting sekali mempelajari permasalahan secara ilmiah dan menciptakan sebuah kebijakan yang komprehensif.
3. Prinsip Kemitraan
Permasalahan lingkungan sangat sulit dan berskala global. Diperlukan kemitraan jaringan kerjasama dan persekutuan diantara kota-kota dunia dan PBB, LSM, dan masyarakat.
Setelah terjadi kerusakan lingkungan di berbagai tempat yang menimbulkan kerugian bagi manusia, Gorz (2005) menyebutkan diperlukan bentuk perlawanan massif bagi proyek pembangunan yang kapitalistik. Diantaranya yang pernah dilakukan oleh sejumlah gerakan sosial untuk melakukan pengorganisasian masyarakat sipil yang tertindas oleh proyek globalisasi. Gerakan sosial baru kini mulai menempatkan permasalahan lingkungan sebagai sebuah prioritas penting. Juga diperlukan rumusan gagasan alternatif yang bisa mendorong terbentuknya kesadaran perlawanan yang kritis.
Analisis
Usaha-usaha pencegahan dan penanggulangan banjir yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di bantaran sungai Jakarta bisa dikatakan merupakan bentuk perlawanan terhadap globalisasi ekonomi.
Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai merupakan masyarakat korban kapitalisme. Mereka adalah golongan menengah ke bawah yang terpaksa pindah ke kota untuk mengadu nasib mencari penghasilan yang bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Namun karena tingkat pendidikan yang rendah, membuat mereka tidak bisa bersaing dalam pasar kerja. Mereka hanya bisa bekerja pada sektor-sektor informal yang tingkat penghasilannya sangat rendah. Lokasi permukiman yang bisa terjangkau pun hanya di bantaran sungai dan bawah jembatan saja.
Penghuni bantaran sungai lainnya adalah masyarakat korban gusuran. Dulunya masyarakat tersebut bertempat tinggal pada suatu areal kosong yang tidak berpenghuni dan sudah bertahun-tahun kosong (lahan tidur). Namun karena perkembangan ekonomi suatu wilayah, lahan tersebut dianggap menjadi hak milik pihak swasta. Pihak swasta menggunakan areal tersebut menjadi pusat perdagangan (mal), apartemen, atau kawasan bisnis komersial lainnya.
Jelas masyarakat yang tadinya tinggal di lokasi tersebut harus rela pergi karena memang tidak memiliki surat-surat resmi. Ataupun jika sudah memiliki surat-surat resmi tidak diakui oleh pemerintah. Mereka hanya mendapat ganti rugi yang sangat sedikit. Pilihan untuk bertempat tinggal jatuh pada daerah bantaran sungai ataupun bawah jembatan.
Bertempat tinggal di bantaran sungai tidak mendapat fasilitas resmi dari pemerintah, seperti listrik, sarana pembuangan sampah, dan air bersih. Alhasil mereka mencoba mengelola sendiri semua fasilitas-fasilitas tersebut. Meski bertempat tinggal di bantaran sungai, bukan berarti mereka tidak menjaga kebersihan lingkungan sungai. Dengan kesadaran masing-masing pribadi, mereka mencoba mengumpulkan sampah pada suatu tempat dan meminta Dinas Kebersihan DKI Jakarta untuk mengambilnya setiap hari.
Mereka tahu dan sadar jika sampah dibuang ke sungai akan menimbulkan banjir. Selanjutnya akan semakin menyusahkan kehidupan mereka. Tumpukan sampah yang dibuang ke sungai atau pinggir sungai akan menimbulkan bau yang sangat menyengat sehingga membuat kehidupan tidak nyaman.
Tidak hanya mengumpulkan sampah, mereka juga mencoba untuk membersihkan sampah-sampah yang ada di sungai dengan peralatan sekedarnya. Bahkan cenderung membahayakan mereka karena tidak menggunakan bantuan alat mekanis.
Semua tindakan tersebut dilakukan oleh masyarakat bantaran sungai sebagai usaha untuk mencegah terjadinya banjir yang rutin terjadi setiap tahun. Selain itu secara tidak langsung mereka mulai sadar akan pentingnya kebersihan lingkungan bagi kesehatan dan keberlangsungan lingkungan hidup di Jakarta.
Tindakan masyarakat di bantaran sungai tersebut difasilitasi oleh sejumlah LSM yang peduli terhadap lingkungan. Sebetulnya LSM tersebut sudah berupaya untuk mengajak pemprov DKI Jakarta supaya lebih memperhatikan penanganan dan pencegahan banjir Jakarta. Namun karena pemerintah lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan kapitalistik, kegiatan menjaga lingkungan dilupakan.
Usaha yang dilakukan oleh masyarakat bantaran sungai difasilitasi oleh LSM peduli lingkungan merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap globalisasi ekonomi. Mereka mulai sadar bahwa ekonomi kapitalis sudah merugikan lingkungan. Seperti munculnya banjir rutin setiap tahun. Mereka hanya tidak mau kegiatan ekonomi kapitalis akan semakin membuat lingkungan rusak.
Kegiatan masyarakat berwawasan ekologis berkelanjutan seperti masyarakat bantaran sungai tidak hanya itu. Sebagian masyarakat perkotaan sudah mulai melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan daur-ulang, pengurangan pencemaran, serta hemat energi.
Pengelolaan Sampah
Sampah merupakan masalah besar di perkotaan. Ketika jumlah penduduk semakin meningkat, sampah yang dihasilkan oleh masing-masing individu juga semakin banyak. Lahan untuk pembuangan akhir sampah yang tersedia sudah tidak mencukupi lagi. Selain itu pencemaran udara akibat bau yang ditimbulkan sampah serta pencemaran air tanah juga menjadi masalah yang saling berkaitan.
Sebagian besar masyarakat mulai menyadari hal tersebut. Mereka mencoba memilah-milah antara sampah organik yang bisa diolah lagi dan anorganik yang tidak bisa diolah. Selanjutnya sampah organik didaur-ulang menjadi barang-barang yang berguna lagi. Dan sampah anorganik di buang ke TPA sampah. Setidaknya hal ini mengurangi produksi sampah yang menumpuk di TPA.
Sebenarnya tindakan masyarakat ini bukan merupakan tindakan perlawanan terhadap globalisasi ekonomi. Tindakan tersebut merupakan suatu bentuk usaha kapitalisme yang adapatif terhadap rintangan-rintangan ekologi. Pasalnya sampah organik yang bisa didaurulang dijual lagi kepada masyarakat supaya mendapat nilai tambah. Masih ada unsur menambah atau mencari keuntungan dari kegiatan pengelolaan sampah.
Pengurangan Pencemaran
Polutan merupakan hasil pencemaran. Polutan yang paling berbahaya adalah yang dihasilkan oleh emisi industri dan gas buangan kendaraan bermotor. Kali ini pemerintah punya andil besar terhadap pengurangan polutan berbahaya tersebut. Caranya dengan mengeluarkan baku mutu emisi pencemaran dengan standar tertentu. Jika di suatu wilayah polutan-polutan yang dihasilkan sudah melewati batas yang ditetapkan, segera mengeluarkan peraturan pembatasan kendaraan bermotor.
Aturan ini direspons oleh sebagian masyarakat dengan kampanye bersepeda ke kantor atau yang lebih dikenal dengan istilah bike to work. Dengan alasan mengurangi pencemaran udara di Jakarta, kelompok tersebut mengajak masyarakat untuk mengendarai sepeda ke kantor. Meski hasilnya belum begitu signifikan, setidaknya usaha mereka patut diacungi jempol.
Usaha pemerintah tersebut dan kelompok bike to work, merupakan salah satu bentuk tindakan untuk melakukan konservasi atau pelestarian terhadap lingkungan.
Kesimpulan
Di tengah globalisasi ekonomi yang masih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran kapitalisme, masih ada beberapa kelompok masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat yang peduli terhadap lingkungan. Mereka mencoba melakukan usaha pelestarian atau konservasi dengan tindakan-tindakan ekologis karena merasa menderita karena kerusakan alam.
Mereka sudah lelah hidup dalam pengaruh kapitalisme yang terus merusak lingkungan. Padahal masih berkeyakinan bahwa lingkungan alam harus dipelihara supaya bisa diwariskan pada anak cucu. Jika alam rusak, generasi selanjutnya tidak bisa hidup di alam ini.
Salah satu kegiatan ekologis masyarakat adalah usaha pencegahan dan penanggulangan banjir oleh masyarakat bantaran sungai. Meski merupakan bentuk perlawanan terhadap globalisasi ekonomi, mereka masih berupaya untuk melakukan prinsip konservasi dan kemitraan dalam ekonomi global.
Latar Belakang
Peristiwa banjir di Jakarta tahun 2002 menimbulkan trauma yang mendalam bagi masyarakat Jakarta. Banjir bandang tersebut menimbulkan kerugian beratus-ratus miliar rupiah, membuat sebagian penduduk kehilangan tempat tinggal, dan membuat transportasi Jakarta lumpuh selama beberapa saat. Pemerintah Jakarta lalu menuding wilayah di daerah hulu, yaitu kawasan Puncak dan Bogor sebagai penyebab banjir tersebut. Selain itu juga menyalahkan masyarakat yang menghuni kawasan bantaran sungai telah membuang sampah sembarangan ke sungai.
Setelah peristiwa itu, berbagai pihak saling menyalahkan siapa penyebab banjir bandang sebenarnya. Di berbagai media, semua pihak berlomba untuk mengeluarkan pernyataan bahwa penyebab banjir adalah pihak A, B, atau C tanpa ada penyelesaian yang pasti. Saat itu, pemprov DKI Jakarta segera mengeluarkan aturan pembongkaran bangunan-bangunan villa di Puncak yang tidak mempunyai izin. Selain itu, bangunan-bangunan liar di bantaran sungai yang dihuni oleh masyarakat kurang mampun segera diperintahkan untuk dibongkar tanpa ada ganti rugi.
Dengan kata lain, penanganan banjir di Jakarta tahun 2002 hanya bersifat sementara saja. Beberapa bulan berikutnya, aturan-aturan tersebut kembali melunak. Bahkan sampah masih saja menggunung di pintu air-pintu air.
Meski pemprov DKI Jakarta terkesan tidak serius menangani banjir di Jakarta, ada beberapa kelompok masyarakat yang berusaha untuk mencegah terjadinya banjir. Seperti misalnya, seperti yang diberitakan Kompas, 15 Desember 2006, LSM peduli lingkungan memberdayakan para wanita yang tinggal di bantaran sungai untuk menerapkan hidup bersih dan sehat. Caranya dengan tidak membuang sampah lagi di sungai dan menjadikan sungai sebagai sarana MCK (mandi, cuci, kakus). Sampah dari masing-masing rumah tangga disarankan untuk dipilah-pilah berdasarkan jenisnya dan dikumpulkan pada satu tempat.
Selain itu, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak tinggal di bantaran sungai, mencoba mendaur-ulang sampah menjadi barang-barang yang berguna. Bahkan beberapa wilayah di Jakarta sudah mencoba mengolah limbah rumah tangganya sendiri.
Untuk mencegah banjir, saat musim penghujan tiba, beberapa wilayah yang rawan banjir berusaha untuk membersihkan saluran-saluran air dan lingkungan. Bahkan masyarakat yang tadinya tinggal di bantaran sungai dengan sukarela mau pindah ke rumah susun yang telah disediakan sebagai bentuk upaya ikut menanggulangi banjir Jakarta.
Hasilnya cukup memuaskan. Meski banjir tahunan tetap saja terjadi di beberapa wilayah, tetapi resikonya bisa diminimalisir. Sedangkan pemerintah, meski usaha pencegahan banjir yang dilakukan cenderung seragam dari tahun ke tahun, juga bisa mengurangi resiko banjir yang terjadi. Setiap tahun, pemprov DKI Jakarta hanya melakukan normalisasi sungai dengan pengerukan sedimentasi dan meneruskan proyek pembangunan Banjir Kanal Timur yang tertunda bertahun-tahun.
Permasalahan
Globalisasi ekonomi yang mengadopsi ajaran kapitalisme yang selalu mencari keuntungan sebesar-besarnya, telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Hutan dibabat untuk diambil hasil kayu sebanyak-banyaknya. Kawasan konservasi yang telah ditetapkan sebagai daerah resapan air, dimanfaatkan untuk areal perumahan. Air tanah dieksploitasi berlebihan untuk konsumsi manusia. Limbah rumah tangga dan pabrik dengan seenaknya dibuang ke sungai ataupun laut sehingga menimbulkan pencemaran. Semua kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan semata hanya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa harus mengeluarkan biaya besar.
Bahkan beberapa hal yang dulunya tidak dijual dan merupakan hak asasi manusia karena kapitalisme telah berubah fungsi. Misalnya sumber daya alam udara dan air, pendidikan, kesehatan, kebudayaan telah menjadi komoditas yang diberi label harga dan siap diperjualbelikan.
Namun agaknya setelah kenyang dengan semua kerusakan lingkungan, sebagian masyarakat mulai menyadari dampak negatif dari globalisasi ekonomi. Mereka berusaha untuk keluar dari sistem yang ada. Meski sulit dan mendapat banyak tantangan dari pihak-pihak yang masih menerapkan kapitalisme. Akan tetapi, justru mendapat dukungan dari masyarakat yang tertindas karena kapitalisme. Misalnya masyarakat yang tinggal di bantaran sungai.
Ada dua versi yang menyatakan usaha-usaha pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Versi pertama menyebutkan usaha tersebut merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap kaum-kaum kapitalis yang telah menyengsarakan mereka. Namun versi lain menyebutkan usaha tersebut adalah cikal bakal kapitalisme yang adaptif terhadap lingkungan.
Di luar semua anggapan tersebut, sekarang telah banyak berkembang usaha-usaha pelestarian lingkungan dan konservasi dari berbagai kalangan masyarakat di dunia. Tujuan utama gerakan tersebut hanya ingin menjaga seluruh sumber daya alam supaya bisa diwariskan pada anak cucu kelak.
Sejak Kapan Manusia Melakukan Perusakan Terhadap Alam?
Selama kurang lebih satu abad, manusia mulai menyadari bahwa berada dalam proses kehancuran alam. Alam yang telah diciptakan Tuhan sebagai satu-satunya habitat untuk hidup telah rusak. Pelaku perusakannya tidak lain adalah manusia sendiri. Sejak kapan manusia melakukan perusakan terhadap alam?
Romo Frans Magnis Suseno dalam buku “Berfilsafat Dari Konteks” menyebutkan, perusakan lingkungan bukan sekedar nafsu manusia modern yang memanfaatkan alam untuk meningkatkan konsumsi. Akan tetapi berdasarkan sebuah legitimasi teologis. Berabad-abad lamanya, manusia Barat mengeksploitasi alam berdasarkan anggapan bahwa tindakannya telah dibenarkan oleh Tuhan. Dalam Kitab Kejadian 1:28, disebutkan “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”.
Perintah Tuhan itu ternyata oleh manusia modern diartikan sebagai sebuah perintah resmi untuk menjadikan diri penguasa mutlak atas seluruh alam. Kekuasaan itu lantas diartikan sebagai wewenang untuk memanfaatkan alam habis-habisan. Perintah Tuhan yang tertera dalam kitab suci perjanjian lama tersebut dijadikan sebuah dasar ideologi yang mensahkan manusia menjadikan seluruh dunia sebagai alat untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Namun menurut Hobsbawm dalam Sanderson (2003:200), perusakan lingkungan oleh manusia baru dimulai sejak revolusi industri di Inggris pada abad 15. Dalam bukunya Industry and Empire, dia menyebutkan kota-kota pabrik di Inggris penuh dengan asap yang menyesakkan dan menimbulkan pencemaran. Pelayanan masyarakat yang mendasar seperti persediaan air, sanitasi, kebersihan jalan, udara bersih tidak sebanding dengan migrasi yang terjadi. Pencemaran selain udara juga pencemaran air yang menyebabkan timbul wabah penyakit seperti kolera dan tipus serta penyakit saluran pernapasan dan usus. Korban berjatuhan.
Cerita Hobsbawm ini sesuai dengan pernyataan Gorz (2005:17), masyarakat industri telah menjarah secara membabi-buta cadangan sumber daya alam untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Marx (2002) menyebutkan, revolusi industri sebagai awal dimulainya kapitalisme.
Suseno (1991:227), sepaham dengan Gorz dan Hobsbawm, bahwa ekonomi kapitalistik telah merusak lingkungan. Dalam ekonomi kapitalistik tujuan produksi adalah laba perusahaan. Laba menjami bahwa sebuah perusahaan dapat mempertahankan diri dalam alam saingan bebas. Untuk meningkatkan laba, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin. Oleh karena itu ekonomi modern condong untuk mengeksploitasi kekayaan alam dengan semudah mungkin, tanpa memikirkan akibat bagi alam sendiri dan tanpa usaha untuk memulihkannya.
Namun Suseno juga menyebutkan, ekonomi sosialisme juga punya andil untuk merusak lingkungan. Bahkan lebih parah. Paham sosialisme selalu direalisasikan di bawah seorang pemimpin diktator yang tidak peduli pada kehendak masyarakat. Masyarakat tidak berani mengajukan protes. Industrialisasi dipaksakan tanpa perhatian pada kesehatan masyarakat.
Kesalahan Sikap Dasar Manusia Terhadap Perusakan Alam (1991:226)
Magnis Suseno mencoba untuk merumuskan akar kesalahan dasar sikap manusia terhadap perusakan alam:
1. Sikap Teknokratis
Pola pendekatan manusia modern terhadap alam dapat disebut teknokratis. Artinya manusia memandang alam sebagai obyek penguasaan. Alam menjadi sekedar sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dianggap tambang kekayaan dan energi yang perlu dimanfaatkan dan dieksploitasi.
2. Sikap Manusia terhadap lingkungan
Sikap dasar ini terlihat dalam cara manusia bersikap terhadap lingkungannya. Sikap tersebut merupakan ciri khas seluruh perekonomian modern maupun sikap manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak Kapan Manusia Mulai Bersikap Ekologis?
Sebelum mengetahui sejak kapan manusia mulai bersikap ekologis, harus diketahui dulu pengertian masyarakat berwawasan ekologi. Aoshima (1999), menyebutkan ada 3 definisi masyarakat berwawasan ekologi:
1. Sebuah masyarakat yang peduli terhadap sinar matahari, udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan hijau, dan karunia-karunia alam lainnya.
2. Sebuah masyarakat yang mengendalikan konsumsi sumber-sumber alam dan energi secara massal dan berusaha mendaur-ulang menggunakan sumber-sumber alam secara efektif.
3. Sebuah masyarakat yang berusaha kembali ke alam dengan membuang sampah yang telah diolah atau didaur-ulang untuk memperkecil beban lingkungan.
Pendekatan ekologis, menurut Budiarjo (1999), sudah sejak dahulu dilakukan secara turun-temurun oleh nenek moyang dengan dasar agama, kepercayaan, atau mitos. Misalnya keengganan orang Jawa untuk menebang pohon besar karena percaya pohon itu ada yang menunggu yaitu makhluk halus. Bila ada yang berani menebangnya, diyakini bahwa orang yang menebangnya akan kesambet (kesurupan). Sikap dan perilaku yang didasari oleh kepercayaan tersebut, bila dikaji secara ilmiah sebetulnya memiliki nilai yang tinggi dari sudut pandang ekologis. Pasalnya, keberadaan pohon besar yang tua dan rindang tersebut tidak hanya memberi keteduhan, menyegarkan karena mengubah CO2 menjadi O2, mengurangi panas, menahan longsor, dan berperan dalam penyerapan air tanah.
Namun menurut Gorz (2005:17), masyarakat mulai menyadari bahwa kapitalisme yang selalu mencari keuntungan berdampak negatif pada kerusakan lingkungan melalui eksploitasi sumber daya alam. Dalam kurun waktu dua dasawarsa, fokus yang menjadi pembahasan dunia mengenai lingkungan mengarah pada kerusakan ozon, pemanasan global, dan hujan asam. Saat konsep kapitalisme yang menggunakan prinsip perolehan keuntungan secara efektif dan efisien berlaku, lingkungan dibiarkan menjadi ajang pertaruhan kapitalisme.
Sebelumnya masyarakat dunia percaya bahwa persediaan air tawar di bumi ini sifatnya tidak terbatas karena adanya daur hidrologi. Namun asumsi ini menurut Barlow dan Clarke (2005) salah. Persediaan air tawar berjumlah kurang dari setengah dari satu persen jumlah air di bumi. Sisanya adalah air laut, es yang beku di kutub utara dan selatan, atau air yang tersimpan di dalam tanah yang tidak dapat diakses oleh manusia. Manusia telah mengeksploitasi dan mencemari sumber daya air tawar di bumi secara besar-besaran.
Bencana kekeringan dan kekurangan air telah terjadi di seluruh dunia. Barlow dan Clarke (2005) menyebutkan, di Cina, pada tahun 1997, air sungai Kuning tidak bisa mengalir ke laut karena debitnya berkurang. Permukaan air tanah di Utara daratan Cina turun hingga 1,5 meter setiap tahunnya.
Menurut Marq de Villiers dalam Barlow dan Clarke (2005), sebanyak 22 negara Afrika tidak bisa menyediakan air untuk seluruh penduduk. Bahkan di India telah terjadi penurunan permukaan air tanah karena eksploitasi air tanah yang berlebihan.
Di Indonesia, meskipun Budiarjo (1999) mempercayai bahwa nenek moyang sudah mulai bersikap ekologis. Akan tetapi kenyataannya setelah tingkat perekonomian Indonesia mulai meningkat, sikap-sikap ekologis tersebut mulai luntur. Setiap tahun terjadi kerusakan hutan … hektar karena ilegal logging dan pembakaran (Kompas,…..). Ancaman pencemaran air dan udara terus meningkat di kota-kota besar. Kawasan-kawasan konservasi daerah resapan air mulai dibangun untuk areal permukiman komersial.
Akibatnya, bencana-bencana alam terus terjadi di Indonesia. Saat musim kemarau, bencana kekeringan mulai menyerang beberapa wilayah karena sungai, waduk, danau mulai mengering. Kuantitas air tanah juga mulai berkurang, sehingga sebagian masyarakat mengeluh kekurangan air . Bencana kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan juga menjadi agenda rutin setiap musim kemarau tiba. Sebaliknnya saat musim penghujan, bencana banjir dan tanah longsor silih berganti terjadi.
Prinsip Konservasi dan Kemitraan dalam Ekonomi Global
Menurut Gorz (2005), kecenderungan untuk memandang lingkungan sebagai bagian integral dari konsep pembangunan adalah sesuatu yang tidak baru lagi. Konvensi yang memberikan dasar yang kuat bagi pendekatan pembangunan berbasis lingkungan mulai bermunculan. Seperti Konvensi Air Global tahun 2003 yang melindungi persediaan air dunia (Barlow dan Clarke, 2005), Vienna Convention tahun 1985 dan Montreal Protocol (1989) tentang strategi penanggulangan masalah ozon (….). Agenda Hijau yang merupakan fokus pembahasan kerusakan lingkungan global:kerusakan lapisan ozon, pemanasan global, dan hujan asam (Aoshima,2003).
Dari berbagai konvensi dan perjanjian lingkungan tersebut sudah banyak terjawab permasalahan mengenai efek negatif yang harus diemban dalam konsep pembangunan. Tapi kelihatannya pendekatan lingkungan menjadi terbelakang di tengah arus deras pembangunan yang mulai bergeser ke arah globalisasi.
Menurut Barlow dan Clarke (2005:100), globalisasi ekonomi merupakan sebuah sistem yang didasari oleh kepercayaan bahwa sebuah ekonomi global dengan peraturan universal yang dibuat oleh korporasi dan pasar finansial adalah hal yang tidak dapat dihindari.
Namun, Inoguchi, Newman dan Paoletto (2003) percaya bahwa penggunaan energi, konsumsi, produksi, kebebasan individu, dan perusahaan dalam pasar bebas dapat diselaraskan dengan lingkungan. Hal ini tergantung pada komitmen masyarakat akan ekologi yang berkelanjutan. Masyarakat mulai merasakan adanya kebutuhan untuk mengurangi pencemaran udara dan air, mengurangi volume sampah, mengatur sistem air, serta mengembangkan sistem transportasi yang efisien dan adil bagi seluruh masyarakat. Semuanya bertujuan untuk mengurangi bencana akibat kemurkaan alam (Inoguchi, Newman dan Paoletto,2003).
Aoshima (2003) menyebutkan ada tiga prinsip untuk memecahkan masalah kerusakan lingkungan:
1. Prinsip Aksi
Jaringan kerja sama internasional dianggap penting dalam kaitannya dengan berbagai usaha untuk mengatasi masalah lingkungan.
2. Prinsip Respons Komprehensif
Penting sekali mempelajari permasalahan secara ilmiah dan menciptakan sebuah kebijakan yang komprehensif.
3. Prinsip Kemitraan
Permasalahan lingkungan sangat sulit dan berskala global. Diperlukan kemitraan jaringan kerjasama dan persekutuan diantara kota-kota dunia dan PBB, LSM, dan masyarakat.
Setelah terjadi kerusakan lingkungan di berbagai tempat yang menimbulkan kerugian bagi manusia, Gorz (2005) menyebutkan diperlukan bentuk perlawanan massif bagi proyek pembangunan yang kapitalistik. Diantaranya yang pernah dilakukan oleh sejumlah gerakan sosial untuk melakukan pengorganisasian masyarakat sipil yang tertindas oleh proyek globalisasi. Gerakan sosial baru kini mulai menempatkan permasalahan lingkungan sebagai sebuah prioritas penting. Juga diperlukan rumusan gagasan alternatif yang bisa mendorong terbentuknya kesadaran perlawanan yang kritis.
Analisis
Usaha-usaha pencegahan dan penanggulangan banjir yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di bantaran sungai Jakarta bisa dikatakan merupakan bentuk perlawanan terhadap globalisasi ekonomi.
Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai merupakan masyarakat korban kapitalisme. Mereka adalah golongan menengah ke bawah yang terpaksa pindah ke kota untuk mengadu nasib mencari penghasilan yang bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Namun karena tingkat pendidikan yang rendah, membuat mereka tidak bisa bersaing dalam pasar kerja. Mereka hanya bisa bekerja pada sektor-sektor informal yang tingkat penghasilannya sangat rendah. Lokasi permukiman yang bisa terjangkau pun hanya di bantaran sungai dan bawah jembatan saja.
Penghuni bantaran sungai lainnya adalah masyarakat korban gusuran. Dulunya masyarakat tersebut bertempat tinggal pada suatu areal kosong yang tidak berpenghuni dan sudah bertahun-tahun kosong (lahan tidur). Namun karena perkembangan ekonomi suatu wilayah, lahan tersebut dianggap menjadi hak milik pihak swasta. Pihak swasta menggunakan areal tersebut menjadi pusat perdagangan (mal), apartemen, atau kawasan bisnis komersial lainnya.
Jelas masyarakat yang tadinya tinggal di lokasi tersebut harus rela pergi karena memang tidak memiliki surat-surat resmi. Ataupun jika sudah memiliki surat-surat resmi tidak diakui oleh pemerintah. Mereka hanya mendapat ganti rugi yang sangat sedikit. Pilihan untuk bertempat tinggal jatuh pada daerah bantaran sungai ataupun bawah jembatan.
Bertempat tinggal di bantaran sungai tidak mendapat fasilitas resmi dari pemerintah, seperti listrik, sarana pembuangan sampah, dan air bersih. Alhasil mereka mencoba mengelola sendiri semua fasilitas-fasilitas tersebut. Meski bertempat tinggal di bantaran sungai, bukan berarti mereka tidak menjaga kebersihan lingkungan sungai. Dengan kesadaran masing-masing pribadi, mereka mencoba mengumpulkan sampah pada suatu tempat dan meminta Dinas Kebersihan DKI Jakarta untuk mengambilnya setiap hari.
Mereka tahu dan sadar jika sampah dibuang ke sungai akan menimbulkan banjir. Selanjutnya akan semakin menyusahkan kehidupan mereka. Tumpukan sampah yang dibuang ke sungai atau pinggir sungai akan menimbulkan bau yang sangat menyengat sehingga membuat kehidupan tidak nyaman.
Tidak hanya mengumpulkan sampah, mereka juga mencoba untuk membersihkan sampah-sampah yang ada di sungai dengan peralatan sekedarnya. Bahkan cenderung membahayakan mereka karena tidak menggunakan bantuan alat mekanis.
Semua tindakan tersebut dilakukan oleh masyarakat bantaran sungai sebagai usaha untuk mencegah terjadinya banjir yang rutin terjadi setiap tahun. Selain itu secara tidak langsung mereka mulai sadar akan pentingnya kebersihan lingkungan bagi kesehatan dan keberlangsungan lingkungan hidup di Jakarta.
Tindakan masyarakat di bantaran sungai tersebut difasilitasi oleh sejumlah LSM yang peduli terhadap lingkungan. Sebetulnya LSM tersebut sudah berupaya untuk mengajak pemprov DKI Jakarta supaya lebih memperhatikan penanganan dan pencegahan banjir Jakarta. Namun karena pemerintah lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan kapitalistik, kegiatan menjaga lingkungan dilupakan.
Usaha yang dilakukan oleh masyarakat bantaran sungai difasilitasi oleh LSM peduli lingkungan merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap globalisasi ekonomi. Mereka mulai sadar bahwa ekonomi kapitalis sudah merugikan lingkungan. Seperti munculnya banjir rutin setiap tahun. Mereka hanya tidak mau kegiatan ekonomi kapitalis akan semakin membuat lingkungan rusak.
Kegiatan masyarakat berwawasan ekologis berkelanjutan seperti masyarakat bantaran sungai tidak hanya itu. Sebagian masyarakat perkotaan sudah mulai melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan daur-ulang, pengurangan pencemaran, serta hemat energi.
Pengelolaan Sampah
Sampah merupakan masalah besar di perkotaan. Ketika jumlah penduduk semakin meningkat, sampah yang dihasilkan oleh masing-masing individu juga semakin banyak. Lahan untuk pembuangan akhir sampah yang tersedia sudah tidak mencukupi lagi. Selain itu pencemaran udara akibat bau yang ditimbulkan sampah serta pencemaran air tanah juga menjadi masalah yang saling berkaitan.
Sebagian besar masyarakat mulai menyadari hal tersebut. Mereka mencoba memilah-milah antara sampah organik yang bisa diolah lagi dan anorganik yang tidak bisa diolah. Selanjutnya sampah organik didaur-ulang menjadi barang-barang yang berguna lagi. Dan sampah anorganik di buang ke TPA sampah. Setidaknya hal ini mengurangi produksi sampah yang menumpuk di TPA.
Sebenarnya tindakan masyarakat ini bukan merupakan tindakan perlawanan terhadap globalisasi ekonomi. Tindakan tersebut merupakan suatu bentuk usaha kapitalisme yang adapatif terhadap rintangan-rintangan ekologi. Pasalnya sampah organik yang bisa didaurulang dijual lagi kepada masyarakat supaya mendapat nilai tambah. Masih ada unsur menambah atau mencari keuntungan dari kegiatan pengelolaan sampah.
Pengurangan Pencemaran
Polutan merupakan hasil pencemaran. Polutan yang paling berbahaya adalah yang dihasilkan oleh emisi industri dan gas buangan kendaraan bermotor. Kali ini pemerintah punya andil besar terhadap pengurangan polutan berbahaya tersebut. Caranya dengan mengeluarkan baku mutu emisi pencemaran dengan standar tertentu. Jika di suatu wilayah polutan-polutan yang dihasilkan sudah melewati batas yang ditetapkan, segera mengeluarkan peraturan pembatasan kendaraan bermotor.
Aturan ini direspons oleh sebagian masyarakat dengan kampanye bersepeda ke kantor atau yang lebih dikenal dengan istilah bike to work. Dengan alasan mengurangi pencemaran udara di Jakarta, kelompok tersebut mengajak masyarakat untuk mengendarai sepeda ke kantor. Meski hasilnya belum begitu signifikan, setidaknya usaha mereka patut diacungi jempol.
Usaha pemerintah tersebut dan kelompok bike to work, merupakan salah satu bentuk tindakan untuk melakukan konservasi atau pelestarian terhadap lingkungan.
Kesimpulan
Di tengah globalisasi ekonomi yang masih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran kapitalisme, masih ada beberapa kelompok masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat yang peduli terhadap lingkungan. Mereka mencoba melakukan usaha pelestarian atau konservasi dengan tindakan-tindakan ekologis karena merasa menderita karena kerusakan alam.
Mereka sudah lelah hidup dalam pengaruh kapitalisme yang terus merusak lingkungan. Padahal masih berkeyakinan bahwa lingkungan alam harus dipelihara supaya bisa diwariskan pada anak cucu. Jika alam rusak, generasi selanjutnya tidak bisa hidup di alam ini.
Salah satu kegiatan ekologis masyarakat adalah usaha pencegahan dan penanggulangan banjir oleh masyarakat bantaran sungai. Meski merupakan bentuk perlawanan terhadap globalisasi ekonomi, mereka masih berupaya untuk melakukan prinsip konservasi dan kemitraan dalam ekonomi global.
Minggu, 17 Februari 2008
KANTONG PLASTIK dan LINGKUNGAN..
Radyan Prasetyo
Ada banyak hal yang bisa dijadikan alasan mengapa sampah dari kantong plastik ini tidak ramah lingkungan alias justru menimbulkan berbagai problem. Sepertinya sepele dengan membungkus barang belanjaan menggunakan kantong plastik dan sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Belanjalah di semua tempat, pasti anda akan diberi kantong plastik sebagai pembungkus, entah di warung, toko kecil maupun toko super besar.
Semoga kumpulan tulisan di bawah ini bisa membuka mata kita tentang berbagai masalah akibat penggunaan plastik.
Semoga kumpulan tulisan di bawah ini bisa membuka mata kita tentang berbagai masalah akibat penggunaan plastik.
- Kantong plastik dikenal murah bahkan sering dibagikan secara gratis. Kantong plastik ini dibuat dari sisa penyulingan minyak bumi hampir sama seperti lilin dan aspal. Artinya konsumsi plastik berlebihan akan membuat konsumsi minyak bumi (fossil fuel) yang saat ini semakin berkurang menjadi lebih tinggi dan ketergantungan pada minyak. Di Inggris dibutuhkan lebih dari 2 milliar barel mminyak bumi untuk industri kantong plastik, berapa ya jumlah di Indonesia? Padahal kebanyakan dari kita hanya menggunakan kantong plastik ini sekali atau dua kali pakai lalu buang…
- Selain sifatnya yang sulit hancur, plastik ini juga sulit diuraikan secara alami. Plastik yang dibuang baru akan bisa hancur alami setelah 200 hingga 400 tahun. Bayangkan kalau kita membuang kantong plastik di laut, cucu dari cicit kita masih bisa menemukan kantong plastik yang sama,
- Kantong plastik mengandung dioxin dan furan. Dioxin ini sangat berbahaya bagi manusia karena merupakan zat utama penyebab kanker. Dioxin umumnya digunakan sebagai bahan pemutih. Membakar kantong plastik sama saja dengan menyebarkan dioxin ke udara dan menyebabkan lebih banyak orang yang menghirup terkena kanker. Jadi sama saja menyebabkan polusi udara,
- Sampah plastik ini berbahaya bagi biota terutama yang hidup di laut. Di Australia, tiap tahunnya lebih dari 100 ribu kura-kura, paus, burung dan mamalia laut mati karena terjerat maupun menelan plastik. Lagipula setelah hewan itu mati dan terurai, plastik yang tertelan masih saja bertahan ratusan tahun,
- Plastik dibuat dari polimer dan pada pembuatan kantong plastik, ditambahkan beberapa bahan kimia aditif termasuk pelembut (plasticziers) yang dapat memberi tekstur lembut dan licin serta gampang dibentuk. Tetapi zat ini akan berpotensi menyebabkan kontaminasi, karena susunan polimernya akan rusak jika terutama untuk membungkus makanan yang masi panas dan bila makanan tersebut dikonsumsi, bahan kimia (polimer yang terurai jadi monomer serta bahan aditifnya) akan masuk dan merusak tubuh,
- Sampah plastik dari sektor pertanian yang dhasilkan di dunia ini jumlahnya mencapai 100 juta ton per tahun atau bisa membungkus bumi sampai 10 kali bungkus.
So what we gonna do now???
Ada banyak hal yang bsia dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada kantung plastik sehingga kita bisa lebih bersahabat dengan alam. Mulai dengan langkah yang kecil dan dari diri sendiri saja.
- Kalau tidak perlu kantong plastik ketika membeli barang atau membeli barang kecil, masukan dalam tas saja, tolak plastik dari penjualnya,
- Kalau sudah menerima kantung plastik, lipat lagi dengan rapih setelah digunakan. Ini bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lain berkali-kali,
- Membawa kantong kain untuk membawa barang belanjaan besar dan banyak jauh lebih baik karena kantung kain ini dapat digunakan berulang-ulang dan jarang dibuang,
- Apabila belanja banyak, gunakan saja ardus besar untuk membungkus seluruh belanjaan, karena kardus ini leih bisa di daur ulang,
- Jangan biasakan membuang sampah organik dalam bungkus kantung plastik yang tertutup rapat karena dijamin tidak akan terurai sempurna hingga 10 tahun lebih apabila plastiknya tidak dibuka,
- Gunakan plastik ramah lingkungan (biodegradable) yang lebih cepat terurai (3 tahun) karena tersusun atas selulosa, kolagen, protein atau zat lain pada tanaman dan hewan
seribu jarak di depan selalu diawali dari langkah yang kecil. Jadi semoga bisa mulai dari diri sendiri dan kita semakin menghargai lingkungan..
Jumat, 15 Februari 2008
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Pertambangan
Radyan Prasetyo
Badai moneter yang menghantam di pertengahan 1997 memaksa ambruknya system ekonomi Indonesia yang terpusat pada orientasi pasar. Kegagalan pasar yang mengangkat derajat kemiskinan -ditandai tingginya pengangguran akibat PHK- dan menurunkan daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Tercatat bahwa saat itu, tingkat kemiskinan mencapai 85%. Harapan untuk keluar dari terpaan krisis ini memerlukan strategi dan regulasi pemerintah yang menyangkut perencanaan holistik multi sektor.
Meksipun krisis moneter yang berkepanjangan ini, namun industri pertambangan adalah salah satu dari sedikit industri yag mampu survive dan tetap dapat menyumbangkan pemasukan GDP. Dan dengan lebih dari setengah juta jiwa yang bekerja secara formal pada industri ini, termasuk dua juta jiwa yang yang bekerja scara tak langsung, mining corporate industry menyokong keberadaan perusahaan kontraktor dan konsultan..
Salah satu multiplier effect dari hadirnya industri pertambangan yang hampir selalu berawal dari daerah terpencil adalah perannya sebagai penggerak mula (prime mover) pembangunan daerah. Sebutkanlah Sawahlunto yang hidup dari industri batubara, Pomalaa di Sulawesi Tenggara, Cikotok, Balikpapan dan Kutai di Kalimantan Timur dan bahkan Jayapura di Papua. Industri pertambanganlah yang menjadi punggung perekonomian daerah saat itu.
KONDISI PERTAMBANGAN SAAT INI
Investasi Beberapa tahun belakangan, industri pertambangan nyata-nyata menghadapi uncertainty investment climate, mulai dari goncangan anti pertambangan yang makin besar, munculnya UU No. 41/1999 yang sangat sektoral hingga gelombang Trans National Corporate dengan kepentingan isu yang berbeda-beda.
Ada image bahwa pertambangan adalah trouble maker environment and deforestation atau tambang si perusak lingkungan sehingga lebih bak moratorium dan tutup saja semua perusahaan ekstraktif tersebut.
Tidak ada yang salah mutlak dalam pelemparan argument tersebut. Tidak perlu ditolak pula bahwa tambang itu merusak lingkungan. Hanya perlu sedikit pemilahan bahwa berbagai argumen yang dilontarkan dapat dikelompokkan menjadi dua: yang paham dan yang tidak paham tentang pertambangan. Argumen yang dilemparkan oleh pihak yang tidak paham –dan kuantitasnya sangat besar- telah menimbulkan persepsi negatif industri pertambangan dan menyesatkan publik dengan mengeluarkan berbagai statement yang keliru.
Perspektif yang keliru ini yang perlu diluruskan agar terjadi sinkronisasi antara usaha pertambangan dengan persepsi public. Perspektif itu diantaranya:
1. Kekeliruan pertama muncul ketika seluruh kegiatan pertambangan menghancurkan fungsi hutan karena membuka lahan secara ekstensif.
Ini merupakan pendapat yang tidak beralasan dan buta total dan menutupi karakteristik pertambangan yang sebenarnya, karena pendapat ini tidak pernah memikirkan bahwa ada beberapa tahapan berbeda dalam usaha pertambangan. Pertambangan sendiri merupakan rangkaian empat kegiatan utama eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta reklamasi.
Eksplorasi merupakan tahapan dimana dilakukan penyelidikan untuk menetapkan keberadaan, karakteristik, kuantitas dan kualitas bahan tambang. Eksplorasi ini merupakan tahapan pertama yang memerluan waktu dua hingga lima tahun dan berisiko tinggi. Perusahaan bisa saja menghentikan kegiatan atau suspended karena tidak mendapatkan cadangan mineral yangn ekonomis meski telah menghabiskan jutaan dolar seperti yang dialami Pacific Nickel di P. Gag yang telah mengeluarkan biaya US$ 60 juta untuk eksplrasi namun tidka berhasil menemukan deposit ekonomis. Berdasarkan data DESDM, sepanjang periode 1969-2003, dari 348 perusahaan yang melakukan eksplorasi, hanya 36 yang berlanjut ke tahap eksploitasi, sisanya mengalami terminasi atau penundaan.
Untuk memfasilitasi tahapan eksplorasi ini, pemerintah mengizinkan perusahaan memiliki daerah Kuasa Pertambangan seluas maksimum 25.000 ha (PP 32/1969 tentang Pelaksanaan UU Pokok Pertambangan 11/1967). Namun tidak seluruh lahan ini akan digunakan oleh perusahaan, karena mineral umumnya hanya terdapat di beberapa titik anomaly. Sebagian besar lahan harus dikembalikan kepada negara melalui proses reliquishment. Selain karena akan membebani dari sisi pajak, lahan ini juga tidak ekonomis untuk diusahakan.
Eksplorasi juga tidak akan menggunakaan keseluruhan luasan lahan karena lahan yang diperlukan hanyalah sebatas kebutuhan titik eksplorasi, akses masuk alat bor. Bahkan dengan teknologi canggih seperti seismic dan geophysics, mampu mengurngai jumlah titik bukaan secara signifikan, karena dapat mendeteksi keberadaaan endapan bahan tambang tanpa harus membuka lahan.
Dan pada tahapan eksploitasi, jika perusahaan hanya memiliki izin pengelolaan lahan 25%, tidak seluruh lahan tersebut akan diekslpoitasi langsung. Dan rasanya sudah banyak laporan yang menyatakan bahwa seluruh kegiatan eksploitasi pertambangan berizin di Indonesia hanya membuka lahan 135.000 ha atau 0,1% luas seluruh wilayah hutan Indonesia.
2. Perspektif keliru yang kedua adalah tentang pemilihan metode penambangan, muncul anggapan bahwa kepentingan finansial lebih mendasari pemilihan metode open pit (tambang terbuka) dibanding underground.
Perlu diketahui bahwa ada banyak criteria prinsip pemilihan metode penambangan. Tambang terbuka diterapkan untuk menambang cadangan yang letaknya dekat permukaan dengan terlebih dahulu membersihkan lahan dan batuan pengotor. Tambang terbuka ini memiliki produktivitas tinggi, cost operasi yang rendah dan keselamatan yang lebih terjamin.
Sedang tambang dalam (underground) hanya diterapkan untuk mendapatkan cadangan yang berada relatif jauh di bawah permukaan dengan hanya membuka sebagian kecil lahan di permukaan sebagai akses peralatan dan fasilitas pengolahan. Jadi proses pengambilan mineral dilakukan tanpa menggangu aktivitas permukaan. Namun perlu diketahui bahwa tambang ini rentan akan keselamatan kerja. Kita bisa banyak belajar dari China yang kehilangan lebih dari 5.500 pekerjanya tahun lalu akibat ambruknya tambang batubara bawah tanah mereka.
Tidak ada satu manusiapun yang mampu memaksa bahwa endapan mineral itu berada dekat di bawah permukaan atau jauh di dalam. Semua sifatnya alamiah (given by God) dan merupakan kekhasan sifat bahan galian. Jangan memaksa untuk melakukan eksploitasi tambang dalam jika kerentanan keselamatan kerja masih belum teratasi.
3. Perspektif keliru yang ketiga adalah pernyataan semua kegiatan pertambangan merusak lingkungan.
Pernyataan menyesatkan ini rasanya hampir selalu dilontarkan oleh pecinta lingkungan dan kaum conservationist. Rasanya bisa dimaklumi jika mereka yang mengatakan hal itu, dan juga rasanya kesalahan dari industri tambang juga yang rasanya kurang memeluk pemerhati lingkungan dan conservationist.
Anggapan ini tidak berdasar karena menggeneralisasi bahwa seluruh usaha pertambangan sifatnya destruktif tanpa melihat bahwa diwajibkannya reklamasi pada lahan eks tambang. Bahkan pada tahapan pengakhiran tambang (mining closure) juga diwajibkan memperbaiki lahan bukaan. Ada beberapa contoh perusahaan yang berhasil menjalankan hal in seperti Kelian Eguatorial Mining di Kalimantan Timur.
Selain diterapkannya Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di tahapan kelayakkan studi, pada kegiatan pertambangan juga diterapkan best mining practice (not only good) sebagai upaya minimalisasi dampak lingkungan yang terjadi.
Jadi rasanya lengkap kekeliruan persepsi terhadap pertambangan yang sudah bisa diluruskan kembali. Sebuah dialektika pertambangan antara pemanfaatan dengan resiko yang emsti dibayar adalah sebuah penghargaan terhadap perbedaanpersepsi. Bukan suatu hal yang perlu dibantah, melainkan sebagai proses pembelajaran pola berpikir. Tidak ada kebenaran sejati, yang mutlak hanya dari Tuhan.
Der Herr Got wulfert nicht!! (Tuhan tidak melempar dadu)
Albert Einstein (1879 – 1955)
Meksipun krisis moneter yang berkepanjangan ini, namun industri pertambangan adalah salah satu dari sedikit industri yag mampu survive dan tetap dapat menyumbangkan pemasukan GDP. Dan dengan lebih dari setengah juta jiwa yang bekerja secara formal pada industri ini, termasuk dua juta jiwa yang yang bekerja scara tak langsung, mining corporate industry menyokong keberadaan perusahaan kontraktor dan konsultan..
Salah satu multiplier effect dari hadirnya industri pertambangan yang hampir selalu berawal dari daerah terpencil adalah perannya sebagai penggerak mula (prime mover) pembangunan daerah. Sebutkanlah Sawahlunto yang hidup dari industri batubara, Pomalaa di Sulawesi Tenggara, Cikotok, Balikpapan dan Kutai di Kalimantan Timur dan bahkan Jayapura di Papua. Industri pertambanganlah yang menjadi punggung perekonomian daerah saat itu.
KONDISI PERTAMBANGAN SAAT INI
Investasi Beberapa tahun belakangan, industri pertambangan nyata-nyata menghadapi uncertainty investment climate, mulai dari goncangan anti pertambangan yang makin besar, munculnya UU No. 41/1999 yang sangat sektoral hingga gelombang Trans National Corporate dengan kepentingan isu yang berbeda-beda.
Ada image bahwa pertambangan adalah trouble maker environment and deforestation atau tambang si perusak lingkungan sehingga lebih bak moratorium dan tutup saja semua perusahaan ekstraktif tersebut.
Tidak ada yang salah mutlak dalam pelemparan argument tersebut. Tidak perlu ditolak pula bahwa tambang itu merusak lingkungan. Hanya perlu sedikit pemilahan bahwa berbagai argumen yang dilontarkan dapat dikelompokkan menjadi dua: yang paham dan yang tidak paham tentang pertambangan. Argumen yang dilemparkan oleh pihak yang tidak paham –dan kuantitasnya sangat besar- telah menimbulkan persepsi negatif industri pertambangan dan menyesatkan publik dengan mengeluarkan berbagai statement yang keliru.
Perspektif yang keliru ini yang perlu diluruskan agar terjadi sinkronisasi antara usaha pertambangan dengan persepsi public. Perspektif itu diantaranya:
1. Kekeliruan pertama muncul ketika seluruh kegiatan pertambangan menghancurkan fungsi hutan karena membuka lahan secara ekstensif.
Ini merupakan pendapat yang tidak beralasan dan buta total dan menutupi karakteristik pertambangan yang sebenarnya, karena pendapat ini tidak pernah memikirkan bahwa ada beberapa tahapan berbeda dalam usaha pertambangan. Pertambangan sendiri merupakan rangkaian empat kegiatan utama eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta reklamasi.
Eksplorasi merupakan tahapan dimana dilakukan penyelidikan untuk menetapkan keberadaan, karakteristik, kuantitas dan kualitas bahan tambang. Eksplorasi ini merupakan tahapan pertama yang memerluan waktu dua hingga lima tahun dan berisiko tinggi. Perusahaan bisa saja menghentikan kegiatan atau suspended karena tidak mendapatkan cadangan mineral yangn ekonomis meski telah menghabiskan jutaan dolar seperti yang dialami Pacific Nickel di P. Gag yang telah mengeluarkan biaya US$ 60 juta untuk eksplrasi namun tidka berhasil menemukan deposit ekonomis. Berdasarkan data DESDM, sepanjang periode 1969-2003, dari 348 perusahaan yang melakukan eksplorasi, hanya 36 yang berlanjut ke tahap eksploitasi, sisanya mengalami terminasi atau penundaan.
Untuk memfasilitasi tahapan eksplorasi ini, pemerintah mengizinkan perusahaan memiliki daerah Kuasa Pertambangan seluas maksimum 25.000 ha (PP 32/1969 tentang Pelaksanaan UU Pokok Pertambangan 11/1967). Namun tidak seluruh lahan ini akan digunakan oleh perusahaan, karena mineral umumnya hanya terdapat di beberapa titik anomaly. Sebagian besar lahan harus dikembalikan kepada negara melalui proses reliquishment. Selain karena akan membebani dari sisi pajak, lahan ini juga tidak ekonomis untuk diusahakan.
Eksplorasi juga tidak akan menggunakaan keseluruhan luasan lahan karena lahan yang diperlukan hanyalah sebatas kebutuhan titik eksplorasi, akses masuk alat bor. Bahkan dengan teknologi canggih seperti seismic dan geophysics, mampu mengurngai jumlah titik bukaan secara signifikan, karena dapat mendeteksi keberadaaan endapan bahan tambang tanpa harus membuka lahan.
Dan pada tahapan eksploitasi, jika perusahaan hanya memiliki izin pengelolaan lahan 25%, tidak seluruh lahan tersebut akan diekslpoitasi langsung. Dan rasanya sudah banyak laporan yang menyatakan bahwa seluruh kegiatan eksploitasi pertambangan berizin di Indonesia hanya membuka lahan 135.000 ha atau 0,1% luas seluruh wilayah hutan Indonesia.
2. Perspektif keliru yang kedua adalah tentang pemilihan metode penambangan, muncul anggapan bahwa kepentingan finansial lebih mendasari pemilihan metode open pit (tambang terbuka) dibanding underground.
Perlu diketahui bahwa ada banyak criteria prinsip pemilihan metode penambangan. Tambang terbuka diterapkan untuk menambang cadangan yang letaknya dekat permukaan dengan terlebih dahulu membersihkan lahan dan batuan pengotor. Tambang terbuka ini memiliki produktivitas tinggi, cost operasi yang rendah dan keselamatan yang lebih terjamin.
Sedang tambang dalam (underground) hanya diterapkan untuk mendapatkan cadangan yang berada relatif jauh di bawah permukaan dengan hanya membuka sebagian kecil lahan di permukaan sebagai akses peralatan dan fasilitas pengolahan. Jadi proses pengambilan mineral dilakukan tanpa menggangu aktivitas permukaan. Namun perlu diketahui bahwa tambang ini rentan akan keselamatan kerja. Kita bisa banyak belajar dari China yang kehilangan lebih dari 5.500 pekerjanya tahun lalu akibat ambruknya tambang batubara bawah tanah mereka.
Tidak ada satu manusiapun yang mampu memaksa bahwa endapan mineral itu berada dekat di bawah permukaan atau jauh di dalam. Semua sifatnya alamiah (given by God) dan merupakan kekhasan sifat bahan galian. Jangan memaksa untuk melakukan eksploitasi tambang dalam jika kerentanan keselamatan kerja masih belum teratasi.
3. Perspektif keliru yang ketiga adalah pernyataan semua kegiatan pertambangan merusak lingkungan.
Pernyataan menyesatkan ini rasanya hampir selalu dilontarkan oleh pecinta lingkungan dan kaum conservationist. Rasanya bisa dimaklumi jika mereka yang mengatakan hal itu, dan juga rasanya kesalahan dari industri tambang juga yang rasanya kurang memeluk pemerhati lingkungan dan conservationist.
Anggapan ini tidak berdasar karena menggeneralisasi bahwa seluruh usaha pertambangan sifatnya destruktif tanpa melihat bahwa diwajibkannya reklamasi pada lahan eks tambang. Bahkan pada tahapan pengakhiran tambang (mining closure) juga diwajibkan memperbaiki lahan bukaan. Ada beberapa contoh perusahaan yang berhasil menjalankan hal in seperti Kelian Eguatorial Mining di Kalimantan Timur.
Selain diterapkannya Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di tahapan kelayakkan studi, pada kegiatan pertambangan juga diterapkan best mining practice (not only good) sebagai upaya minimalisasi dampak lingkungan yang terjadi.
Jadi rasanya lengkap kekeliruan persepsi terhadap pertambangan yang sudah bisa diluruskan kembali. Sebuah dialektika pertambangan antara pemanfaatan dengan resiko yang emsti dibayar adalah sebuah penghargaan terhadap perbedaanpersepsi. Bukan suatu hal yang perlu dibantah, melainkan sebagai proses pembelajaran pola berpikir. Tidak ada kebenaran sejati, yang mutlak hanya dari Tuhan.
Der Herr Got wulfert nicht!! (Tuhan tidak melempar dadu)
Albert Einstein (1879 – 1955)
Selasa, 05 Februari 2008
PRIVATISASI AIR : KAPITALISME YANG MERUSAK LINGKUNGAN HIDUP
Oleh: M. Puteri Rosalina
“Apakah air merupakan sebuah kebutuhan dasar ataukah hak asasi manusia?” Pertanyaan besar itu menjadi bahan perdebatan dalam World Water Forum yang diselenggarakan selama 4 hari di The Hague dan dihadiri oleh 5.700 orang. Pertemuan yang diadakan pada Maret 2000 lalu merupakan konferensi besar PBB untuk menyelamatkan sumber daya air dunia. Namun dibalik itu, pertemuan tersebut juga dimanfaatkan oleh pengusaha-pengusaha besar yang menguasai industri air untuk mengambil keuntungan dengan cara menjual air ke seluruh dunia.
Perdebatan mengenai air sebagai kebutuhan dasar atau hak asasi manusia, bukanlah sekedar perdebatan semantik saja. Perdebatan ini langsung mengarah pada siapa yang seharusnya bertanggungjawab memastikan bahwa masyarakat memiliki akses terhadap air.
Sekelompok kecil masyarakat, LSM-LSM peduli lingkungan, dan buruh berpendapat bahwa air adalah hak asasi manusia yang universal. Namun, penyelenggara World Water Forum memiliki pandangan yang berbeda. Mereka menginginkan agar air dipandang sebagai sebuah kebutuhan dasar. Selanjutnya sektor swasta melalui pasar, memiliki hak dan tanggung jawab untuk menyediakan air untuk mendapatkan keuntungan.
Sebaliknya jika air dianggap sebagai salah satu hak asasi manusia, maka pemerintah yang bertanggung jawab memastikan seluruh rakyat mendapatkan akses yang sama terhadap air tanpa mengambil keuntungan. Sayang akhirnya pemerintah mengalah pada kepentingan-kepentingan korporasi swasta yang bertindak sebagai sponsor dalam forum tersebut.
Diputuskan dalam pertemuan World Water Forum, air adalah sebuah kebutuhan dasar. Berarti penanggung jawab penyediaan air adalah sektor swasta yang akan menyediakan air dengan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Sumber Daya Air Terbatas
Hasil pertemuan World Water Forum yang menegaskan bahwa air adalah sebuah kebutuhan dasar menurut Barlow dan Clarke (2005:100) merupakan suatu pemisahan antara air dari rakyat (masyarakat) yang menjadi pemilik air sesungguhnya. Air dipaksa untuk mengikuti prinsip-prinsip permintaan dan penawaran dari pasar global dan distribusinya ditentukan oleh kemampuan membayar.
Di sisi lain pertumbuhan manusia mempunyai pengaruh langsung terhadap ketersediaan air tawar (Creighton, 1996:89). Jumlah penduduk meningkat, pada saat itu sumber daya air terbatas. Hal ini mengakibatkan ketersediaan air untuk masing-masing orang menjadi lebih rendah. Dengan dinamika populasi dunia, secara pasti akan terjadi kompetisi yang makin besar antara pedesaan dan kota untuk memerebutkan air.
Menurut ahli hidrologi Swedia, Malin Falkenmark yang dikutip dari buku ”Kepedulian Masa Depan:Laporan Komisi Mandiri Kependudukan dan Lingkungan Hidup”, akan terjadi kelangkaan air yang semu (water stress) ketika suplai air kurang dari 1700 m3/orang setiap tahunnya. Pada saat suplai air turun di bawah 1000 m3/orang/tahun, suatu daerah akan berada dalam situasi kelangkaan air (water scarcity). Kondisi seperti itu akan menimbulkan keputusan sulit, apakah air akan digunakan untuk pertanian, industri, kesehatan, atau untuk air minum. Juga akan timbul penjatahan air dalam jangka waktu tertentu.
Globalisasi Ekonomi
Kedudukan air di dunia semakin sulit. Selain kuantitasnya terbatas, kualitasnya pun mulai menurun akibat pencemaran limbah pabrik dan rumah tangga. Ditambah lagi kalangan swasta sudah memutuskan air dianggap sebagai kebutuhan yang bisa diperjual-belikan. Kondisi ini semakin parah, saat dunia sudah memasuki era ekonomi global. Menurut Barlow dan Clarke (2005:100), globalisasi ekonomi merupakan sebuah sistem yang didasari oleh kepercayaan bahwa sebuah ekonomi global dengan peraturan universal yang dibuat oleh korporasi dan pasar finansial adalah hal yang tidak dapat dihindari.
Kebebasan ekonomi adalah nilai khas pemegang kekuasaan dalam periode setelah Perang Dingin. Ideologi demokrasi maupun usaha untuk melindungi ekologi sudah tidak berlaku lagi. Dalam ekonomi pasar global ini, semua aspek harus dapat dijual. Juga dengan beberapa hal dalam kehidupan yang dulu dianggap hak asasi manusia. Sebut saja soal pendidikan, kesehatan, kebudayaan, sumber daya alam udara dan air.
Akar dari globalisasi ekonomi bermula dari ketika kerajaan-kerajaan Eropa (500 tahun yang lalu) saling bersaing untuk mendapatkan akses langsung atas sumber daya-sumber daya alam seperti emas, perak, tembaga, dan kayu dari Asia, Amerika, dan Afrika. Ketika itu, perusahaan perkapalan raksasa diizinkan beroperasi melalui perjanjian antar-kerajaan dan dimandatkan untuk menyusuri sebagian besar dunia untuk mencari sumber daya yang akan menguntungkan kerajaan-kerajaan komersial mereka.
Di masa kini, model globalisasi ekonomi didorong untuk bergerak dengan cepat, terutama sejak runtuhnya Tembok Berlin. Sebelum hal tersebut terjadi, ekonomi dunia masih terpisah antara dua kubu:komunisme dan kapitalisme. Keruntuhan tembok Berlin dan berakhirnya perang dingin menjadi penanda kemenangan kapitalisme. Sejak saat itu kapitalisme mendominasi ekonomi global.
Kapitalisme
Globalisasi ekonomi sekarang sangat dipengaruhi oleh paham kapitalisme. Kapan sebenarnya paham kapitalisme itu muncul? Bagaimana perubahan-perubahan pandangan kapitalisme dari dulu sampai sekarang?
Menurut Sanderson (2003:169), kapan kapitalisme itu muncul masih menjadi perdebatan selama pengertian dari kapitalisme juga masih diperdebatkan. Karl Marx, seorang pengkaji sejarah sistem kapitalis yang dikutip dari buku ”Makro Sosiologi”, mengatakan kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai sumber daya produktif vital yang digunakan untuk meraih keuntungan maksimal. Para individu ini disebut kaum borjuis. Kaum borjuis memperkerjakan sekelompok orang yang disebut sebagai golongan proletar.
Para kapitalis bisa memperoleh keuntungan karena mereka membayar buruh (proletar) jauh dibawah keuntungan yang didapat. Jadi menurut Marx, keuntungan kapitalis tidak tumbuh hanya melalui proses penjualan barang, tetapi berasal dari proses produksi yang dilakukan oleh proletar. Sedangkan tindakan penjualan barang hanyalah upaya merealisasikan keuntungan tersebut, yang sebenarnya telah ada dalam penciptaan produk oleh buruh.
Sebenarnya pencarian keuntungan secara ambisius sudah dimulai di Eropa Barat jauh sebelum revolusi industri.Tetapi menurut Marx ada perbedaan mendasar proses pencarian keuntungan sebelum dan sesudah revolusi industri. Proses pencarian keuntungan sebelum revolusi industri dilakukan melalui tukar menukar barang. Atau dengan kata lain, keuntungan diperoleh melalui jual beli. Setelah revolusi industri, keuntungan diperoleh melalui eksploitasi upah buruh.
Marx menyebutkan, kapitalisme sejati adalah kapitalisme setelah terjadi revolusi industri yang disebut sebagai kapitalisme industri. Sedangkan kapitalisme sebelum revolusi industri disebut kapitalisme perdagangan.
Pendapat Marx ini dibantah oleh Ilmuwan sosial lain yaitu Imannuel Wallerstein. Wallerstein menolak pengelompokan antara kapitalisme industri dan perdagangan. Menurutnya, kapitalisme yang sebenarnya adalah produksi dalam suatu pasar yang tujuan produsennya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan didapat dari sumber apapun tidak menjadi masalah. Inti persoalannya bahwa akumulasi keuntungan maksimum selalu menjadi tujuan semua aktivitas ekonomi. Wallerstein berpendapat, kapitalisme lahir pada abad XV, bersamaan dengan kebangkitan kolonialisme Eropa.
Analisis sejarah terkenal Maurice Dobs yang dikutip dari ”Makro Sosiologi”, perkembangan awal kapitalisme sangat berkaitan dengan ekspansi aktivitas ekonomi dan kekuatan sosial yang dimiliki pedagang urban. Sepanjang dua abad tersebut, kapital pedagang lebih teratur daripada kapital industri.
Selain mencoba mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, menurut Ebeinsten (2006:230) ciri kapitalisme yang lain adalah adanya persaingan. Dalam ekonomi pra-kapitalis, adat dan kebiasaan yang menentukan harga barang-barang dan jasa-jasa. Dalam ekonomi kapitalis, setiap orang bebas untuk memilih pekerjaan yang disukainya. Tidak ada pembatasan yang dibuat oleh setiap macam pekerjaan atau keahlian.
Pasar kapitalis juga menyediakan tempat untuk barang-barang dan jasa-jasa yang ditawarkan untuk dijual. Sedangkan jumlah dan mutunya diatur oleh persaingan bebas. Kebebasan untuk mengadakan persaingan di pasar berasal dari empat kebebasan kapitalis yang pokok:kebebasan untuk berdagang dan mempunyai pekerjaan, untuk mengadakan kontrak, untuk hak milik, dan membuat keuntungan.
Ebeinsten dalam bukunya ”Isme-Isme yang Mengguncang Dunia” menuturkan dalam sistem kapitalis, hak milik atas alat-alat produksi (tanah, pabrik, mesin, dan sumber alam) ada di tangan perorangan, bukan di tangan negara. Alasannya, kepemilikan atas harta produktif yang berarti kekuasaan atas kehidupan orang lain, sebaiknya dipecah diantara para pemilik harta, daripada dipegang oleh negara. Alasan kedua, kemajuan di bidang teknologi akan lebih mudah dicapai bila setiap orang mengurus urusannya sendiri.
Privatisasi air
Privatisasi air muncul sebagai dampak dari globalisasi ekonomi yang dimulai setelah Perang Dunia II usai. Amerika muncul sebagai negara adidaya industri yang memproduksi banyak barang kebutuhan konsumen. Untuk pendistribusian barang-barang tersebut, Amerika membuka pasar global baru dan mempromosikan sistem dan nilai pasar bebas ke seluruh dunia.
Ideologi Amerika ini mengakar pada dekade berikutnya. Pada tahun 1990, John Williamson memperkenalkan ideologi Amerika tersebut sebagai Washington Consensus. Konsensus tersebut mengharuskan pemerintah melakukan deregulasi besar-besaran di bidang perdagangan, investasi, dan finansial. Selanjutnya menurut Barlow dan Clarke (2005:103) ideologi ini menjadi tatanan dunia baru.
Menurut Washington Consensus, modal, barang, dan jasa diperbolehkan untuk mengalir bebas melewati batas-batas negara tanpa dihalangi oleh intervensi maupun peraturan pemerintah. Intinya, kepentingan modal merupakan prioritas yang lebih tinggi daripada hak warga negara.
Dalam era globalisasi ekonomi, jasa pelayanan air yang merupakan pelayanan publik dan disediakan oleh pemerintah, mulai diambil alih oleh swasta. Melalui proses privatisasi, air diubah menjadi sebuah komoditas, diberi harga, dan dijual di pasar atas dasar kemampuan untuk membayar.
Menurut Barlow dan Clarke (2005:111), privatisasi air biasanya terjadi dalam tiga bentuk:
1. Penjualan sistem perawatan dan pelayanan air milik publik secara penuh. Penjualan ini dilakukan oleh pemerintah kepada swasta
2. Perusahaan air diberikan perjanjian konsesi atau sewa untuk mengambil alih pelayanan air, membiayai biaya operasi dan perawatan, serta mengumpulkan pembayaran dan menyimpan surplus yang ada sebagai keuntungan usaha bagi perusahaan tersebut.
3. Perusahaan dikontrak oleh pemerintah untuk mengelola pelayanan air dan diberi upah administratif. Administrasi pembayaran tarif dari konsumen tidak dapat dilakukan oleh perusahaan tersebut. Juga tidak boleh mengambil untung dari surplus yang didapat.
Pengalihan jasa pelayanan air dari pemerintah ke swasta mengakibatkan munculnya serangkaian prinsip komersial yang berbeda. Industri air akan menggunakan prinsip full cost recovery saat mendapatkan kontrak konsesi. Dalam sistem ini margin untuk profit harus dimasukkan ke dalam perhitungan. Artinya keuntungan perusahaan juga harus ditanggung oleh konsumen.
Memaksimalkan keuntungan adalah tujuan utama tanpa menjamin keberlanjutan ataupun akses yang seimbang atas air. Karena itu, pengelolaan sumber daya air lebih didasarkan pada dinamika pasar daripada keberlanjutan jangka panjang dari sumber daya terbatas yang penting untuk generasi selanjutnya. Akibatnya biaya konsesi yang dipatok perusahaan sangat tergantung pada penghasilan dan profit yang diharapkan dihasilkan oleh perjanjian tersebut. Memastikan adanya penghasilan yang menguntungkan bagi perusahaan berarti membebankan harga yang lebih tinggi untuk pelayanan air.
Begitu skema privatisasi dilaksanakan, maka kontrol publik akan segera menghilang meskipun publik melalui pemerintah sebenarnya telah membayar jaminan profit kepada swasta. Selain itu, pihak swasta tidak merasa memiliki kewajiban untuk melapor kepada pemerintah.
Di Indonesia, model yang privatisasi air yang banyak dipakai adalah model nomor dua. Seperti di Jakarta, pengelolaan air dilimpahkan pada dua perusahaan swasta asing:Palyja dan Lyonnaise Kedua perusahaan air swasta asing yang berasal dari Inggris dan Perancis tersebut diberikan perjanjian konsesi untuk mengambil alih pelayanan air di Jakarta. Wilayah pelayanannya dibagi dua. Palyja mengatur pelayanan air di bagian Timur sungai Ciliwung. Sedangkan Lyonnaise mengatur pelayanan air di bagian Barat sungai Ciliwung. Pemprov DKI Jakarta menyerahkan semua biaya operasi dan perawatan pada dua perusahaan swasta asing tersebut. Termasuk keuntungan yang didapat.
Pemprov DKI Jakarta menyerahkan sistem pelayanan air minum kepada swasta asing karena sudah tidak sanggup lagi membiayai biaya operasional pengelolaan air. Di Jakarta, biaya pengelolaan air sangat mahal karena kualitas dan kuantitasnya mulai terbatas. Air minum yang sebagian diambil dari air sungai Ciliwung dan Waduk Jatiluhur kualitas dan kuantitasnya mulai menurun.
Saat pengelolaan air diserahkan pada 2 perusahaan swasta asing, pemprov DKI Jakarta juga telah kehilangan kekuasaan untuk ikut mengawasi kinerja mereka. Akibatnya, sampai sekarang pengelolaan air di Jakarta semakin kacau. Air yang seharusnya menjadi hak asasi masyarakat tidak bisa diakses sepenuhnya oleh masyarakat karena biaya berlangganan yang mahal, kuantitasnya terbatas, dan kualitasnya buruk.
Saat air sudah ditetapkan sebagai suatu kebutuhan, pengelolaan air diserahkan kepada swasta yang akan menyediakan air dengan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Swasta mengelola air dengan proses privatisasi air. Air diubah menjadi sebuah komoditas, diberi harga, dan dijual di pasar atas dasar kemampuan untuk membayar.
Privatisasi air ini sejalan dengan ajaran kapitalisme. Swasta yang mengelola sumber daya air mulai berpikir bagaimana mengelola sumber daya air yang sifatnya terbatas untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Air yang sifatnya terbatas mulai dieksplorasi sebesar-besarnya yang tujuannya bukan untuk mensejahterakan rakyat. Akan tetapi berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menjual air dengan harga yang tinggi.
Beberapa perusahaan swasta yang mengelola air sebagai komoditas saling bersaing untuk mendapatkan air. Sistem persaingan dalam kapitalisme dihalalkan. Bahkan tersedia pasar bebas untuk melakukan persaingan.
Dalam sistem kapitalis, hak milik atas alat-alat produksi (tanah, pabrik, mesin, dan sumber alam) ada di tangan perorangan, bukan di tangan negara. Begitu juga dengan privatisasi air, pengelolaan air ada ditangan perorangan yaitu swasta bukan di tangan negara.
Akibat dari privatisasi air adalah dunia akan kekurangan air. Air yang memang sudah terbatas karena kerusakan lingkungan hidup yaitu pencemaran dan eksplorasi berlebihan, kualitasnya semakin berkurang karena privatisasi ini. Privatisasi ini akan memicu swasta untuk mencari dan mengambil air sebanyak-banyaknya tanpa ada usaha untuk memperbaharui lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)